Hai, namaku Rini (bukan nama sebenarnya) dan hari ini aku akan membagikan kisah tentang perjalananku menemukan cara untuk sembuh dari kondisi mental yang kualami.
Menurut penilaianku, aku adalah orang yang sangat kritis. Aku mempertanyakan banyak hal, mulai dari ilmu pengetahuan alam hingga agama. Sayangnya, keluargaku tidak bisa menerima pikiranku yang ingin melakukan perjalanan spiritual. Aku pernah mencoba bercerita, tetapi mereka tetap menyuruhku melakukan ritual keagamaan dari agama yang dianut keluargaku.
Akhirnya, aku menyimpan keresahanku sendiri. Diam-diam, aku mempelajari berbagai agama lain. Aku berdiskusi dengan teman-teman dari agama lain, ke rumah ibadah agama lain, dan membaca kitab-kitab agama lain.
Berbohong dan bersembunyi dari keluarga membuatku semakin tertekan. Aku merasa bersalah untuk setiap langkah yang membuatku menjauhi agama keluargaku. Namun, aku juga tidak kuat jika terus memaksakan diri untuk mengimani hal yang tidak aku percayai.
Berbohong dan bersembunyi dari keluarga membuatku semakin tertekan.
Aku semakin menyalahkan diriku sendiri. Begitu membencinya, hingga suatu saat timbul ide untuk melukai diri sendiri. Saat melakukannya, aku merasa nyaman. Aku seperti kecanduan; tiada hari yang kulewatkan tanpa menorehkan luka baru di tubuhku.
Mulanya, tindakan melukai diri sendiri kulakukan hanya secara fisik. Lama-kelamaan, timbul dorongan yang semakin kuat untuk melukai diriku lebih dalam. Dorongan itu mulai membisiki batinku untuk menjauhi orang-orang, sebab aku memang sangat senang bercerita dan berteman.
Perang batin menyiksaku beberapa bulan, tetapi pada akhirnya aku menang melawannya. Tapi dorongan itu justru membisiki hal lain: bunuh diri. Aku memikirkan berbagai cara untuk bunuh diri, meskipun aku selalu takut pada rasa sakit dalam proses kematian.
Aku semakin tidak tahan dan akhirnya memutuskan untuk menemui psikolog sendirian. Aku menghabiskan waktu selama 3 jam, tetapi aku merasa tidak mendapat apa-apa. Aku merasa semua omongannya tidak dapat kuterima. Aku semakin frustasi dan menangis sambil melukai diri sendiri setiap malam.
Beberapa bulan setelahnya, kondisi mentalku semakin memburuk. Saat pikiran-pikiran buruk datang, dahiku terasa pening dan tenggorokanku terasa sakit. Aktivitas harianku semakin terganggu karena suara-suara yang mendorongku untuk melukai diri sendiri semakin kuat. Akhirnya, aku memutuskan untuk datang ke psikolog yang berbeda dan merasa jauh lebih baik
Suatu saat, beliau menyarankanku untuk ke psikiater. Aku pun meminta rekomendasi nama psikiater dari beliau. Tak sampai seminggu setelahnya, aku datang ke rumah sakit tersebut. Rupanya, psikiater tersebut sangat ramai pelanggan karena beliau banyak menangani pasien kecanduan. Konsultasiku dengan beliau tak sampai 10 menit. Beliau hanya memberiku 2 obat rutin yang perlu diminum setiap pagi dan sore hari.
Sepulang dari rumah sakit, aku menangis dengan keras karena merasa telah salah melangkah. Akan tetapi, aku tetap mengikuti saran beliau. Kuminum obat itu sesuai anjurannya. Dalam tiga hari pertama, aku sempat merasa mual, tetapi anehnya aku memang jadi tidak bisa menangis. Pada hari ketiga, badanku mulai bergetar atau kejang-kejang—setelahnya aku baru tahu itu disebut sebagai myoclonus.
Badanku tidak berhenti bergetar di hari keempat. Setiap minum obat sore hari, getaran tubuhku semakin kuat. Setelah minum obat pagi hari, badanku terasa lemas. Aku merasa tersiksa dengan obat-obatan itu. Pada hari keenam aku mengonsumsi obat psikiatri, aku kembali bergetar di hadapan seorang teman. Ia memaksaku supaya bersedia diantar ke rumah sakit terdekat.
Rupanya, aku sampai dirawat inap dua malam. Obat psikiatri itu dihentikan dan aku diberi obat saraf. Selama tiga hari, aku memiliki keinginan bunuh diri yang sangat besar dan aku sangat takut keluar rumah. Entah kenapa hal itu bisa terjadi.
Aku pun pindah ke psikiater yang lain dan diberi obat lain. Kali ini aku tidak bergetar, tetapi aku mual setiap hari. Setiap kali makan, aku selalu muntah. Berat badanku turun empat kilogram karena aku tidak kuat untuk makan.
Aku mulai tidak merasa panik dan suara-suara yang mendorongku untuk melukai diri sendiri mulai hilang, tetapi kekhawatiranku ketika menghadapi orang lain semakin tak menentu. Aku bisa panik hanya ketika disapa oleh orang lain. Saat panik, aku akan lari ke toilet, otot-ototku menegang, aku merasa kesakitan, tetapi tidak bisa menangis. Setelah beberapa hari, getaran-getaran itu kembali muncul. Aku tidak mengerti apa yang bisa kulakukan lagi.
Dua orang temanku kemudian memaksaku untuk mencoba bermeditasi. Aku awalnya menolak karena pada malam pertama mereka mengajakku bermeditasi, aku sedang terkena ‘serangan’ panik. Mereka tetap berusaha menarikku dan akhirnya aku mulai bermeditasi.
Dalam komunitas meditasi tersebut, aku menceritakan diriku dan masalahku. Salah satu orang yang sudah andal mengajariku meditasi cinta kasih. Fokus dari meditasi cinta kasih adalah, pikirkan tentang apapun yang telah terjadi kepadaku, aku menerimanya; apapun yang akan terjadi kepadaku, aku menerimanya; semoga aku berbahagia, semoga orang tuaku berbahagia, semoga semua makhluk berbahagia.
Fokus dari meditasi cinta kasih adalah, pikirkan tentang apapun yang telah terjadi kepadaku, aku menerimanya; apapun yang akan terjadi kepadaku, aku menerimanya; semoga aku berbahagia, semoga orang tuaku berbahagia, semoga semua makhluk berbahagia.
Fokus dari meditasi cinta kasih adalah, pikirkan tentang apapun yang telah terjadi kepadaku, aku menerimanya.
Lama-kelamaan, aku akhirnya meninggalkan obat-obatan psikiatri dan rumah sakit karena semakin tidak tahan dengan tubuh yang dikendalikan oleh obat-obatan. Kupikir, meditasi lebih cocok denganku.
Saat ini, aku masih berusaha untuk pulih. Aku hanya ingin berbagi pandangan dan pengalaman. Aku merasa jauh lebih baik setelah datang ke psikolog, namun tidak tahan dengan obat-obatan yang diberikan oleh psikiater kepadaku. Dan ternyata, meditasi cocok denganku dan aku merasa sudah menemukan metode yang tepat untuk pulih dari ini semua.
Jadi, jangan terburu-buru untuk segera pulih. Nikmati saja prosesnya. Cari “metodemu” sendiri untuk pulih, karena setiap orang dapat memiliki metode yang berbeda-beda untuk pulih.
Setiap orang dapat memiliki metode yang berbeda-beda untuk pulih.
Catatan: Cerita ini dikirimkan oleh Survivor kepada Riliv melalui #RilivYourStory.