Self Lifehacks

Perjalanan Mengenali Musim

Sophie Navita

@sophienavita

Presenter, Praktisi dan Pebisnis Kuliner

Dalam hidup kita akan dipertemukan dengan berbagai musim yang berbeda-beda. Terkadang musim itu bisa jadi menggeser tujuan hidup kita. Sayangnya, seringkali kita tidak mengenali musim seperti apa yang sedang dialami sehingga kebingungan dalam mencari cara untuk dapat bertahan dan berjuang di dalam musim tersebut. Alasan utamanya menurut saya adalah kita belum bisa menemukan rasa utuh dari dalam diri sehingga belum bisa siap menghadapi musim dan semakin menjauhkan diri dengan tujuan hidup sebenarnya.

Sewaktu saya dan suami memutuskan untuk pindah ke Bali dari ibu kota, jujur di awal kepindahan saya merasa cukup kesulitan mengenali “musim”-nya. Kami tahu betul tujuan kami pindah ke Bali adalah untuk menyatukan kembali nilai keluarga. Kami berpikir kalau bukan sekarang waktunya fokus pada nilai keluarga, kami akan kehilangan itu selamanya dan semakin tidak tahu mau dibawa ke mana keluarga ini. Memang akhirnya banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Tapi kami melihat bahwa setiap pilihan pasti ada konsekuensinya dan tidak bisa dibilang mana yang lebih baik atau lebih buruk. Yang kami tahu adalah pindah ke Bali menjadi sesuatu yang dibutuhkan.

Setiap pilihan pasti ada konsekuensinya dan tidak bisa dibilang mana yang lebih baik atau lebih buruk.

Bagi saya “musim” itu cukup berat karena saya memilih untuk menjadi ibu rumah tangga. Saya sempat merasa tidak lagi bisa melakukan apa yang disenangi, menyalurkan talenta yang sudah saya lakukan sejak umur sembilan tahun. Apalagi melihat teman-teman satu profesi yang akselerasi pekerjaannya luar biasa. Sehingga saya pun berulang kali harus mengingatkan diri atas tujuan besarnya kami pindah adalah untuk kepentingan keluarga sehingga saya harus belajar menerima. Selama proses penerimaan itu pula banyak pertanyaan yang muncul dalam benak. Kenapa saya merasa sakit dengan kondisi ini? Apakah saya punya tujuan lain di sini? Tapi ketika saya ditanyakan orang lain, “Elo memang punya talenta apa lagi?”, saya juga bingung dan merasa sepertinya tidak ada. Lalu hanya bisa mengalihkan pandangan kembali ke rumah yang mana saya tetap merasa kondisi ini sulit sekali. Bayangkan saja dulu saya pribadi yang sangat aktif, terbiasa mencari uang sendiri. Tiba-tiba harus di rumah saja dan bahkan mengandalkan suami untuk memberikan uang. Mungkin untuk urusan rumah tangga saya tidak merasa terganggu. Tapi ketika harus memenuhi kebutuhan personal sampai harus minta dia rasanya ini menjadi pukulan untuk saya. Tidak mudah menerima itu. 

Sehingga saya pun berulang kali harus mengingatkan diri atas tujuan besarnya kami pindah adalah untuk kepentingan keluarga sehingga saya harus belajar menerima.

Kemudian saya kembali bertanya pada diri sendiri, “Jadi saya harus berbuat apa supaya tidak merasa menyia-nyiakan tahun demi tahun ini?” Pikiran tentang umur yang sudah semakin bertambah membawa saya pada pemikiran: Akankah saya bisa kembali ke panggung hiburan setelah anak-anak mandiri dewasa nanti? Memang ada yang mau lihat oma-oma ngoceh di talkshow? Saya pun kembali melihat suami dan anak-anak lagi dan menyadari sepertinya saya kehilangan keutuhan diri. Berpikir, “Masa hidup begini-begini saja?” Akhirnya saya mulai dengan hal yang sangat sederhana yaitu membatasi konsumsi media sosial. Saya terpaksa unfollow teman-teman yang ada di industri hiburan — padahal mereka tidak ada salah apa-apa. Hanya saya yang sedang dalam keadaan tidak bisa mendapat distraksi. Saya tetap menyayangi mereka dengan cara saya sendiri dengan tetap berkomunikasi lewat telepon atau teks. Saya juga mengerucutkan konten yang ingin dilihat. Hanya yang dapat memberikan inspirasi saja yang akhirnya tetap saya ikuti. Mulai dari sana saya akhirnya pelan-pelan mendapatkan kembali rasa utuh dan kembali menemukan hidup. Ini pula yang saya tuangkan dalam buku kedua saya TRUTH (Temukan Rasa Utuhmu Temukan Hidup).

Menurut saya ketika kita tidak dapat menemukan rasa utuh kita memang akan mudah sekali membandingkan dengan orang lain. Nantinya tentu saja jadi bahaya karena tujuan yang ingin dicapai bisa terlewatkan. Rasa utuh itu buat saya bisa ditemukan ketika  sudah berada dalam satu pola hidup bahwa kita sudah melakukan yang paling optimal di musim yang sedang dialami saat ini dengan juga tetap menjalin hubungan dengan Sang Pencipta. Sebab hanya Sang Penciptalah yang bisa mengarahkan kita menentukan mana kesempatan yang memang sebuah kesempatan dan mana yang hanya berupa distraksi. Orang bilang itu nurani atau suara hati. Saya menyebutnya Hikmat Tuhan. Dengan kita setiap hari kita melatih diri untuk mendengarkan Hikmat Tuhan itu kita semakin bisa menemukan rasa utuh dan akhirnya mencapai tujuan hidup di setiap musimnya. 

Ketika kita tidak dapat menemukan rasa utuh kita memang akan mudah sekali membandingkan dengan orang lain.

Contohnya di saat musim corona ini. Banyak orang yang bilang, “Sudahlah Soph, kenapa harus buka coffeeshop setiap hari untuk layanan pesan antar atau takeaway? Yang ada lo capek harus ikut turun tangan”. Saya memang bisa saja memilih untuk untuk tutup sementara toh saya juga tetap bisa hidup nyaman di rumah. Kemudian saya pun kembali berkomunikasi dengan Sang Pencipta dan mempertanyakan benar tidak sih yang saya lakukan? Apakah saya lakukan ini semata-mata demi ego agar menjaga eksistensi coffeshop ini? Dan ternyata tujuannya bukan itu. Tujuannya adalah untuk tetap mempertahankan pekerjaan para karyawan. Jika saya bisa sedikit berkorban untuk bantu turun tangan saya bisa membantu mereka untuk bertahan hidup di keadaan sulit ini. Saya harus tetap berjuang. Tentunya juga dengan tetap melakukan prosedur yang diusung pemerintah: cuci tangan, pakai masker, para pegawai dicek suhu tubuhnya setiap hari. 

Jika saya bisa sedikit berkorban untuk bantu turun tangan saya bisa membantu mereka untuk bertahan hidup di keadaan sulit ini. Saya harus tetap berjuang.

Untuk dapat mendengarkan Hikmat Tuhan itu sendiri harus ada kerinduan yang sangat amat dalam. Saya percaya manusia terdiri dari tiga lapisan yaitu mind, body dan spirit. Ketiga hal ini haruslah seimbang demi mencapai rasa utuh tersebut. Ketika kita masih tertutup dengan hal-hal berbau materi seperti karier, bisnis, uang, dan menaruh diri kita lebih tinggi dari hubungan personal dengan Tuhan maka kapanpun kita bisa mengabaikan suara-suara dari Hikmat Tuhan yang bisa merampungkan keutuhan diri. Mengapa kita menaruh asa pada diri sendiri yang tidak lebih besar dari Sang Pencipta, pada makhluk hidup yang tidak abadi? 

Saya percaya manusia terdiri dari tiga lapisan yaitu mind, body dan spirit. Ketiga hal ini haruslah seimbang demi mencapai rasa utuh tersebut.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024