Self Work & Money

Perempuan Yang Pergi Seorang Diri

Puerto Rico tahun 2001. Perjalanan saya menggunakan bus menuju El Yunque Forest dalam sebuah tur lokal yang diwajibkan pemerintah setempat tiba-tiba diberhentikan oleh pemandu yang mendampingi. Tersentak kebingungan karena merasa tidak melihat objek wisata apapun, pemandu tersebut berkata dengan antusiasnya, “Now Ladies and Gentlemen, this is… banana tree!”. Haahh? Semua orang pun dengan cepat turun dari bus untuk berebutan mengambil foto di sebuah pohon pisang yang ada di pekarangan rumah orang, dan menyisakan saya seorang diri yang hanya dapat berucap, “Duh, pohon pisang di Indonesia juga banyak”.

Percayalah, semakin banyak Anda berkunjung ke luar negeri, semakin banyak Anda dibuat jatuh cinta pada bumi pertiwi. Penggalan cerita di atas kadangkala membuat saya geli saat mengingat-ingat kembali perjalanan belasan tahun yang lalu tersebut. Betapa besar dan beragamnya dunia yang ada, dan betapa singkatnya waktu kita untuk dapat menjelajahi semuanya. Belum selesai semua pelosok Indonesia yang kaya akan keberagaman saya kunjungi, apalagi dunia yang berkali-kali lipat luasnya. Wajar saja bukan bila saya nyaris mendedikasikan seluruh waktu saya untuk kegemaran traveling saya satu ini?

Orangtua adalah figur pertama yang bertanggung jawab membuat saya jatuh cinta dengan traveling. Berawal dari kesenangan orangtua pergi berlibur dengan mengajak serta anak-anak mereka, membuat pada akhirnya saat saya dewasa, traveling menjelma menjadi kebiasan dan panggilan hidup. Mungkin karena dibiasakan traveling sedari kecil oleh orangtua, saya jadi beranggapan jika kebiasaan sering jalan-jalan itu adalah normal atau umum dilakukan oleh banyak orang. Barulah pada saat saya mulai menulis kisah perjalanan saya dalam blog www.naked-traveler.com dan memperoleh banyak tanggapan positif dari pembaca, saya baru menyadari bahwa ternyata pada saat awal berbagi kisah perjalanan, traveling rupanya belum merupakan ‘budaya’ masyarakat Indonesia.

Kebanyakan perjalanan saya memang dilakukan seorang diri. Selain lebih mudah mengatur waktu, saya juga lebih memiliki kebebasan dalam menentukan tujuan wisata yang dikehendaki - dan itu sangat menyenangkan bagi saya.

Saya paham jika perempuan kerap diidentikan dengan stigma yang mengatakan bahwa bepergian seorang diri tidak aman bagi mereka, hingga dalam budaya tertentu perempuan tidak dianjurkan bepergian tanpa pendamping. Oleh karenanya, saya bersyukur dari lingkungan keluarga dan teman-teman, mereka sama sekali tidak mempermasalahkan kebiasaan solo traveling saya. Mereka justru memberi saya kebebasan untuk melihat dunia dengan cara saya sendiri. Tentunya, kebebasan yang saya dapatkan adalah kebebasan yang bertanggung jawab. Selama tidak menyusahkan, tidak berbuat kriminal, dan siap menerima akibat dari  setiap keputusan yang dilakukan, keluarga mendukung hal yang saya senangi ini. Justru anehnya yang sering memandang saya heran dan mempertanyakan kebiasaan solo traveling saya sebagai perempuan adalah orang lain yang tidak saya kenal atau sebaliknya mengenal saya.

Meski demikian, bebas bukan berarti bebas sebebasnya sesuka kita tanpa aturan dan lain sebagainya. Tetap terdapat ketentuan hukum dan kearifan lokal yang perlu kita patuhi setiap kali melangkahkan kaki ke tempat baru. Risiko yang mungkin dihadapi traveler perempuan sebenarnya sama saja dengan traveler laki-laki: sama-sama memiliki peluang akan menghadapi hal yang tidak diinginkan. Namun kebetulan saja bila hal buruk tersebut menimpa perempuan, entah mengapa selalu terlihat menjadi lebih vulnerable. Padahal dalam sejumlah hal, traveler perempuan sesungguhnya lebih diuntungkan karena dapat memanfaatkan sisi ‘feminin’ mereka dalam menghadapi situasi tertentu. Contohnya diprioritaskan mendapat tempat duduk di transportasi umum, dimaklumi bila tidak dapat membaca peta sehingga perlu bertanya arah jalan, hingga mendapat bantuan ketika membawa barang bawaan.  Kuncinya adalah, ikuti saja aturan atau budaya lokal yang berlaku, serta ikuti insting saat menghadapi segala sesuatu yang belum familier. Bila dikatakan daerah tertentu tidak aman dilalui di malam hari, ya ikuti saja aturan tersebut. Atau bila merasa tidak nyaman sendirian, ya carilah teman. Dengan demikian risiko buruk yang mungkin menimpa dapat dihindari.

Sungguh sayang dunia ini bila tidak kita jelajahi. Ada terlalu banyak tempat cantik, pengalaman unik, dan budaya menarik yang menanti untuk kita kunjungi dan temui di setiap sudut dunia. Traveling adalah sekolah kehidupan. Ada banyak wawasan dan keterampilan baru yang dapat kita pelajari di luar pendidikan formal. Mulai dari mengatur waktu, anggaran, hingga keterampilan bersosialisasi seperti rasa toleransi akan keberagaman, berinteraksi dengan penduduk lokal, dan beradaptasi dengan lingkungan baru. Sama seperti di sekolah, semakin sering seseorang melakukan traveling, maka ia akan menjadi semakin pintar atau naik kelas ke tingkat keterampilan dan wawasan selanjutnya. Dan semua ini, akan semakin membuat kita ‘pintar’ bila kita mencoba melakukan perjalanan seorang diri. Mulai dari bangun tidur hingga tidur kembali, kita perlu mempersiapkan seluruh kebutuhan mulai dari A sampai Z yang diperlukan dalam menghadapi hari. Memang menantang dan terkadang terasa lebih melelahkan. Namun, akan ada rasa bangga sekaligus senang bilamana anda dapat melalui semua itu, dan sampai ke tempat tujuan yang diinginkan dengan selamat. Anda pasti akan memiliki lebih banyak cerita untuk digali dan pengalaman untuk dibagi kepada orang lain.

Saya yakin dalam diri setiap orang memiliki keinginan untuk bebas melihat dan menjelajah dunia. Dan saya juga paham bahwa tiap orang memiliki keterbatasannya sendiri-sendiri dalam mewujudkannya. Khusus bagi perempuan, selain perlu mendobrak anggapan diri yang mungkin pernah berkata ‘tidak mungkin’ untuk bepergian seorang diri, mengakali hambatan stigma masyarakat dan izin keluarga yang diperoleh juga perlu untuk dihadapi. Namun, terlepas dari semuanya, saya percaya bila memang kita sangat menginginkannya, kita pasti akan menyediakan waktu dan berusaha untuknya.

Saya tidak memaksa setiap orang untuk bepergian seorang diri. Namun saya menganjurkan, setidaknya sekali dalam hidup, pengalaman bepergian seorang diri tersebut dapat dirasakan. Tidak perlu mengunjungi tempat yang jauh bila belum dimungkinkan. Sebatas perjalanan sehari ke kota lain pun sudah cukup, asal itu direncanakan oleh Anda sendiri. Percayalah, Anda akan menjadi lebih mengenal diri sendiri, dan lebih bersyukur akan kehidupan yang tengah Anda lewati. Semoga setelah ini anda memiliki pikiran untuk langsung merencanakan perjalanan Anda selanjutnya, dan dapat turut serta merasakan gelora kesenangan yang selalu saya rasakan dalam diri setiap kali bepergian.

Related Articles

Card image
Self
Peran Mentorship Untuk Pendidikan Yang Lebih Baik

Jika melihat kembali pengalaman pembelajaran yang sudah aku lalui, perbedaan yang aku rasakan saat menempuh pendidikan di luar negeri adalah sistem pembelajaran yang lebih dua arah saat di dalam kelas. Ada banyak kesempatan untuk berdiskusi dan membahas tentang contoh kasus mengenai topik yang sedang dipelajari.

By Fathia Fairuza
20 April 2024
Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024