Pembekuan sel telur di Indonesia belum banyak diperbincangkan di masyarakat. Padahal pembekuan sel telur sebenarnya dapat menjadi sebuah pilihan bagi para perempuan untuk merencanakan masa depannya. Terlepas sudah atau belum menikah. Baru-baru ini saya menjalankan proses pembekuan sel telur (oocyte cryopreservation atau egg freezing) di Jakarta, tempat di mana saya tidak menyangka 1) bisa melakukan proses ini dengan biaya terjangkau, 2) mendapatkan dokter kandungan yang progresif dimana saya bisa terbuka dan tidak dihakimi.
Pembekuan sel telur di Indonesia belum banyak diperbincangkan di masyarakat. Padahal pembekuan sel telur sebenarnya dapat menjadi sebuah pilihan bagi para perempuan untuk merencanakan masa depannya. Terlepas sudah atau belum menikah.
Let me start with why I decided to pursue this procedure. Saya sudah kepikiran untuk menjalani egg freezing sejak 3 tahun lalu. Niatnya, ketika berumur 35 tahun saya mau diambil telurnya karena menurut berbagai jurnal kesehatan dan artikel yang saya baca, di umur itulah sel telur sedang bagus-bagusnya. Pembahasan egg freezing di Indonesia belum lumrah. Kalaupun ada, saya tidak berniat untuk melakukannya disini. Karena sebagai perempuan single, saya sering merasa tidak diterima dengan hangat kalau datang ke dokter kandungan. Apakah menanyakan nama suami ketika periksa ke dokter kandungan itu lancang? Sangat. Kalau laki-laki ada masalah dengan kemaluannya apakah dokter akan menanyakan nama istri atau pasangannya? I don't think so. Intinya saya tidak mau melakukan prosedur tersebut di Indonesia. Saya mendengar dari beberapa teman saya yang melakukan proses bayi tabung bahwa egg freezing lumrah di Malaysia. Kebetulan saya ada pekerjaan di Kuala Lumpur dan sempatkan untuk cari tahu soal egg freezing. Ternyata biayanya terjangkau, dokternya ramah, tidak ditanya surat nikah, dan penjelasan prosedurnya cukup jelas serta to the point. Sayangnya, saya jadi harus bolak-balik ke Kuala Lumpur, dan pastinya harus menginap disana. I love my Malaysian friends, but KL is definitely not my favorite city. Ini juga menjadi pertimbangan saya.
Pembahasan egg freezing di Indonesia belum lumrah. Kalaupun ada, saya tidak berniat untuk melakukannya disini. Karena sebagai perempuan single, saya sering merasa tidak diterima dengan hangat kalau datang ke dokter kandungan. Apakah menanyakan nama suami ketika periksa ke dokter kandungan itu lancang? Sangat.
Lalu pada awal bulan Maret 2020, sebelum karantina berlaku di Jakarta saya bertemu dengan dr. Ivan Rizal Sini, dokter kandungan dari Rs. Bunda. Kebetulan kami ada dalam satu panel di mana saya menjadi moderator dan dr. Ivan adalah salah satu pembicaranya. Saya telah banyak mendengar tentang dr.Ivan dari teman-teman yang sudah menjadi pasiennya. Setelah sesi diskusi saya sempatkan untuk ngobrol dengan dr. Ivan dan ceritakan soal egg banking di Malaysia. Kemudian dr. Ivan nyeletuk, “Kenapa nggak egg banking di Indonesia aja, Andini? Fasilitas sama, harga bersaing, nanti saya langsung yang tangani.” Saya jadi kepikiran. Plus, tahun ini masuk usia 38 tahun. My biological clock is literally ticking but my procrastination lingers. Niatnya ada tapi tidak langsung dieksekusi.
Mungkin ini salah satu sisi baik dari pandemi, kita jadi sering berkomunikasi dengan orang-orang. Termasuk dr. Ivan dan saya. Dia tiba-tiba menghubungi dan menanyakan kabar lalu ajak zoom call bahas Klinik Morula, pusat bayi tabung di Jakarta yang juga membahas egg freezing. Lima belas menit pembicaraan cukup meyakinkan saya untuk harus melakukan egg freezing di Jakarta bersama dr. Ivan. Karena pandemi proses tes berlapis dan cukup ekstensif. Dari mulai tes Covid-19 hingga HIV pun saya jalankan sebelum mulai prosedur pengambilan telur. Ini yang tidak saya dapat ketika saya berkunjung ke klinik di Kuala Lumpur. Ternyata, minus tes Covid-19, dari sebelum pandemi prosedur segala tes ini memang menjadi syarat di Klinik Morula. Tujuannya tentu supaya kita tahu apa yang ada di tubuh kita supaya disesuaikan treatment-nya. Setelah hasil tes menunjukkan tidak ada masalah , baru saya mulai proses pengambilan telur yang dimulai dari suntikan hormon satu kali sehari selama seminggu. Saya tidak pernah suntik sendiri. Jadi di hari pertama saya gagal suntik sampai cairannya tumpah karena ternyata saya belum buka tutup jarumnya. Jadi kalau setelah baca tulisan ini ada yang memutuskan untuk menjalani proses tersebut, silahkan latihan dulu suntik diri sendiri! But trust me, after day 1 you will be a pro!
Proses penyuntikan hormon tidak membuat emosi saya jadi berantakan dan napsu makan jadi berlebihan. Semuanya berjalan normal. Saya masih olahraga setiap hari, tidak ada craving, tidak kembung, everything was fine. Tapi semuanya berubah ketika suntikan untuk memperkuat sel telur diberikan di hari keempat sampai ketujuh. Saya mulai merasa seperti kembung dan secara mental saya sudah mulai lelah untuk menyuntikan ke diri sendiri. Apalagi kulit saya sensitif jadi kalau kena jarum gampang memar. Tapi tetap tidak ada sakit. Jangan khawatir, setiap badan berbeda. Mungkin apa yang saya alami tidak dialami yang perempuan lain. Proses ini pun membuahkan hasil maksimal. Karena meskipun di umur 37 tahun, saya bisa menghasilkan 12 telur yang besar dan sehat untuk disimpan. Proses pengambilannya singkat, dibius penuh, kemudian saya bisa langsung pulang dan beraktivitas lagi. Dan di seluruh tahapan ini, dr. Ivan membantu saja di setiap prosesnya. Saya bisa hubungi dia kapan saja dan responsif. Satu hal yang mungkin tidak didapatkan kalau saya menjalani proses ini di Kuala Lumpur.
Kini 12 telur saya aman berada di Klinik Morula (dalam paketnya sudah termasuk pelayanan penyimpanan selama 5 tahun di sana, tidak seperti Malaysia di mana kita harus bayar per tahunnya untuk sewa tempat untuk telur kita). Alasan saya berbagi pengalaman ini karena saya ingin para perempuan khususnya yang single tahu bahwa di Indonesia kita juga punya pilihan apakah itu belum menikah karena karir, belum bertemu jodoh, mungkin punya penyakit tertentu, bahwa kita bisa loh merencanakan masa depan kita. Setuju, perempuan memang ada biological clock. Sewaktu saya diperiksa pun awalnya saya diberikan dosis suntikan hormon tinggi karena umur. Tapi ternyata setelah tes darah dan usg, saya diberikan dosis ringan.
Alasan saya berbagi pengalaman ini karena saya ingin para perempuan khususnya yang single tahu bahwa di Indonesia kita juga punya pilihan apakah itu belum menikah karena karir, belum bertemu jodoh, mungkin punya penyakit tertentu, bahwa kita bisa loh merencanakan masa depan kita.
Dalam beberapa kasus, umur tidak menentukan tubuh kita. There are a lot of other factors that determine how our body is. Setelah proses ini dengan percaya diri saya bilang ke orang tua bahwa mereka suatu saat nanti akan mendapatkan cucu perempuan kembar karena saya sudah amankan sel telur. Sekarang kita biarkan Tuhan dan semesta yang menentukan siapa yang paling pantas untuk jadi ayahnya. Science has evolved so much that us, women can and should dictate our own future. Kemudian, kalau di antara pembaca ada yang bertanya, “Kenapa nggak nikah aja An dari dulu jadi gak perlu egg banking segala?” Mengutip komedian Bintang Emon, “Enteng banget nyuruh orang kawin kayak nyuruh orang mandi. Kalo modal handuk doang, dari SD juga udah nikah.” Dan kenapa saya ingin punya anak kembar perempuan? Karena kita butuh lebih banyak perempuan kuat dan independen yang berkuasa penuh menentukan masa depannya.
Dan kenapa saya ingin punya anak kembar perempuan? Karena kita butuh lebih banyak perempuan kuat dan independen yang berkuasa penuh menentukan masa depannya.