Bicara tentang idealisme, saya yakin banyak orang yang juga seperti saya – memiliki idealisme tinggi. Banyak juga dari mereka berangkat membuat karya dari sebuah idealisme. Dalam perwujudan idealisme itu sendiri terkadang prosesnya mengesampingkan nilai-nilai realis yang justru membuat perjalanan menjadi sulit. Bukan berarti saya ingin bilang bahwa dengan berpikir realistis juga tidak akan ada kesulitan. Tapi saya percaya keseimbanganlah yang dapat mengantar kita kepada keberlangsungan, secara terus-menerus dalam periode waktu yang panjang.
Sebenarnya idealisme itu mirip dengan bagaimana kita menerima diri sendiri (self-acceptance). Misalnya kita tahu kita punya satu kekurangan seperti sering terlambat. Namun karena kita sangat menerima diri sendiri, kita jadi tidak mau mengubah kekurangan tersebut di mana orang lain juga harus menerima sifat kita itu. Penerimaan diri yang seperti ini malah hanya akan jadi sebuah pembelaan yang tidak membawa kita ke mana-mana. Sehingga sebenarnya kepercayaan diri akan sesuatu yang ideal menurut kita harus diimbangi dengan realitas hidup. Apakah idealisme tersebut berpotensi berkembang menjadi hal yang baik atau tidak.
Kepercayaan diri akan sesuatu yang ideal menurut kita harus diimbangi dengan realitas hidup.
Awal mula saya membentuk Utterly Me tentu saja semuanya berangkat dari idealisme. Semua berasal dari tujuan pribadi. Mulai dari sekadar ingin membuat lookbook untuk dijadikan portofolio saya sebagai seorang makeup artist (MUA) hingga akhirnya terpikir untuk memberikan nilai lebih pada buku tersebut. Saya bukanlah seseorang yang pintar bersosialiasi dengan banyak orang sebagaimana banyak MUA lainnya lakukan untuk mendapatkan pekerjaan. Dari sinilah saya merasa perlu membuat sebuah medium sebagai alat saya berkomunikasi. Tidak terlintas dipikiran saya untuk menjadikannya komersil. Bahkan jilid pertama saja tidak berbayar sama sekali. Hanya saja bukan berarti saya mengerjakan seadanya. Justru dengan berbagai pemikiran yang mendalam dan niat yang tinggi saya berusaha menampilkan sebuah lookbook yang berbeda, yang secara tidak langsung bisa menjawab berbagai pertanyaan tentang wanita.
Dari kepercayaan bahwa lookbook tersebut bisa berpotensi menyuarakan fenomena yang sedang terjadi, respon positif pun bersambut. Mereka yang diberikan buku ini secara gratis bertanya apakah bisa membelinya. Hingga membuat saya merasa sepertinya jika dilanjutkan bisa menjadi sesuatu yang lain. Tidak ada salahnya dicoba terlebih dahulu. Seiring berjalannya waktu saya melihat semangat pada orang yang membaca yang menikmati isi majalah Utterly Me sehingga saya pun ikut bersemangat untuk meneruskan perjalannya. Sedikit demi sedikit saya juga makin percaya Utterly Me punya potensi yang besar dengan banyaknya pemikiran yang harus terus digodok dengan kepekaan akan berbagai sudut pandang, berbagai aspek dalam hidup.
Pada dasarnya kami ingin mengambil sudut pandang dari para wanita yang membahas isu sensitif yang semuanya diawali dengan pertanyaan. Setiap edisi mempertanyakan persoalan sederhana seperti: mengapa wanita sering merasa dirinya jelek, mengapa wanita sering melihat wanita lain lebih cantik, mengapa wanita harus menggunakan makeup, mengapa wanita suka marah, atau mengapa wanita suka membicarakan masa depan. Sebenarnya pertanyaan-pertanyaan tersebut dialami semua gender, bukan? Tapi kami mengambil suara wanita untuk mengeksplorasi sebuah emosi yang lebih dalam. Karena kalau kita pikirkan kembali sebenarnya hal yang dulu dianggap sederhana kini bisa jadi masalah besar. Dulu mungkin membicarakan beauty in diversity para wanita bisa bersikap biasa saja. Tapi kini banyak dari mereka yang berpikir untuk bunuh diri karena merasa dirinya tidak cantik seperti standar kecantikan yang ada.
Secara tidak sadar kami juga selalu menyampaikan nilai keseimbangan hidup. Kami ingin setiap orang khususnya wanita punya hidup yang seimbang. Misalnya pada edisi terbaru kami akan bicara soal kebahagiaan di mana kami membagi kebahagiaan menjadi tiga yaitu kebahagiaan jangka pendek (short term), jangka sedang (mid term) dan jangka panjang (long term). Ini berkaitan dengan durasi kebahagiaan itu sendiri dan sebenarnya durasi tersebut sangat berkaitan erat dengan titik seimbang. Contohnya kebahagiaan jangka pendek yaitu makan. Tidak salah kita ingin merasakan kebahagiaan jangka pendek dengan mengikuti keinginan makan enak. Tapi tidak bisa terus-terusan, bukan? Kebahagiaan jangka pendek ini tentu saja tidak bisa memberikan kebahagiaan penuh pada diri. Jadi kalau kita benar mencintai diri sendiri, kita akan mencari di mana titik keseimbangan akan kebahagiaan itu, membagi setiap durasi sesuai porsi yang dibutuhkan.
Kalau kita benar mencintai diri sendiri, kita akan mencari di mana titik keseimbangan akan kebahagiaan itu.
Kebanggaan dari pemberian nilai di setiap edisi inilah yang membuat saya percaya bahwa apa yang kami tanam dengan baik akan menuai kebaikan juga nantinya. Di awal mungkin kami pernah dipandang sebelah mata, menemukan berbagai tantangan di prosesnya. Akan tetapi saya percaya sebuah bisnis jika ditekuni dengan konsisten pasti ada hasilnya apalagi jika menggunakan insting yang tajam. Sebenarnya seseorang bisa yakin mau meneruskan sebuah usaha atau tidak adalah dengan mengikuti suara hatinya. Jika memang dia melihat jalannya dibuka terus berarti memang usaha itu diizinkan untuk dilanjutkan. Karena kita sebenarnya bisa merasakan apakah jalan itu baik atau tidak untuk kita. Apabila tidak, pasti akan banyak halangan yang menutup jalan itu bahkan tidak jarang jalan tersebut tidak memiliki solusi apapun. Mungkin memang bukan itu jalannya. Kalau dibilang terkenal, tentu saja kami belum mencapai satu titik popularitas tertentu. Tapi kami menikmati setiap prosesnya dan selama masih bisa berproses selama masih ada jalan untuk terus dikembangkan berarti masih berada di jalur yang benar. Tinggal kemudian potensi itu dipikirkan matang-matang untuk menjadi one of a kind, memberikan pengalaman yang berbeda meskipun kompetisinya sulit di realitasnya.