Rasanya tidak mungkin kita menghidupi keseharian tanpa harus memilih. Entah pilihan kecil atau besar. Itulah bagian dari hidup. Dihadapkan dengan pilihan dan membuat keputusan. Menariknya pilihan yang satu orang temui mungkin sama dengan yang ditemui banyak orang. Tapi keputusannya bisa berbeda-beda. Seperti pilihan untuk sekolah dan bekerja. Ada sebagian orang yang memutuskan untuk menyelesaikan sekolah tingginya baru kemudian bekerja. Ada juga yang memutuskan untuk tidak menyelesaikan dan langsung bekerja. Saya salah satunya.
Rasanya tidak mungkin kita menghidupi keseharian tanpa harus memilih. Entah pilihan kecil atau besar. Itulah bagian dari hidup. Dihadapkan dengan pilihan dan membuat keputusan.
Keputusan untuk meninggalkan kuliah di tengah jalan dan langsung merantau mencari pekerjaan didasari oleh pemahaman saya terhadap cara belajar. Jujur, sebelum kuliah saya tidak tahu mau jadi apa. Kalau teman-teman lain sewaktu SD menjawab mau jadi dokter atau astronot, saya bingung mau jawab apa. Pada saat masuk kuliah saja saya sampai berganti jurusan tiga kali karena tidak merasa jurusan yang diambil bisa saya ikuti dengan mudah. Yang saya yakin ketika memilih untuk kuliah adalah belajar di universitas yang bahasa pengantarnya Bahasa Inggris. Selama tahun pertama dan kedua pun saya sering sekali bolos kuliah. Bukannya di rumah saja dan tidak melakukan apa-apa tapi saya lebih suka terlibat dalam acara-acara di luar perkuliahan. Dulu sempat menjadi relawan SEA Games dan acara-acara besar lainnya yang ada di ibu kota.
Lambat laun saya mulai memahami bahwa gaya belajar saya adalah street style. Belajar di luar ruangan, bertemu banyak orang dan mendapatkan pengalaman yang berguna untuk meningkatkan kemampuan yang lebih ke arah praktikal. Sampai suatu saat saya merasa sepertinya harus mencoba bekerja agar tidak melulu tergantung dengan uang yang diberikan orang tua. Waktu itu juga saya merasa universitas tempat saya kuliah terbilang cukup memakan biaya. Sedangkan keluarga kami tergolong kalangan menengah. Rasanya saya jadi terpanggil untuk melakukan sesuatu. Kemudian muncul ide untuk mencari pekerjaan. Tapi tentu saja saya meragukan ada perusahaan yang mau mempekerjakan anak yang belum lulus kuliah. Sampai saya menemukan bahwa banyak perusahaan yang memberikan persyaratan utama adalah kandidat yang punya gelar pendidikan tertentu atau pengalaman bekerja. “Inilah celahnya”, pikir saya. Ternyata saya bisa bekerja purna waktu kalau punya pengalaman kerja.
Belajar di luar ruangan, bertemu banyak orang dan mendapatkan pengalaman yang berguna untuk meningkatkan kemampuan yang lebih ke arah praktikal.
Akhirnya saya mencoba mencari perusahaan yang menawarkan program magang dan terbukalah pintu di salah satu hotel ternama di Bali. Ketika mereka merespon positif dan menawarkan untuk segera mengikuti program tersebut saya pun tidak terlalu banyak pertimbangan dan menjajal kesempatan tersebut. Awal bekerja tanpa dibayar saya adalah seseorang dengan karakter “Yes Man”. Semua yang disuruh saya sanggupi. Saya tidak enggan belajar apapun karena saya paham betul bahwa mereka mungkin sebenarnya tidak butuh seorang magang. Divisi PR (public relation) dan Marketing di hotel tersebut sudah diisi dengan individu-individu kompeten. Jadi sebenarnya saya yang membutuhkan mereka untuk memberikan pelajaran dan pengalaman bekerja di dunia pekerjaan yang sesungguhnya.
Sampai tibalah akhir dari program magang tersebut. Saya cukup terkejut ternyata mereka menawarkan saya bekerja full time. “Kenapa mereka mau saya bekerja full time ya? Padahal saya tidak punya gelar pendidikan tinggi”, pertanyaan itu berputar-putar selama diskusi penawaran kerja tersebut. Lalu saya memberanikan diri untuk bertanya langsung. Jawaban mereka adalah karena saya tidak pernah bilang tidak. Bahkan ketika saya sedang mengerjakan sesuatu lalu ditanya, “Beby, kamu sibuk tidak?”, saya selalu menjawab tidak. Dari situ saya sadar bahwa saya sudah berada di jalur yang benar. Kalau dulu saya sombong dan enggan melakukan apa yang disuruh karena menganggap pekerjaannya tidak penting mungkin tawaran itu tidak pernah ada. Memang saat itu ada pertimbangan untuk kembali ke ibu kota dan menyelesaikan kuliah. Tapi saya berpikir, “Kalau saya kembali melanjutkan kuliah, sudah ketinggalan sekali. Lagi pula saya tidak cocok dengan sistem pendidikan formal. Apakah nanti saya masih mungkin ada kesempatan sebaik ini kalau sekarang ditolak?”. Akhirnya saya memutuskan untuk tidak melewatkan momentum dan meneruskan bekerja.
Selama bekerja juga tekanannya cukup besar. Terlebih di Bali kompetisi saya adalah dengan orang asing. Posisi tinggi di perhotelan biasanya didapatkan oleh orang asing. Tidak heran, mereka tiba di Bali sudah dengan paket lengkap: fasih berbahasa Inggris karena bahasa ibu, jenjang akademis yang mumpuni, pengalaman bekerja di luar, dan jaringan yang luas. Susah sekali mengalahkan mereka kalau mau naik pangkat. Tapi saya cukup percaya diri dengan kualitas diri. Selain merasa kemampuan bersosial saya di lingkungan pekerjaan cukup bagus. Di samping saya beruntung bertemu dengan figur-figur yang tepat. Sehingga saat ingin naik posisi dengan pindah kerja ke hotel lain, saya mendapatkan rekomendasi dari orang-orang berpengaruh. Networking is key. Penting sekali untuk bisa menjaga hubungan dengan kolega di tempat bekerja. Sehingga ketika berhenti dari satu perusahaan kita bisa meninggalkan kesan yang baik.
Penting sekali untuk bisa menjaga hubungan dengan kolega di tempat bekerja. Sehingga ketika berhenti dari satu perusahaan kita bisa meninggalkan kesan yang baik.
Ada kalanya saat pindah kerja ke hotel lain rasa minder menghampiri. Apalagi kalau ada yang tahu saya tidak punya gelar sarjana. Tapi rasa minder itu tidak menghalangi saya untuk maju. Saya bertekad untuk terus “naik kelas” karena saya berhutang pada diri sendiri yang dulu sudah mengambil banyak risiko. Diri saya yang dulu kerja keras bahkan tanpa dibayar, datang paling pertama dan pulang paling terakhir. “Saya sudah sejauh ini” adalah mantra yang diucapkan ketika keraguan muncul. Ketika perasaan ingin berhenti terlintas. Saya ingat sewaktu lulus SMA saya pernah diajarkan untuk menuliskan target 10 tahun ke depan yang kemudian diurai menjadi 5 dan 3 tahun. Jadi seolah saya membuat peta perjalanan hidup dari umur 17 hingga 27 tahun. Sampai sekarang sepertinya peta target hidup itu yang membuat saya terus berjuang untuk memenuhi semua harapan dari dulu hingga sekarang. Orang lain yang mendengar ini mungkin merasa saya terlalu keras pada di sendiri. Tapi saya tahu betul pribadi saya tidak bisa berada di zona nyaman. Dulu pernah saya sudah berhasil mencapai satu target. Ternyata saya keasyikan di zona nyaman dan malah tidak mau belajar. Jadi saya memang tipikal yang harus didorong. Bukan oleh orang lain melainkan oleh diri sendiri.
Saya bertekad untuk terus “naik kelas” karena saya berhutang pada diri sendiri yang dulu sudah mengambil banyak risiko. Diri saya yang dulu kerja keras bahkan tanpa dibayar, datang paling pertama dan pulang paling terakhir.
Bicara begini bukan berarti saya menyuruh orang untuk berhenti sekolah. Pendidikan tetaplah amat penting. Hanya menurut saya, kita harus tahu diri sendiri seperti apa. Mengenal kemampuan dan kepribadian. Saya tipe orang yang kalau tidak ujian bisa menjawab berbagai pertanyaan. Tapi pas ujian malah lupa semua. Saya juga menyadari bukan orang yang bisa mengikuti jalur akademis dan tidak bisa dipaksakan. Cara kerja otak saya berbeda dengan orang lain dan untuk saya pribadi belajar di luar sekolah formal justru bisa membuat saya belajar lebih banyak, mengalami lebih banyak.
Bicara begini bukan berarti saya menyuruh orang untuk berhenti sekolah. Pendidikan tetaplah amat penting. Hanya menurut saya, kita harus tahu diri sendiri seperti apa. Mengenal kemampuan dan kepribadian.