“Yang namanya pria memang begitu..”
Coba ingat-ingat pernah tidak mengatakan ini? Atau mendengar ini dari seseorang ketika membicarakan seorang pria? Merasa tidak kalau di masyarakat kita seringkali muncul stereotip gender yang dapat mendorong banyak orang untuk mewajarkan suatu hal tertentu? Misalnya selagi membicarakan tentang pria berselingkuh. Pasti ada saja orang yang bilang “pria memang begitu”, seakan-akan memperbolehkan pria selingkuh karena memiliki gairah seksual lebih dari wanita. Memang hal ini terkait dengan hormon, tapi sebenarnya soal selingkuh bukan sekadar soal gairah saja, kan?
Begitu juga dengan pemikiran bahwa pria itu harus kuat, tidak boleh cengeng. Kemudian saat pria menunjukkan sisi sensitifnya mereka biasanya diolok. Dianggap lemah seperti wanita. Tentu saja konteks ini mengacu pada konotasi negatif. Menanggapi perspektif tersebut, pernah tidak terlintas bahwa secara tidak sadar stereotip inilah yang membuat para pria harus menyangkal setiap kali merasakan sesuatu, setiap kali menaruh perasaan yang dalam? Mungkin juga kan pandangan ini yang dapat membuat pria haus akan “kekuatan” sebagai dogma untuk pria miliki dalam hidupnya.
Seperti yang tertuang pada buku The Hite Report on Male Sexuality oleh Shere Hite, pria kebanyakan memiliki masalah kedekatan dengan ayah mereka. Umumnya para ayah mengajarkan anak laki-laki mereka untuk terlibat dalam kompetisi demi membuktikan “kekuatannya”. Saat mereka menangis, mereka akan dimarahi habis-habisan. Apalagi saat berbuat salah mereka bisa mendapatkan kekerasan fisik. Hal ini bahkan dilakukan secara sengaja dalam rangka membentuk mental sang anak pria agar dapat menjadi laki-laki sejati. Hasilnya? Semua perasaan emosional dan sisi sensitif pria seakan-akan harus ditelan bulat-bulat dan tidak boleh ditunjukkan.
Baru-baru ini Netflix mengiklankan film orisinilnya yang berjudul Extremely Wicked, Shockingly Evil and Vile, diperankan oleh aktor kenamaan Amerika, Zac Efron. Film ini diangkat dari kisah nyata yang menceritakan tentang kekejian seorang pria pembunuh dan pemerkosa di Amerika Serikat. Sepanjang sejarah kriminal Amerika, Ted Bundy adalah kasus pemerkosaan yang amat kompleks dan sungguh menjadi teror di masyarakat selama beberapa tahun. Ditemukan Ted Bundy telah memperkosa, membunuh dan memutilasi hingga lebih dari 30 wanita. Kasusnya sangat sulit diusut karena Ted Bundy merupakan pria terpelajar yang memiliki citra sangat baik di masyarakat. Adalah seorang lulusan psikologi dan sedang mengenyam pendidikan hukum saat kasusnya diproses, pun dikenal sebagai pria yang aktif di kegiatan rohani. Sehingga untuk mendapatkan informasi dari orang sekitarnya yang bertindak sebagai saksi sangatlah sulit. Hampir tidak ditemukan tanda-tanda mencurigakan dari kepribadiannya. Terutama karena keterlibatan Ted Bundy dengan para wanita dipahami dalam situasi normal tanpa adanya sinyal membahayakan.Tak sekalipun selama proses perkara Ted Bundy mengakui perbuatannya.
Mengapa film ini dapat dihubungan dengan pembentukan paradigma para pria? Seluruh proses observasi kasus Ted Bundy dapat menjadi salah satu contoh nyata yang menampilkan keterkaitan stereotip pada pria dengan dampak negatif yang diakibatkan oleh stereotip tersebut. Setelah analisa panjang, ditemukan bahwa Ted Bundy ternyata tidak pernah mengetahui ayah kandungnya. Pada saat dilahirkan Ted diasuh oleh kakek-neneknya karena pada awalnya sang ibu tidak mau melahirkan Ted. Kemudian ibu Ted menikah dan membawanya bersama untuk membentuk keluarga baru. Akan tetapi suatu saat Ted menemukan akte kelahirannya tanpa nama ayah kandung. Dia tak pernah mendengar apapun tentang ayah kandungnya dan hidup dalam penyangkalan.
Dalam perekam suara Ted Bundy, dia mendeskripsikan masa kecilnya sebagai sebuah eksplorasi dan petualangan di mana dia sering menang saat beradu menangkap katak dengan teman sebayanya. Pengakuannya ini bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan sang guru di mana dia amat berbeda dengan anak-anak lain, kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungan dan suka menakut-nakuti temannya. Lagi-lagi bentuk penyangkalan lainnya.
Rekaman suara tersebut juga menceritakan bagaimana dia suka menyendiri, tidak suka mengutarakan kehidupannya pada orang lain, bukan seseorang yang suka bersosial dan menganggap wanita sebagai kepemilikan. Dia pun berkata bahwa pernah ingin menjadi seorang presiden itulah mengapa dia mengambil jurusan hukum dan banyak terlibat di ranah politik. Keinginannya ini bisa jadi merupakan interpretasi Ted akan pengertian “kekuatan” yaitu kekuasaan.
Pengakuan-pengakuan tersebut sejalan dengan apa yang dijelaskan pada buku The Hite Report on Male Sexuality dimana maskulinitas seorang pria terletak pada paradigma tentang kekuatan. Juga bagaimana emosi, perasaan bukanlah faktor yang penting untuk dipikirkan karena pria harus rasional bukan spiritual atau emosional. Dampaknya sungguh terlihat pada kasus Ted Bundy. Dia kesulitan mengungkapkan perasaan kecewa dan sedihnya karena tidak mengetahui ayah kandungnya, kesulitan memproses sisi sensitifnya karena terdapat degradasi afeksi di masa kecil, kurangnya kedekatan dengan orang tua kandung. Di sisi lain, yang dia tahu adalah bagaimana mengumpulkan “kekuatan” untuk dapat mengontrol keadaan.
Apa yang dilakukan oleh Ted sangat mungkin diakibatkan oleh hal-hal yang dilihatnya waktu kecil. Satu sumber mengatakan ketika kecil, kakek Ted sering melakukan kekerasan dalam rumah tangga. Begitu juga ayah tirinya pada ibunya. Hal-hal ini dapat menjadi suatu yang sangat familiar untuk seseorang lakukan di masa depan. Mengapa? Karena saat kecil kita menyerap banyak emosi pada alam bawah sadar yang dapat membentuk karakter kala dewasa. Secara tidak sadar Ted merasa kekerasan adalah hal yang normal dan bahkan menjadi sebuah contoh untuknya dalam memahami maskulinitas dan memperoleh “kekuatan”. Sehingga dia menerjemahkan pengertian “kekuatan” dengan merenggut nyawa wanita —yang dianggap lebih lemah. Dalih untuk merasa kuat dan memiliki kuasa akan orang lain.
Meski tetap saja tidak ada satu alasan logis yang dapat membenarkan apa yang telah dia perbuat, tapi kasus Ted Bundy ini dapat menjadi sebuah pelajaran bagi kita —terutama bagi pria. Kita harus mulai menyadari betapa pentingnya kesehatan mental, bagaimana faktor psikis diri dapat sangat mempengaruhi pola berpikir dan bertindak berkenaan dengan diri kita dan orang lain. Kita harus mulai meruntuhkan stereotip yang salah kaprah dan membuahkan mitos-mitos baru di masyarakat. Salah-salah bukannya memberikan motivasi pada seseorang untuk berlaku baik malah mendorongnya pada pemahaman yang keliru. Kita harus mulai berhenti memberikan sifat-sifat tertentu pada satu jenis kelamin. Kita harus mulai berpikir lebih luas akan sebuah paradigma di mana memperoleh kekuatan tidak selalu berarti harus lebih kuat dari orang lain sehingga dapat mengontrol atau memimpin orang lain.