Kita sebagai manusia pasti punya mimpi atau hasrat yang ingin dicapai. Namun terkadang ketika mimpi itu ternyata belum bisa diraih, ada kekecewaan yang mendorong kita untuk tidak menerima diri sendiri. Ini sebenarnya bisa jadi karena kita kurang mengenal diri sendiri. Kita belum bisa memahami siapa diri kita sebenarnya sehingga sulit menerima diri sendiri. Berkata begini, bukan berarti sejak dulu saya juga sudah bisa menerima diri sendiri. Proses hingga akhirnya saya bisa menerima diri sendiri butuh proses bertahun-tahun. Bahkan sampai sekarang saya pun masih terus berproses.
Proses tersebut dimulai dari saya menikah. Saya menikah di usia yang masih sangat muda. Memiliki dua anak juga di usia yang masih tergolong muda. Kala itu saya belum menyadari bahwa saya punya dua orang yang bergantung pada saya sehingga harus memberikan yang terbaik bagi mereka. Namun berjalannya waktu, saya melewati berbagai rintangan menjadi orang tua dan memasuki masa sebagai seorang pengusaha. Membangun bisnis membuat saya bertemu banyak orang. Ketika akhirnya peran saya tidak hanya menjadi seorang ibu tapi juga seorang wanita karier, di sanalah saya berproses untuk mulai menerima diri sendiri.
Hal yang sering membuat saya tidak bisa menerima diri sendiri adalah ketika harus memenuhi ekspektasi orang lain. Saat ada seorang pelanggan restoran yang tidak puas, misalnya, saya bisa sangat khawatir dan insecure. Namun lama kelamaan, saya belajar bahwa tidak ada yang personal soal itu. Ketidakpuasan dia bukan karena kepribadian saya atau kerja saya yang tidak baik. Komplain pelanggan adalah hak mereka untuk berekspresi. Akan tetapi, saya tidak bisa menyenangkan semua orang. Meskipun saya juga pasti akan berupaya yang terbaik untuk memberikan kepuasan pada mereka. Jadi saya pun mulai berpikir bahwa hal-hal negatif yang bisa mengganggu pikiran bukanlah sebuah gangguan selama kita meresponnya dengan positif.
Hal-hal negatif yang bisa mengganggu pikiran bukanlah sebuah gangguan selama kita meresponnya dengan positif.
Setiap hari kita selalu dihadapkan dengan tantangan dan sebaiknya kita bisa menerimanya dengan lapang dada. Tantangan tersebut pun terkadang tidak luput dari kegagalan. Dalam satu masa hidup, kita bisa saja berhadapan dengan kegagalan. Beruntungnya, secara pribadi saya bukanlah orang yang takut gagal. Saya yakin dengan berusaha yang terbaik dan membentuk pola pikir yang positif serta menyeimbangkannya dengan realita, saya bisa melalui kegagalan tersebut. Ketika membangun sebuah bisnis, saya membentuk pola pikir bahwa akan ada kesulitan yang datang. Jadi, saya harus mempersiapkan diri, mengatur langkah demi langkah agar bisa melewatinya.
Setiap hari kita selalu dihadapkan dengan tantangan dan sebaiknya kita bisa menerimanya dengan lapang dada.
Tidak berbeda saat di rumah bersama anak-anak. Tentu saja sebagai orang tua, saya ingin yang terbaik untuk mereka. Saya ingin menjadi ibu yang baik untuk mereka. Jadi, saya harus menemukan keseimbangan serta membagi waktu dalam memaksimalkan peran saya sebagai ibu dan sebagai wanita karier. Akan tetapi, kita harus ingat bahwa gol yang besar atau mimpi yang tinggi itu penting, namun kita tetap harus menjalaninya hari demi hari. Berada di masa sekarang. Maka, yang harus dimaksimalkan adalah hari ini supaya hari esok bisa mendekatkan kita pada harapan yang diimpikan.
Itulah mengapa kita harus bisa menerima diri sendiri sebab dalam proses menerima diri sendiri, kita belajar untuk memahami siapa diri kita sebenarnya, apa saja peran yang dimiliki, dan bagaimana menjalankan peran-peran tersebut. Ketika di rumah, saya menjadi Feby yang seorang ibu. Ketika di restoran saya menjadi Feby yang seorang pebisnis kuliner. Kalau sudah memahami itu semua, barulah kita bisa merasa nyaman dengan diri sendiri sehingga bisa menerima diri lebih baik. Kemudian barulah setelah itu bisa memberikan lebih untuk orang lain.
Saat kita belum bisa memahami itu semua, biasanya kita tidak tahu kapan harus berhenti, batasan seperti apa yang harus kita punya. Lalu saat kita melakukan sesuatu untuk orang lain, kita bisa tidak tulus melakukannya karena belum merasa penuh dengan diri sendiri. Bayangkan ketika kita dalam suasana hati yang kurang baik kemudian memaksa diri untuk membantu orang lain. Akhirnya kita bisa mengharapkan orang lain melakukan hal yang sama untuk kita nantinya. Sebaliknya, di saat kita sudah bisa memahami kapan waktu yang tepat untuk kita membantu, di situlah kita bisa memberikan lebih untuk orang lain. Semua manusia punya tingkat toleransi yang berbeda-beda sehingga kita harus mengerti diri sendiri untuk tahu seberapa jauh kita bisa toleran terhadap orang lain. Artinya, setelah memahami diri, merasa nyaman dengan apapun yang kita lakukan, pikirkan, rasakan, kita bisa memahami dan mengerti orang lain lebih baik pula.