Ingat tidak kalau ada pepatah yang mengatakan, “Tak kenal maka tak sayang”? Saya setuju sekali dengan pepatah ini karena kalau saya tidak pernah ingin mengenal budaya Indonesia, saya tidak mungkin akan cinta dengan negeri ini dan berkarya untuknya sampai sekarang.
Sejak kecil saya sudah tinggal di luar negeri karena bapak ditugaskan di Jerman kemudian Belanda. Kebetulan bapak saya sangat senang dengan seni dan selalu ajak kami ke museum. Awalnya saya tidak suka pergi ke museum. Tapi lama kelamaan saya justru terkesan sekali ketika tahu lebih banyak tentang sejarah dan budaya suatu negara. Inilah yang juga membuat saya ingin tahu lebih banyak tentang negara sendiri, Indonesia. Saya jadi sering bertanya pada bapak tentang apa yang dimiliki Indonesia. Seakan seperti menyimpan kerinduan terhadap nusantara sebab berada jauh darinya.
Ketika saya selesai sekolah mode, saya pun memutuskan untuk menyisipkan karakteristik dan identitas budaya Indonesia di setiap karya saya. Lalu mulailah eksplorasi saya terhadap budaya dan sejarah Indonesia. Rasa keingintahuan saya tinggi sekali. Saya punya banyak pertanyaan, keinginan mengunjungi banyak tempat dan baca lebih banyak buku. Kecintaan ini tidak berubah selama 40 tahun saya berkarya. Menurut saya, sebagai perancang busana kita harus mempertahankan identitas. Meski berbagai cobaan menghadang, kalau kita konsisten dengan apa yang dicintai dan diyakini adalah yang baik, pasti akan berbuah manis.
Meski berbagai cobaan menghadang, kalau kita konsisten dengan apa yang dicintai dan diyakini adalah yang baik, pasti akan berbuah manis.
Seperti di awal berkarier, saat itu saya baru kembali dari luar negeri. Kala itu, mode belum seperti sekarang. Bahkan bisa dibilang titel perancang busana belum begitu diakui. Saya sempat heran mengapa sebagai perancang busana kami harus datang ke rumah orang-orang selayaknya tukang jahit. Kemudian saya berpikir untuk mengubah itu agar profesi ini bisa dinilai sebagai pekerjaan yang profesional. Setelah berdiskusi dengan beberapa teman seperti Hari Darsono, Prayudi Atmodirjo, Susan Budiharjo, dan lain-lain, kami akhirnya menggagas sebuah wadah bernama IPBMI (Ikatan Perancang Busana Mode Indonesia) yang dapat menjadi support system untuk para perancang busana.
Tidak berhenti di sana, saya juga harus melalui perjalanan yang mengajarkan bahwa sebagai perancang busana saya juga harus memahami industri mode itu sendiri. Ketika diminta menjadi konsultan Pasaraya oleh Bapak Abdul Latief saya belajar banyak tentang penentuan harga, kualitas, hingga ukuran. Saat masih muda, saya tidak terlalu memikirkan faktor-faktor tersebut karena bagi saya merancang dan membuat baju saja sudah senang. Tapi akhirnya saya belajar lebih. Khususnya tentang ready-to-wear. Saya jadi semakin memahami kelebihan dan kekurangan karya yang dihasilkan. Inilah proses pembelajaran yang saya dapatkan untuk berkembang.
Jadi kalau ditanyakan apa yang berubah dalam hidup saya selama 40 tahun berkarya, sepertinya tidak banyak yang berubah. Semangat saya masih sama seperti di umur 20an. Hanya saja mungkin bertambahnya usia membuat saya belajar melihat berbagai hal dari perspektif lain. Saya lebih bersyukur dengan apa yang dimiliki dan yang terjadi dalam hidup. Mungkin ketika muda dulu, karena idealisme yang tinggi dan menggebu-gebu terkadang saya ingin eksperimen, ingin ini-itu. Namun kini, pengalaman telah mendewasakan. Saya bisa lebih merasa tenang, bersyukur, dan percaya diri. Meski kita juga tetap harus kerja keras, sungguh-sungguh, dan konsisten dalam perjalanannya. Sebab tidak ada prestasi yang didapatkan tanpa perjuangan. Saya percaya ketika semua itu sudah diupayakan dan diikuti dengan pikiran positif, hal baik pasti akan datang. If there is a will there is always a way.
Tidak ada prestasi yang didapatkan tanpa perjuangan. Saya percaya ketika semua itu sudah diupayakan dan diikuti dengan pikiran positif, hal baik pasti akan datang. If there is a will there is always a way.
Dulu saat masih sekolah mode di London, saya sempat berandai-andai, “Bisa tidak ya karya desainer Indonesia dipajang di Harrods (sebuah department store terkemuka di London)?”. Ternyata saya mendapatkan kesempatan tersebut. Saya terpilih untuk menampilkan karya saya di sana. Padahal saya tidak mencari-cari cara untuk sampai ke sana. Tapi entah bagaimana semesta seakan mengantarkan saya. Hal serupa terjadi lagi saat saya dihubungi oleh Chief of The Household Staff of The Buckingham Palace. Semasa masih tinggal di London, saya sering sekali foto di depan The Buckingham Palace. Dalam hati saya bertanya-tanya, “Kapan ya saya bisa masuk ke sini?”. Beruntungnya saya mendapatkan kesempatan itu ketika Bapak Susilo Bambang Yudhoyono waktu itu sedang mengadakan kunjungan kenegaraan. Saya dipilih oleh Kedutaan Besar Inggris untuk mewakili. Sungguh pengalaman yang luar biasa bisa masuk ke dalam kerajaan bahkan berbincang dengan Sang Ratu. Sudah seperti mimpi yang jadi nyata.
Mungkin inilah yang dinamakan law of attraction atau hukum tarik menarik. Apa yang saya pikirkan bisa jadi kenyataan jika saya percaya. Begitu pula yang terjadi pada buku saya, “Asian Bohemian Chic: Indonesian Heritage Becomes Fashion”. Dari dulu sebenarnya bapak saya sudah pernah menyarankan untuk membuat buku. Menurutnya, pengalaman saya bertemu orang-orang terkenal di dunia, membuat pertunjukkan di berbagai negara, itu sangat menarik untuk dibukukan. Tapi saya belum siap saat itu. Hingga suatu saat tim penerbit Rizzoli New York datang ke kantor dan mengungkapkan ketertarikannya membukukan karya-karya saya. Mereka bilang buku tersebut bisa jadi jendela untuk masyarakat dunia melihat keindahan Indonesia melalui desain-desain saya. Buku ini sangatlah bermakna besar sekali untuk saya karena ini seakan mewujudkan cita-cita bapak. Syukurnya beliau juga masih bisa melihat peluncuran buku tersebut. Rasanya seperti sudah takdir.
Saya pun berharap buku ini bisa menjadi inspirasi bagi para generasi muda untuk mencintai budaya bangsa ini sebab itulah kekayaan yang bisa kita banggakan. Masing-masing dari kita bisa menunjukkan kecintaan itu dengan cara sendiri-sendiri entah dengan profesinya sebagai pelukis, penyanyi, apapun. Yang terpenting kita harus terus belajar sebab setiap hari selalu ada harapan baru, pelajaran baru, dan sesuatu yang bisa kita syukuri. Kita diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk merasakan, melihat banyak hal maka gunakanlah pemberian itu sebaik-baiknya.
Setiap hari selalu ada harapan baru, pelajaran baru, dan sesuatu yang bisa kita syukuri.