Perjalanan saya mencintai olahraga hingga memutuskan untuk menjadi seorang atlet profesional berawal dari keikutsertaan saya pada lomba lari sejak masih di bangku SD. Lambat laun saya mulai menjadikannya hobi dan kemudian mengikuti klub lari yang dimiliki oleh guru olahraga. Lalu setelah menyaksikan Om yang mengikuti PON (Pekan Olahraga Nasional) di Surabaya barulah keinginan menjadi atlet muncul. Ketika menekuni ternyata banyak hal baik yang datang ke dalam hidup saya. Begitu banyak juga pelajaran yang didapatkan dari menjadi atlet.
Pertama adalah soal kedisiplinan. Disiplin waktu dan sikap merupakan kewajiban utama menjadi atlet. Kalau tidak disiplin berarti saya tidak bisa berkomitmen. Kalau tidak berkomitmen berarti tidak bisa berprestasi sebab prestasi tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimplementasikan dengan perilaku disiplin dalam keseharian. Kedua adalah soal pantang menyerah. Namanya atlet pasti pernah kalah. Tapi menjadi sebuah kesalahan jika kalah sekali lalu tidak mau mencoba lagi. Sebagai atlet saya harus bisa mengubah kalah menjadi motivasi untuk memberikan hasil yang lebih baik dari sebelumnya. Lebih dari itu, pelajaran lain yang didapatkan dari menjadi atlet adalah soal mencintai negara.
Disiplin waktu dan sikap merupakan kewajiban utama menjadi atlet. Kalau tidak disiplin berarti saya tidak bisa berkomitmen. Kalau tidak berkomitmen berarti tidak bisa berprestasi sebab prestasi tidak akan berarti apa-apa jika tidak diimplementasikan dengan perilaku disiplin dalam keseharian.
Seperti yang kita tahu di masyarakat stereotip yang berkembang tentang orang Papua adalah orang yang suka mabuk, kasar dan lain-lain. Padahal itu hanya terjadi pada segelintir orang. Tidak semua orang Papua. Bagaimana cara orang di luar Papua memahami ini? Tentu saja kami orang Papua yang harus berani mengenalkan diri kami siapa. Semua kembali ke diri mau dikenal sebagai orang yang seperti apa terlepas dari latar belakang keluarga, suku dan budaya. Dari SD hingga SMA saya berada di lingkungan sekolah yang mayoritas suku Tionghoa. Apakah saya dibedakan? Ya, oleh segelintir orang. Tapi banyak juga yang tidak. Mereka menerima saya karena saya mau mengenalkan diri apa adanya. Tidak ada yang ditutupi. Kalau mereka mau berteman dengan saya silahkan kalau tidak juga tidak apa-apa.
Bagaimana cara orang di luar Papua memahami ini? Tentu saja kami yang orang Papua yang harus berani mengenalkan diri kita siapa. Semua kembali ke diri mau dikenal sebagai orang yang seperti apa terlepas dari latar belakang keluarga, suku dan budaya.
Saat menjadi atlet, perbedaan suku, ras dan agama harus dikesampingkan. Meski misalnya di luar lapangan merasa berbeda tapi di dalam lintasan tidak bisa merasakan itu. Kami berada dalam satu tim yang berasal dari Sabang sampai Merauke memiliki satu tujuan: memperjuangkan negara Indonesia. Sehingga kalau masih merasa berbeda kerja sama tim tidak akan bisa berjalan. Segala isu politik, gender, ras harus dilepaskan ketika kami sama-sama bendera merah putih tertanda di dada. Kami sudah berkomitmen untuk berada dalam satu kompetisi mewakili Indonesia berarti bagaimana caranya kami meruntuhkan ego dan menyatukan segala perbedaan budaya menjadi sesuatu yang indah agar orang lain tahu kami adalah orang Indonesia. Sebab kemenangan kami bukanlah kemenangan pribadi melainkan untuk semua orang. Untuk Indonesia. Seperti juga yang selalu diingatkan oleh Papa saya, “Ketika kamu pakai baju merah putih lakukan yang terbaik untuk negaramu karena kamu sedang melakukan sesuatu yang besar untuk negaramu. Jangan pikirkan dari mana asal usul keluargamu. Pikirkan saja kebanggaanmu terhadap negara”. Dengan kata lain, melaju di lintasan mewakili Indonesia dengan segala perilaku positif menjadi sebuah cara untuk mengenalkan diri pada orang lain bahwa tidak semua orang Papua seperti yang muncul dalam stereotip masyarakat.
Kami sudah berkomitmen untuk berada dalam satu kompetisi mewakili Indonesia berarti bagaimana caranya kami meruntuhkan ego dan menyatukan segala perbedaan budaya menjadi sesuatu yang indah agar orang lain tahu kami adalah orang Indonesia. Sebab kemenangan kami bukanlah kemenangan pribadi karena kami menang untuk semua orang.
Setiap orang pasti punya perjuangannya masing-masing dengan tujuan yang berbeda-beda. Perjuangan yang berbeda itulah kita terkadang sering merasa tidak cocok dengan orang lain sebab merasa tidak memperjuangkan hal yang sama. Perbedaan pasti ada tinggal bagaimana cara kita mengubah pemikiran orang lain terhadap diri kita. Meskipun begitu saya sangat berhati-hati dengan kata “harus” dalam rangka membuktikan diri berbeda dari stereotip yang ada. Sebab kalau kita menyematkan kata “harus” dalam perjuangan bisa-bisa justru kata tersebut merusak diri. Saya berasal dari lingkungan keluarga yang tidak pernah menuntut saya harus menjadi apa. Mereka mendorong saya mengembangkan apa yang dimiliki dengan tetap mengingatkan bahwa di setiap pilihan yang saya ambil pasti ada tanggung jawabnya. Sehingga bagi saya sebenarnya tidak harus membuktikan pada orang lain bahwa saya mampu tapi cukup menghidupi keseharian sebaik-baiknya. Berjuang sesuai dengan kemampuan sebaik mungkin. Pada akhirnya cerminan diri yang secara alami dilihat orang lain dapat meruntuhkan segala prasangka negatif yang ditujukan pada kita. Barulah kita bisa memerangi stereotip yang ada.
Perbedaan pasti ada tinggal bagaimana cara kita mengubah pemikiran orang lain terhadap diri kita.