Self Lifehacks

Merayakan Fana Lewat Karya

Setelah berkarya bersama selama sebelas tahun, Barasuara kembali menghadirkan karya baru bertajuk Merayakan Fana. Tentang hidup dan kepergian orang-orang terkasih selama pandemi kemarin. Greatmind berkesempatan untuk berbincang bersama beberapa personel Barasuara yaitu Iga Masardi, Gerald Situmorang, dan TJ Kusuma.

Greatmind (GM): Halo, apa kabar, kak? Mungkin boleh diupdate sedikit kesibukannya akhir-akhir ini?

Iga Masardi (IM): Halo, kalau saya akhir-akhir ini masih fokus promo lagu baru Barasuara “Merayakan Fana” dan diselingi beberapa project pribadi juga.

Gerald Situmorang (GM): Kurang lebih sama, sih, dua tahun terakhir lagi fokus produksi musik aja bareng Barasuara. Saya juga sempat ada project juga sama Irfan Tangkulun yang waktunya hampir berdekatan sama Barasuara.

GM: Di tahun 2021 kemarin, Barasuara sempat workshop bareng untuk produksi musik setelah lama tidak bertemu karena pandemi. Boleh diceritakan sedikit?

GS: Ya, waktu pandemi kita juga ada dalam survival mode. Nggak ada panggung, paling beberapa acara online. Jadi kita merasa harus bikin sesuatu yang baru atas nama band (Barasuara), dalam arti sebuah lagu atau album. Akhirnya awal tahun 2021 kami memutuskan untuk workshop di puncak selama seminggu, full team, termasuk teknisi dan segala macam. Jadi kami kumpul di satu tempat untuk bikin lagu, walaupun akhirnya lagu yang kami rilis baru-baru ini yaitu “Fatalis” dan “Merayakan Fana” bukan hasil dari workshop tapi proses ini membantu proses kreatif kita.

IM: Jadi memang kalau ibaratnya mesin, workshop kemarin itu kita lagi detuning lagi karena udah lama nggak ketemu karena keterbatasan protocol juga. Dari workshop itu lahir lah beberapa draft lagu yang mungkin akan kita rilis juga. Pulan dari workshop juga kita lanjut berunding lagi lewat bantuan digital.

TJ Kusuma (TJ): Betul, karena memang masih pandemi juga pada saat itu, jadi kami juga memaksimalkan teknologi dengan workshop online di rumah masing-masing.

GM: Perbedaan apa yang dirasakan antara workshop online dan offline?

IM: Sebagai sebuah band, tentu memang kami hakikatnya bertemu dan main bareng, jadi pasti ada energi yang tidak bisa digantikan saat kita memang ketemu berenam secara langsung. Bertukar ide secara langsung dan bukan kirim-kiriman draft, jauh lebih efektif ketemu dan diskusi bareng pastinya.

TJ: Setuju, walaupun mungkin prosesnya kurang lebih mirip. Pandemi kemarin juga sebenarnya mengajarkan, paling tidak buat saya, untuk lebih mengoptimalkan teknologi. Saya juga jadi belajar rekam gitar sendiri, misalnya. Dari sisi kreatif juga, kadang ada ide-ide segar yang belum pernah terpikir kalau kita sedang diskusi bareng secara langsung. Kadang waktu lagi mengerjakan sesuatu sendiri di rumah, kita bisa dapat ide baru. Jadi ada kelebihan dan kekurangannya.

GM: Oke, mungkin boleh diceritakan tentang proses kreatif lagu “Merayakan Fana” ini?

GS: Kalau saya ingat, kita itu workshop bareng di bulan Januari 2021. Nah, sebulan setelahnya kita lagi sibuk menyelesaikan lagu yang kita punya sebenarnya, dan otak juga sudah mulai mumet kalau harus mengulang lagu yang sama terus. Jadi daripada diam, akhirnya saya coba buat lagu kilat yang akhirnya jadi lagu “Merayakan Fana” walaupun saya juga tidak yakin itu part lagu yang mana sebenarnya.

Setelah membuat melodi ini sebenarnya hanya untuk menstimulasi proses kreatif saya supaya bisa melanjutkan lagu yang ada. Akhirnya potongan melodi lagu “Merayakan Fana” ini saya kabari ke Iga dan akhirnya dia menambahkan part intro. Prosesnya panjang, hampir 1,5 tahun sampai akhirnya bagan lagu ini selesai. Namanya juga Barasuara kita memang suka beride, akhirnya tercetusnya ide untuk menambahkan orchestra, satu-satunya nama yang terpikir adalah Mas Erwin Gutawa. Ternyata beliau setuju, tapi bahkan setelah ini pun lagu “Merayakan Fana” masih butuh waktu berbulan-bulan hingga benar-benar rampung, karena kita juga paralel mengerjakan lagu-lagu lainnya.

GM: Kalau dari segi lirik sendiri, sebenarnya apa yang ingin coba disampaikan?

IM: Lirik memang jadi salah satu departemen yang memakan waktu panjang. Lirik dalam lagu kan sedikit banyak menjadi pesan atau media penyampai cerita, jadi prosesnya cukup lama. Sebagai latar belakang, lagu “Merayakan Fana” ini merupakan gambaran momen yang sudah dilewati selama dua tahun terakhir. Banyak kejadian traumatis yang dialami, termasuk kehilangan orang-orang terdekat disekeliling kita. Lirik lagu “Merayakan Fana” ini saya tulis berdasarkan salah satu momen pahit yang juga saya alami, yaitu saat almarhum kakek saya berpulang.

Mungkin banyak orang juga mengalami proses yang sama, ketika orang yang kita sayangi pergi pada saat pandemi kemarin kita merasa tidak bisa memberikan  penghormatan terakhir dengan maksimal. Kalau di agama Islam kan ada prosesi pengajian atau pemakaman, tapi karena pandemi hal-hal tersebut tidak bisa dilakukan atau hanya bisa disaksikan dari jarak jauh.

Kejadian itu cukup traumatis untuk saya, walaupun sekarang sudah bisa diceritakan dengan lebih tenang. Dari momen itu saya merasa bahwa yang pasti di dunia ini hanya kematian dan hal ini sudah dijamin oleh hampir semua kitab suci. Nasib kita bisa berbeda-beda tapi pada akhirnya kita akan tetap berpulang.

Melalui lagu “Merayakan Fana” ini kami menyampaikan bahwa saat kita hidup dengan keseharian dan segala pencapaian-pencapaian duniawi yang ada, sebenarnya tidak ada salahnya kalau kita mencoba merayakan itu semua walau kita tau bahwa kehidupan sifatnya fana. Banyak yang bilang bahwa kehidupan ini sebenarnya ujia, karena tujuan akhir yang sebenarnya ada di alam yang berikutnya.

Saat kita hidup dengan keseharian dan segala pencapaian-pencapaian duniawi yang ada, sebenarnya tidak ada salahnya kalau kita mencoba merayakan itu semua walau kita tau bahwa kehidupan sifatnya fana.

Merayakan Fana adalah tentang mencoba melakukan yang terbaik selama kita hidup, tetapi juga tau bahwa pada akhirnya kita akan dikembalikan dengan segala macam penilaian dan pengkahiman. Tentang apa yang baik dan buruk yang pernah kita lakukan di dunia. Bahwa kehidupan sebenarnya sementara dan pada akhirnya kita akan kembali berjalan menuju  tempat berikutnya. Kematian mungkin jalan menuju kelahiran yang abadi.

GS: Di bagian terakhir dari lagunya juga kalau dari segi aransemen menggambarkan bahwa hidup itu abu-abu kadang kita tidak yakin apakah hidup kita saat ini asli atau palsu. Menggambarkan ambiguitas kematian bisa jadi tidak selamanya sedih, bisa jadi sebaliknya. Begitu juga halnya dengan kehidupan, tidak ada yang mutlak, semuanya ambigu.

Hidup itu penuh ambiguitas, tidak ada yang mutlak semuanya abu-abu.

GM: Rilisan terbaru ini juga menjadi penanda, 11 tahun Barasuara berkarya bersama. Perbedaan apa yang dirasakan setelah lebih dari 10 tahun bersama sebagai sebuah band?

IM: Ya pada dasarnya kami sama-sama bertumbuh secara tidak sadar, ya. Ini proses yang kami alami secara perlahan-lahan. Jadi kami juga sudah bisa lebih memahami dan menerima watak dan sifat masing-masing, serta memahami bahwa setiap orang punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Diskusi intens pasti sering terjadi, tapi ini justru sangat saya syukuri. Setelah bersama selama lebih dari 10 tahun kami masih punya “api” untuk bisa berkarya semaksimal yang kami bisa. Bukan lantas jadi permisif atau pasrah dengan pendapat satu sama lain.

GS: Di Barasuara memang bisa dibilang cukup ekstrem, enam kepala yang memang cukup keras dengan pendiriannya masing-masing. Untungnya kami justru semakin tidak ragu untuk lebih bersuara, karena tujuan kita pada akhirnya sama untuk bisa bermusik dengan semaksimal mungkin. Kuncinya saling menghormati aja.

TJ: Sebenarnya yang jadi tantangan punya banyak kepala dalam satu kelompok adalah ego. Bekerja sama dan berkarya dalam kelompok menurut saya bukan tentang kompetisi, bukan tentang siapa yang menang atau paling didengarkan, tetapi untuk bisa saling kompromi dan bersepakat untuk menghasilkan karya terbaik versi kami bersama. Kalau punya ide coba sampaikan aja, kalau memang lantas tidak dipakai bukan berarti gagal, toh, kita punya tujuan yang sama.

Bekerja sama dan berkarya dalam kelompok menurut saya bukan tentang kompetisi, bukan tentang siapa yang menang atau paling didengarkan, tetapi untuk bisa saling kompromi dan bersepakat untuk menghasilkan karya terbaik versi kami bersama.

Mudah-mudahan seterusnya bisa seperti ini dan intinya perubahan dari zaman dulu mungkin banyak menyimpan sendiri kalau sekarang yang dikomunikasikan saja dan akhirnya kami bisa dapat informasi yang jelas tanpa prasangka atau asumsi yang nggak perlu. Mungkin sekarang agak lebih bisa paham satu sama lain.

GM: Baik, kalau begitu ke depannya musik seperti apa yang ingin coba dihadirkan oleh Barasuara?

IM: Kalau berdasarkan dari lagu-lagu yang sudah kami rekam dan akan rilis, sepertinya bisa jadi kompas untuk nyari warna lagu lain yang kurang lebih relevan sama apa yang sudah kami buat dan rekam. Merayakan Fana bisa kami setujuin untuk jadi “benchmark” untuk bikin warna albumnya. Bukan lantas membangun tembok untuk kemungkinan-kemungkinan yang lain.

GS: Benar, bisa dibilang Merayakan Fana cukup full power dengan musiK band dan orchestra yang cukup megah tapi tidak menutup kemungkinan kita akan menghadirkan warna musiK yang lain. Ibaratnya Merayakan Fana adalah lagu paling berwarna yang kita hadirkan, tapi lagu-lagu lainnya tungguin aja. Kalau music mungkin akan sulit juga kita jelasin music kita akan kayak apa, lebih kepada pendengar atau kritikus. Kalau dari kita, bikin musiK yang sewarna dengan albumnya atau produksinya. Beruntungnya kita semua dengan dua lagu yang baru kita rilis ini, kita sudah tau kurang lebih arahnya mau ke mana.

TJ: Intinya Merayakan Fana bisa jadi gambaran. Paling minta doanya aja supaya album kita bisa diluncurkan secepatnya, terima kasih.

Related Articles

Card image
Self
Kesediaan Membuka Pintu Baru Melalui Musik

Bagiku, membahagiakan sekali melihat saat ini sudah banyak musisi yang bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya melalui berbagai genre musik tanpa ketakutan tidak memiliki ruang dari pendengar Indonesia.

By Mea Shahira
23 March 2024
Card image
Self
Berproses Menjadi Dewasa

Ada yang mengatakan usia hanyalah angka. Sebagian memahami hal ini dengan semangat untuk tetap muda, menjaga api dalam diri untuk terus menjalani hari dengan penuh harapan.

By Greatmind
23 March 2024
Card image
Self
Kala Si Canggung Jatuh Hati

Bagiku, rasa canggung saat bertemu seseorang yang menarik perhatian kita adalah hal yang menjadikan kencan pertama istimewa. Menurut aku, saat baru pertama kali bertemu dan berkenalan kita memang masih harus malu-malu, momen canggung ini yang nantinya bisa menjadi berharga setelah beriringnya waktu.

By Dillan Zamaita
23 March 2024