Rasanya memendam perasaan, baik perasaan senang maupun sedih, tidaklah pernah baik. Pada waktu-waktu tertentu, kita butuh untuk bisa mengeluarkannya agar tidak memendam sendiri. Walaupun di satu sisi, kita juga enggan untuk selalu menceritakan pada orang lain karena takut membebani mereka. Itulah yang sering saya rasakan. Segala perasaan tersebut pun akhirnya saya keluarkan melalui gambar dengan medium oil pastel.
Rasanya memendam perasaan, baik perasaan senang maupun sedih, tidaklah pernah baik.
Ada yang menarik dari menggambar dengan oil pastel. Tidak ada perantara antara tangan dan kertas yang torehkan warna-warni oil pastel. Tangan kita langsung menyalurkan segala perasaan ke atas kertas tanpa butuh benda lain yang menghubungkan. Dengan demikian, energi kita pun langsung tersalurkan lewat goresan dan gerakan tangan sehingga segala perasaan lewat material tersebut langsung terekam di atas kertas.
Ketika sedang menggambar, saya seringkali merasa berada dalam momen “bodo amat”. Momen yang membantu saya bisa merasa lebih tenang. Momen “bodo amat” itu pun sepertinya saya pelajari dari anak-anak yang sering saya sebut sebagai manusia kecil. Saya percaya kalau kita ingin belajar bijak, belajarlah dari anak-anak. Pada dasarnya, anak-anak hidup hanya untuk masa kini saja. Ketika sedang main, mereka tidak memikirkan yang lain. Jika mereka sedang sedih, mereka akan sedih. Kesadaran untuk merasakan apa yang dirasakan saat itu, perasaan apapun, adalah sesuatu yang amat bijaksana untuk saya.
Terkadang kita sebagai orang dewasa, melupakan kesadaran untuk merasakan segala emosi karena punya kesibukan dan segala agenda keseharian. Kita seolah melupakan pentingnya merasakan apa yang sedang terjadi saat ini karena banyak memikirkan masa depan. Oleh sebab itu, terhubung kembali dengan perasaan yang dialami anak-anak, sangatlah penting. Setidaknya untuk saya. Saya merasa lebih tenang ketika saya bisa merasa “bodo amat” seperti anak-anak yang sedang fokus bermain saja. Ketika saya sedang menghadapi sesuatu, misalnya masalah kantor yang rumit dulu, saya akan “melarikan diri” ke dalam proses menggambar. Dalam kurun waktu satu jam saya menggambar, saya akan benar-benar “bodo amat” dengan segala yang terjadi dalam hidup, masalah yang sedang dihadapi dan segala kerumitannya. Inilah yang akhirnya dapat membantu saya untuk dapat merasa lebih tenang.
Berbagai gambar dan tulisan dalam buku saya, “The Lyrics of Self-Acceptance”, terjalin kolaborasi perasaan sekaligus pemikiran yang ingin saya ungkapkan. Misalnya dalam “Hop, Hop, Hope” yang direpresentasikan dengan gambar dua ekor kelinci yang melompat. Sebenarnya, saya ingin membiarkan para pembaca untuk memiliki interpretasinya sendiri. Namun, jika saya bisa sedikit mengungkapkan, lewat gambar dan tulisan ini saya ingin menyampaikan bahwa proses hidup kita bagaikan sedang melompat. Lompatan itu tidaklah selalu mulus, tidak selalu sama tinggi, dan tentu tidak selalu mendarat dengan sempurna. Kita selalu melompat, berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan tak pernah berakhir. Saya rasa, kita manusia akan selalu beradaptasi dalam hidup ini setelah melompat dari satu tempat ke tempat lain. Dari setiap lompatan itu pun tersemat sebuah harapan.
Saya rasa, kita manusia akan selalu beradaptasi dalam hidup ini setelah melompat dari satu tempat ke tempat lain. Dari setiap lompatan itu pun tersemat sebuah harapan.
Berbeda dengan “Days of Fire”. Saya selalu berpikir bahwa untuk menghangatkan sesuatu, kita akan selalu punya risiko untuk terbakar. Dulu saya selalu meyakini bahwa api artinya selalu negatif dan selalu terbakar. Tapi saya akhirnya menyadari bahwa api tidak selalu buruk. Bahkan jika hangus sekalipun. Api bisa memberikan kita cahaya, bisa juga menghangatkan kita. Apabila bisa dianalogikan dengan perasaan, api bagaikan perasaan bahagia. Perasaan bahagia identik dengan kehangatan yang dirasakan dalam hati dan pikiran. Ketika perasaan bahagia yang dirasakan berlebihan, memang jadi bisa membakar. Perasaan itu pun tidak lagi jadi baik. Akan tetapi, saya berpikir kembali bahwa saat api sudah membakar hingga hangus, kita mungkin bisa selalu mulai lagi. Jadi, sebenarnya api bisa tidak menjadi masalah untuk kita. Nantinya setelah menjadi abu, akan ada perputaran baru atas api yang menyala. Yang mungkin harus kita lakukan hanyalah mencari pembelajaran yang didapat dari sana.
Lalu, lewat “Weavers”, saya ingin menyampaikan bahwa kita sebagai manusia selalu memiliki “kulit” yang menyelimuti. Secara harfiah, kulit yang melindungi lapisan daging dan darah tubuh kita. Secara kiasan, kita punya “kulit” yang menyelimuti perasaan. Selimut perasaan itu, biasanya, kita tenun sendiri untuk menunjukkan diri yang ingin dilihat oleh orang lain. Menurut saya, ini adalah hal yang sangat manusiawi sekali. Kita selalu menenun selimut untuk menutupi kesedihan dan kebahagiaan diri. Hanya saja, kita sering tidak menyadari bahwa kita selalu punya pilihan untuk menenun ulang, memperlihatkan apa yang benar-benar menjadi identitas diri. Secara tidak langsung, ini ingin saya sampaikan agar kita bisa mulai menerima segala perasaan yang dimiliki.