Apapun gaya hidupnya, semua adalah keputusan pribadi bagi setiap yang menjalankan. Tidak ada yang benar ataupun salah. Yang ada hanyalah, apakah gaya hidup yang kita pilih dan jalani sesuai atau tidak dengan kondisi pribadi, keluarga, serta lingkungan sekitar. Orang lain boleh menilai dan mengambil kesimpulan. Namun, kita lah yang lebih tahu, seberapa jauh pengaruh sebuah keputusan yang telah dibuat, memiliki dampak pada hidup kita. Terlepas kita menikmatinya atau tidak, kembali lagi itu hanyalah soal niat yang tertanam, sebagai latar belakang alasan awal sebuah keputusan dijalankan dan perubahan dimulai.
Saya memilih untuk menjalankan gaya hidup sederhana beberapa tahun belakangan ini. Meski dalam sejumlah literatur gaya hidup sederhana kerap disebut ‘minimalis’, namun saya lebih senang menyebutnya dengan kata ‘secukupnya’. Keputusan ini pada mulanya diawali dengan kesadaran akan terbatasnya kondisi keuangan, yang tidak sebanding dengan kebutuhan akan pengeluaran yang berlipat. Dari sini, mulailah saya mencari tahu bagaimana caranya saya dapat menjalani hidup dengan lebih efektif, agar dapat mengurangi beban pengeluaran. Dalam kesempatan ini, saya menemukan artikel mengenai gaya hidup minimalis yang digagas oleh Marie Kondo, dan kemudian tertarik untuk mencoba mengikutinya. Hasilnya? Ternyata saya tidak hanya merasa lebih memiliki kebebasan finansial seperti niat saya semula, namun juga kebebasan waktu, ruang, dan pikiran sebagai akumulasi dari berkurangnya barang yang dimiliki di apartemen.
Intinya adalah berkecukupan. Tidak berlebih, juga tidak terlalu ekstrim membatasi diri dalam membeli sesuatu. Hidup juga perlu dinikmati, bukan hanya digeluti. Marie Kondo sendiri mengatakan langkah awal dari mempraktikkan gaya hidup minimalis adalah dengan terlebih dahulu melakukan sortir akan benda apa saja yang sudah dimiliki. Bila benda tersebut ‘sparks joy’ atau membuat kita merasa bahagia memilikinya, maka tidak masalah untuk tetap menyimpannya. Namun bila tidak, maka lebih baik kita menyingkirkannya.
Pada mulanya, saya memang benar-benar mengikuti langkah-langkah yang diajarkan oleh Marie Kondo. Namun pada perkembangannya, saya mulai ‘menciptakan’ sistem seleksi tersendiri saat memutuskan untuk membeli sesuatu. Biasanya, ada dua pertanyaan akan saya ajukan ke diri sendiri. Pertama, apakah benda ini berguna? Kedua, apakah benda ini memiliki estetika yang membuatnya menarik dipandang? Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia seni dan industri kreatif, memiliki benda yang cantik dipandang seperti poin tersendiri bagi saya. Kadangkala bisa saja saya membeli suatu benda lebih karena memiliki unsur estetika yang kuat, yang membuat saya senang memilikinya, dan belum tentu tersedia atau dijual di tempat lain. Tiap orang memiliki preferensinya masing-masing. Satu pos pengeluaran dihemat, satu pos lainnya bisa mendapat alokasi budget lebih. Selain membeli benda-benda ‘cantik’, uang yang berhasil saya hemat dari penerapan hidup secukupnya ini selalu saya alokasikan untuk mendukung hal-hal yang perlu mendapat ‘dukungan’. Misalnya, untuk menonton film, membeli buku, atau datang ke suatu acara yang merupakan hasil karya teman-teman saya. Hasil buah pikir kreatif saya rasa sangat perlu diapresiasi untuk dapat terus bergeliat dan berkembang ke depannya. Saya pun juga dapat lebih mengalokasikan uang yang saya miliki untuk menghabiskan waktu dengan teman dan keluarga, untuk makan atau bepergian bersama. Momen kebersamaan mahal harganya dan juga memiliki sisi emosional yang kuat karena akan dapat dikenang sepanjang waktu.
Aplikasi dari gaya hidup secukupnya juga tidak terbatas pada kepemilikan benda saja. Saat berlibur contohnya, satu hal yang tanpa disadari kerap kita hambur-hamburkan adalah mengambil foto dalam jumlah banyak di sejumlah tempat dengan dalih kepentingan akan kenangan. Padahal ujung-ujungnya, banyak foto tersebut yang hanya tersimpan memenuhi memory card, atau justru terlupakan begitu saja setelah sekian lama berselang. Memilih foto buka hal yang dapat dilakukan singkat. Kita pun tidak akan memasang semua foto dalam akun media sosial atau mencetak dan memajangnya di rumah. Jadi mengapa perlu kita mengambil foto dalam jumlah banyak bila ujung-ujungnya tidak digunakan? Saya menyadari saat tengah melakukan seleksi foto pasca berlibur, saya cenderung hanya akan menyimpan foto yang memiliki kenangan emosional seperti foto bersama teman atau candid, alih-alih hanya berfoto di sebuah tempat yang tampak menarik atau objek turisme lainnya. Oleh karenanya, kini saat bepergian, saya cenderung hanya mengambil sedikit foto dan lebih memilih untuk ‘being present’ dan benar-benar menikmati waktu. Saya juga tidak ingin momen berada di suatu tempat baru yang belum tentu terulang kembali menjadi terdistraksi karena keperluan dokumentasi yang pada akhirnya tidak begitu dibutuhkan.
Proses panjang menyortir barang yang dimiliki adalah salah satu tantangan saat memulai untuk hidup minimalis atau secukupnya. Namun, efek samping positif yang diperoleh adalah kita menjadi lebih mengenal diri sendiri akan apa yang telah dimiliki, kita senangi, dan butuhkan. Tidak hanya rumah yang rapi, namun juga jiwa. Sama hal-nya dengan membelikan oleh-oleh, yang menurut saya adalah hal cukup menantang dari menjalankan prinsip hidup yang saya terapkan ini. Otomatis dengan selalu memikirkan pembelian benda lebih karena pertimbangan kebutuhan bukan keinginan menjadikan saya ingin memberikan buah tangan yang juga diperlukan oleh penerima, bukan hanya sesuatu yang akan memenuhi rumah mereka dan setelah sekian lama perlu disingkirkan. Oleh sebab itu, karena tidak mudah juga untuk memperoleh oleh-oleh yang sesuai, kadangkala bisa saja saya tidak dapat memberikan seseorang sesuatu sepulang saya bepergian. Bukan berarti saya tidak memikirkan mereka atau menganggap mereka kurang penting. Justru mencari oleh-oleh dengan pertimbangan kebutuhan jauh lebih membutuhkan waktu dan pikiran tersendiri. Sebagai gantinya, saya biasanya menawarkan kegiatan makan atau pergi ke suatu tempat bersama dengan yang bersangkutan untuk berbagi cerita, waktu, dan pengalaman. Itu juga suatu oleh-oleh, kan?
Saya merasa lebih bahagia menjalankan gaya hidup secukupnya ini. Meski pada awalnya lebih untuk tujuan berhemat, namun pada akhirnya saat saya ‘mampu’, saya memilih untuk tetap menjalankan gaya hidup yang sama. Saya pun jadi merasa memiliki ‘lebih’. Bila dahulu saat ingin membantu orang agak tertahan karena merasa hidup saya yang ‘kurang’ juga, kini, dengan memiliki secukupnya, ada uang lebih yang bisa saya sisihkan untuk mereka yang membutuhkan, yang membuat hidup saya menjadi terasa lebih berkecukupan. Less is more. Saat kita hidup dengan lebih sedikit benda, kita memiliki lebih banyak waktu, uang, tenaga, dan masih banyak hal lainnya yang mengikuti. Tentunya, tidak mungkin saya mendeskripsikan semua pengalaman yang saya alami saat menjalankan gaya hidup secukupnya. Anda harus mencoba, dan merasakannya secara langsung perubahan positif yang menunggu dan menanti di akhir jalan.