Sikap dan sifat seseorang di waktu dewasa memang banyak berasal dari pembawaan masa kecil. Bagaimana cara dia dibesarkan, pengaruh lingkungan dan mungkin saja trauma yang menciptakan kebiasaan-kebiasaan tertentu. Sikap dan sifat ini yang nantinya membentuk kepribadian seseorang untuk memiliki kecenderungan introver atau ekstrover. Tapi terkadang orang suka memberikan stigma negatif pada salah satunya sampai berusaha mencari asal sifat itu dari mana. Padahal tidak ada salahnya kalau seseorang lebih cenderung tertutup, kan? Yang penting kita merasa baik-baik saja dengan bawaan yang dimiliki itu.
Dulu waktu masih remaja aku sering membaca buku-buku self-development di samping memang keluargaku juga cukup terbuka dengan ilmu psikologi. Lalu aku menemukan bahwa memang kepribadianku kecenderungan introver. Aku lebih banyak memproses sebuah ide, gagasan, atau komentar sendiri dan sangat berhati-hati mengeluarkannya. Aku bukan tipe orang yang secara spontan mengekspresikan sebuah pernyataan. Sampai sekarang pun aku masih menyaring apa yang keluar dari diri. Kalau tidak menguntungkan untuk orang lain apalagi diri sendiri biasanya aku akan diam saja. Lebih baik aku simpan dan selesaikan sendiri. Dari kecil aku memang terbiasa melakukan apa-apa sendiri. Hingga sekarang belanja saja aku lebih nyaman sendirian. Begitu juga kalau ada pilihan untuk keluar rumah atau tidak, aku pasti akan memilih di rumah. Berada di ruangku sendiri.
Kalau tidak menguntungkan untuk orang lain apalagi diri sendiri biasanya aku akan diam saja. Lebih baik aku simpan dan selesaikan sendiri.
Aku merasa kebiasaan ini terbentuk salah satunya juga karena metode pendidikan di Indonesia yang seakan-akan tidak membiarkan kita punya pendapat. Stigma menulis esai di sekolah terasa negatif padahal kalau terbiasa menulis esai kita bisa lebih mudah mengutarakan pendapat dan punya suara. Terbiasa mengelola gagasan yang dimiliki. Sepertinya ini yang menuntun aku pada proses panjang untuk punya suara. Cukup sulit untuk aku bisa menyeimbangkan sifat introver dan ekstrover dalam diri sampai keseimbangan ini dituntut oleh pekerjaan menjadi aktor. Aku belajar sambil berjalan dan cenderung otodidak. Pernah dulu aku punya pilihan untuk bersekolah di luar negeri. Aku memikirkannya sangat matang sampai sulit membuat keputusan. Lalu ayahku pun bertanya, “Jadi kamu maunya apa? Jadi apa?” Di situ aku baru bisa berani bilang tidak dan memutuskan mencoba berkarier di dunia film.
Stigma menulis esai di sekolah terasa negatif padahal kalau terbiasa menulis esai kita bisa lebih mudah mengutarakan pendapat dan punya suara. Terbiasa mengelola gagasan yang dimiliki.
Di pekerjaanku sekarang terkadang aku merasa kesulitan ketika harus bertemu banyak orang (biasanya saat sedang promo film). Sampai ada orang yang bilang aku sombong sebab tidak mau diajak foto. Sebenarnya bukan tidak mau, tapi terkadang aku merasa tidak punya ruang sendiri. Misalnya saja kalau aku sedang dalam percakapan dengan seseorang lalu ada yang menyela untuk foto. Pernah satu kali aku ada di New York sedang janjian dengan teman yang hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Sesaat sebelum masuk ke teater, ada yang memanggil minta foto. Tentu saja aku juga tidak bisa menolak. Sehabis foto diajak ngobrol hingga aku harus langsung masuk teater dan tidak punya waktu untuk bertegur sapa dengan temanku itu. Hal-hal seperti ini terkadang membuatku merasa capek. Aku jadi kesulitan punya waktu dan ruang dengan teman-teman, keluarga, atau partnerku di ruang publik. Orang yang di luar pekerjaanku pantas mendapatkan waktuku juga. Apalagi di zaman sekarang di mana semua orang sering sibuk dengan gadget masing-masing saat bertemu. Makanya ketika sedang punya waktu berkualitas dan kepotong karena keharusan menjadi terbuka membuatku kurang nyaman.
Orang yang di luar pekerjaanku pantas mendapatkan waktuku juga. Apalagi di zaman sekarang di mana semua orang sering sibuk dengan gadget masing-masing saat bertemu. Makanya ketika sedang punya waktu berkualitas dan kepotong karena keharusan menjadi terbuka membuatku kurang nyaman
Tetapi aku tahu ini adalah tantangan pekerjaanku dan aku harus bisa menyesuaikan kedua sifat tersebut dalam waktu-waktu tertentu. Ikhlas adalah kuncinya. Mungkin aku sedang tidak mood, tidak nyaman dengan keharusan itu tapi kemudian harus disadari, diikhlaskan, dan dijalankan. Biasanya aku akan membuat jarak dulu dari perasaan itu dan melihatnya lebih objektif. Mengambil sisi baiknya untuk bisa bertumbuh. Segala sesuatu pasti ada sisi positif dan negatif. Pembelajaran untuk bisa jadi seseorang yang lebih terbuka dan punya keseimbangan antara dua sifat butuh melewati masa-masa sulit. Setelahnya baru bisa melihat semuanya jadi lebih jelas. Yang aku pahami adalah aku tidak akan berhenti belajar dan tidak pernah ada salahnya untuk terus belajar, kan?
Pembelajaran untuk bisa jadi seseorang yang lebih terbuka dan punya keseimbangan antara dua sifat butuh melewati masa-masa sulit. Setelahnya baru bisa melihat semuanya jadi lebih jelas.