Mengenal kebutuhan dan keinginan biasanya lebih sering diasosiasikan dengan barang. Misalnya soal beli pakaian. Terkadang kita sebenarnya hanya butuh dua baju baru tapi malah beli dua puluh karena mendahulukan keinginan — yang mungkin hanya sekadar keinginan impulsif.
Di situasi yang sedang kita jalani seperti sekarang ini sebenarnya kita jadi diingatkan untuk mengetahui benar apa yang hanya sekadar keinginan dan mana yang benar-benar kebutuhan. Dan ternyata kita di rumah saja seperti ini bisa-bisa saja menjalani kehidupan sehar-hari tanpa banyak keinginan yang tidak dibutuhkan. Tidak ngopi di luar atau jalan-jalan di mal. Apa yang kita beli sekarang adalah yang paling kita butuhkan. Benar-benar hanya kebutuhan dasar. Buatku sendiri penting sekali kita tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan. Sedari kecil orangtuaku membiasakan untuk memikirkan matang-matang jika mau beli sesuatu. Pasti ditanya apakah benar butuh atau cuma pengen. Biasanya disuruh pulang dulu lalu kalau besok-besok masih kepikiran baru beli. Kalau setelah itu tidak lagi kepikiran bisa jadi itu cuma keinginan semata yang tidak perlu harus langsung diwujudkan.
Di situasi yang sedang kita jalani seperti sekarang ini sebenarnya kita jadi diingatkan untuk mengetahui benar apa yang hanya sekadar keinginan dan mana yang benar-benar kebutuhan.
Namun semakin kita dewasa antara keinginan dan kebutuhan menjadi hal yang lebih kompleks. Apalagi setelah berkeluarga dan punya anak. Terkadang kita tidak lagi bisa mementingkan keinginan dan kebutuhan pribadi tapi bersama. Aku dan suamiku sebenarnya tipe pasangan yang go with the flow. Jarang merencanakan. Walaupun kami sudah membahas tentang keinginan punya anak tapi kami tidak langsung merencanakan dan menargetkan. Setelah tiga bulan nikah malah kami harus hubungan jarak jauh karena dia mendapat kerja di Jepang. Selepas satu tahun menikah barulah kami punya anak. Awalnya aku cuma berpikir punya anak hanya tentang hamil, melahirkan, menyusui dan harus tinggal di rumah dulu sementara. Semuanya akan baik-baik saja. Tapi ternyata aku salah karena banyak sekali yang harus dilakukan dan dipersiapkan saat punya anak.
Semakin kita dewasa antara keinginan dan kebutuhan menjadi hal yang lebih kompleks.
Masalah terbesarku seusai melahirkan adalah adanya keinginan dan kebutuhan pribadi yang harus dikesampingkan karena tanggung jawab sebagai ibu. Bahkan sempat mengalami baby blues sampai anakku berumur delapan bulan. Rasanya seperti jet lag menjalanni kebiasaan sehari-hari yang jomplang sekali. Sebelum punya anak setiap hari aku pasti ada kesibukan. Bayangkan dulu aku hampir tiap hari bangun jam tiga pagi langsung pergi kerja, berdandan rapi full makeup. Produktif sekali. Tiba-tiba setelah melahirkan wajahku kuyu, badan tidak terurus karena kenaikan berat badan saat hamil, setiap hari pakai daster, hanya mengurus bayi saja tidak kerja sama sekali. Ditambah kurangnya pengetahuanku soal menjadi seorang ibu.
Aku adalah anak pertama di keluarga yang punya anak. Jadi seperti benar-benar clueless tidak ada contoh, minim bantuan dan informasi. Walaupun aku tahu informasi di luar sana banyak sekali. Tapi memang aku menganggap gampang karena berpikir, "Ah, jadi ibu semua orang pasti bisa." Sebelum melahirkan aku pikir menyusui tinggal menyusui saja. Tapi ternyata banyak yang harus diperhatikan. ASI bisa tidak keluar kalau aku stres dan itu benar terjadi. Sempat ASI aku tidak keluar dan bayiku tidak bisa minum ASI. Dia kelaparan, aku tambah stres, ASI tambah tidak keluar. Wah rasanya seperti lingkaran setan!
Aku baru bisa menerima realita setelah anak berusia enam bulan setelah melewati ASI eksklusif. Ada perasaan lega karena akhirnya bayi ini tidak 100 persen tergantung sama aku. Sebelumnya itu aku takut sekali terjadi apa-apa sama bayiku seolah nyawanya ada di tanganku. Padahal aku tahu aku tidak pintar dan tidak punya pengalaman atau pengetahuan banyak soal merawat bayi. Dulu aku menangis hampir setiap hari karena capek yang teramat sangat. Bukan cuma capek badan tapi juga pikiran akibat sebagian dari diriku belum bisa menerima keadaan. Seperti ada yang bilang, “Kok, elo punya anak sekarang sih, elo kan jadi nggak bisa lanjutin karier, terjebak sama bayi, dasteran terus di rumah.” Dan ini jadi pelajaran berharga sekali buatku menyadari bahwa ternyata keputusan besar dalam hidup harus direncanakan. Bukan sekadar materi tapi juga mental. Secara mental aku akui mungkin dulu belum terlalu siap. Masih merasa seperti Zizi yang single bisa loncat ke sana ke mari. Kerjain ini kerjain itu dengan santai tanpa beban. Tidak tahunya punya anak pasti memberikan perubahan dalam hidup.
Ternyata keputusan besar dalam hidup harus direncanakan. Bukan sekadar materi tapi juga mental.
Setelah menjalani hal yang di luar rencana, aku berkesimpulan bahwa ternyata aku harus melewati penyangkalan dulu sebelum bisa menerima kenyataan. Penyangkalan itu bisa macam-macam bentuknya entah jadi marah-marah atau pura-pura tidak ada apa-apa padahal menyimpan dalam hati. Setelah menyangkal munculah kemarahan yang juga membuatku bisa menyalahkan keadaan. Hal kecil bisa mudah sekali menyulut emosi. Setelahnya munculah fase kontemplasi. Aku jadi banyak ngobrol sama diri sendiri, berkaca dan berpikir apa yang sebenarnya aku inginkan. Kenapa aku jadi pribadi yang seperti ini padahal dulu aku orang yang cheerful dan bubbly. Sekarang kenapa jadi negatif.
Baru setelah kontemplasi aku menemukan perspektif baru untuk sampai ke titik bisa menerima realita. Aku jadi mengerti dulu aku merasa anakku seperti beban karena membuatku tidak bisa berkarier. Jadinya sulit sekali menerima keadaan. Sedih sekali tidak bisa melakukan apa yang aku senangi. Tapi setelah mendapatkan perspektif baru aku baru bisa menyelaraskan keinginan dan kebutuhanku. Nyatanya kalau kita berhenti mengkotak-kotakan keinginan dan kebutuhan, keduanya sebenarnya saling beriringan.
Aku mengubah pandangan yang berpikir seolah anakku adalah beban. Sebaliknya aku memikirkan apa yang bisa aku kerjakan dengan tetap mengurus anak. Setelah mengubah pola pikir tersebut, efeknya luar biasa sekali. Aku jadi berpikir kenapa aku harus membatasi diriku pada satu zona dan standar yang dibuat sendiri. Kenapa aku harus ngotot tetap jadi penyiar di televisi? Padahal zona karierku tidak ada batasnya. Aku tetap bisa melakukan pekerjaan yang aku senangi tanpa harus meninggalkan anak. Semenjak itu ada saja pekerjaan yang datang tanpa aku harus meninggalkan anakku. Kesempatan-kesempatan baru yang bisa menyeimbangkan keinginanku untuk menyalurkan passion namun tetap bisa memenuhi kebutuhanku menjadi orangtua. Setelah aku sudah menerima keadaan yang di luar rencana aku jadi belajar untuk bisa merencanakan lebih baik apa yang ada di depan. Aku melihat kesempatan untuk belajar mempersiapkan lebih baik di masa depan. Termasuk kesempatan untuk berada di titik yang kita inginkan dan kita butuhkan secara bersamaan.
Setelah aku sudah menerima keadaan yang di luar rencana aku jadi belajar untuk bisa merencanakan lebih baik apa yang ada di depan.