Self Health & Wellness

Menyadari Yang Terjadi Pada Diri

Di masa penyebaran Covid-19 sudah merebak seperti sekarang ini, sulit untuk kita bisa tahu dari siapa kita tertular. Begitu pula pada saat saya dinyatakan positif. Padahal saya sudah sangat ketat menjaga protokol kesehatan, rutin antigen, dan membatasi sekali bertemu dengan orang walaupun masih ke kantor dua kali seminggu dan hanya bertemu 2-3 orang saja di kantor. 

Gejala awal yang saya rasakan adalah tubuh yang lemas dan linu diikuti dengan pusing kepala. Saat itu, saya masih mencoba berpikir positif dan meyakinkan tidak terserang Covid-19 karena tidak bertemu banyak orang. Saya adalah orang yang cukup jarang sakit. Jadi ketika mengalami gejala-gejala tersebut, saya merasa ada yang salah pada tubuh. Akhirnya, saya memutuskan untuk mendatangkan nakes yang bisa melakukan tes antigen di rumah. Benar saja, hasilnya reaktif. 

Hal pertama yang saya lakukan setelahnya adalah melakukan tes PCR. Tidak hanya saya, tapi juga semua anggota keluarga termasuk Asisten Rumah Tangga dan supir. Kemudian saya juga langsung melakukan tracing. Memberi tahu orang-orang yang saya temui beberapa hari terakhir untuk mereka juga melakukan tes antigen. Saat tes keluar, yang positif hanya saya sendiri. Semua anggota keluarga negatif. Cepat-cepat kami langsung mempersiapkan melakukan pencegahan agar tidak ada yang tertular di rumah. Saya langsung pindah ke lantai dua, membawa semua peralatan makan, pakaian, desinfektan, dan lain-lain.

Kebetulan di keluarga saya banyak yang menjadi dokter. Salah satunya adalah kakak saya. Setelah berdiskusi, dia menyarankan untuk isolasi mandiri (isoman) di rumah karena melihat kondisi fisik saya yang tidak mengalami gejala parah. Menurutnya, jika saya melakukan isolasi mandiri di rumah sakit, akan sulit untuk berjemur atau menghirup udara segar. Kecuali jika memang isolasi mandiri di Wisma Atlet yang memiliki fasilitas khusus untuk para pasien Covid-19. Selain itu, dia juga menjelaskan bahwa virus bisa ada di inang kurang lebih 10-14 hari. Itulah mengapa mereka yang terjangkit harus isoman 10-14 hari agar virus tersebut tidak berpindah ke inang atau ke tubuh orang lain. 

Hari pertama saya hanya merasa tubuh lemas dan linu saja. Tidak ada demam hingga hari kedua walaupun lemas dan linu semakin parah. Saya akhirnya memutuskan untuk melakukan CT rontgen karena khawatir virus tersebut akan memengaruhi kinerja paru-paru. Untungnya, semua hasil bagus sehingga saya bisa melanjutkan isoman di rumah tanpa perlu dirawat inap. Mengetahui itu, saya sudah mulai tenang dan meyakinkan diri akan baik-baik saja. Pikir saya, penyakit ini tidak berbahaya dan saya hanya perlu istirahat. 

Tapi ternyata di hari berikutnya, penciuman dan indera perasa saya mulai diserang. Saya merasa semua makanan asin, yang manis sekalipun. Lalu, saya sempat berdiskusi dengan teman yang juga pernah mengalami hal serupa. Penciuman dia juga baru kembali normal setelah 6 bulan positif. Mengetahui itu, saya kembali berusaha tenang dan memberikan afirmasi pada diri untuk menjalani prosesnya walaupun mungkin membutuhkan proses panjang. Di saat mulai tenang, esoknya ada lagi gejala baru yang saya alami yaitu sulit bernapas. Ini tidak terjadi terus menerus, tapi terkadang cukup mengganggu karena tidak bisa bernapas lega. 

Saya bersyukur sekali memiliki support system yang sangat baik. Kakak saya selalu cek kondisi dan menanyakan kadar saturasi dan tensi darah. Katanya, selama kedua hal tersebut menunjukkan hasil bagus berarti kondisi fisik aman. Jika merasa sesak bisa jadi itu karena kondisi tertekan dengan kondisi yang sedang tidak pasti sehingga membuat pikiran panik dan cemas. Penjelasan kakak saya cukup membuat tenang dan sangat membantu untuk bisa kembali mengendalikan pikiran. Tapi, lagi-lagi virus ini tidak bisa membiarkan saya tenang begitu saja. Selanjutnya, yang diserang adalah bagian perut.

Tiba-tiba di pagi hari saat bangun, saya merasakan mual yang luar biasa. Dari hari kelima hingga beberapa hari setelahnya, saya terus mual dan muntah hingga berpikir untuk rawat inap di rumah sakit. Tapi kemudian setelah mencoba minum obat maag, kondisi saya membaik. Di saat mengalami gejala mual, saya mencoba memahami bahwa kita tidak boleh meremehkan penyakit ini meski di sisi lain juga tetap perlu dilawan. Belum lagi saya juga sempat mengalami insomnia yang ternyata berasal dari perubahan rutinitas sehari-hari. Biasanya saya aktif bekerja, saat isoman hanya dalam ruangan dan terbatas sekali ruang geraknya. Yang kedua adalah timbulnya kecemasan. Hampir setiap hari saya mempertanyakan sampai kapan harus mengalami ini. Sempat berpikir, bagaimana kalau besok masih positif? Kapan bertemu dengan anak-anak lagi? Apakah salah ambil keputusan isoman di rumah? Dan ternyata ini juga yang membuat kondisi pasien Covid-19 memburuk, karena memiliki banyak kecemasan dan stres. 

Saya pun mencoba untuk konsultasi ke psikiater karena insomnia tersebut cukup mengganggu. Dia bilang beberapa orang yang mengalami Covid-19 akan mengalami itu karena faktor adrenalin yang ingin cepat sembuh padahal tubuhnya belum siap sembuh. Saya pun menyadari bahwa menjalani ini harus melalui proses, menyadari serta menerima kondisi yang sedang dialami. Saya tahu virus ini ada di tubuh dan butuh proses untuk sembuh. Saya tidak bisa mengendalikan virusnya dan hanya bisa berharap semoga besok membaik. Kalau belum, saya harus ikhlas menjalani proses penyembuhannya. Jangan buru-buru untuk langsung berada di tahap akhir. 

Saya pun menyadari bahwa menjalani ini harus melalui proses, menyadari serta menerima kondisi yang sedang dialami.

Saya juga menyadari bahwa di awal sakit, saya berusaha mengendalikan dan ingin cepat-cepat sembuh. Tiap bangun pagi saya merasa besok akan sembuh. Tapi di saat yang sama, dari hari ke hari, virus tersebut seakan bisa membaca pikiran dan menumbangkan kepercayaan. Inilah yang seringkali menyerang mental pasien Covid-19. Ini juga sering membuat saya mempertanyakan kapan sembuh karena setiap hari yang diserang berbeda. Tidak heran banyak dokter yang sering menganjurkan para pasien menjaga kesehatan pikiran agar tidak stres karena imunitas bisa turun.

Setelah memahami pelajaran dari pengalaman ini, saya memutuskan setiap pagi untuk mulai meditasi tiga kali sehari untuk menenangkan diri dan merasakan apa yang sedang dialami. Saat meditasi itu, hal pertama yang saya pikirkan adalah apa yang sedang dirasakan, segala sakit yang sedang dialami, kemudian memberitahu diri bahwa tidak apa-apa merasakan ini, dijalani saja, dan semoga besok bisa lebih baik. Dengan meditasi, saya juga belajar pernapasan yang bisa membantu meringankan gejala-gejala sulit bernapas yang salah satunya berasal dari kecemasan. Jadi, saat kita menyadari dan menerima virus ada di diri, kita bisa memahami dia menyerang bagian apa dan mencoba menyadari apa yang dialami oleh tubuh. 

Saat meditasi itu, hal pertama yang saya pikirkan adalah apa yang sedang dirasakan, segala sakit yang sedang dialami, kemudian memberitahu diri bahwa tidak apa-apa merasakan ini, dijalani saja, dan semoga besok bisa lebih baik.

Apapun yang terjadi dari hari ke hari pasti ada ceritanya. Kita harus menyadari mungkin jalannya memang harus begini. Mungkin sulit, tapi kita harus menjalaninya. Tidak bisa melangkahi dan mengendalikan untuk lompat ke tahap akhir. Akhirnya, setelah saya sudah bisa menerima segala yang terjadi, saya baru negatif di hari ke-30. Setelahnya, saya masih sesekali terbangun tengah malam atau mengalami napas tidak lega. Sampai sekarang pun penciuman terkadang masih berantakan. Masih sesekali mencium aroma yang tidak ada atau mengecap rasa yang salah. Tapi di tahap ini, saya sudah bersyukur diberi kesembuhan jadi tidak terlalu memikirkan hal-hal yang mungkin butuh proses panjang untuk kembali normal. 

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024