Kemarahan secara umum diartikan sebagai suatu keadaan atau perasaan. Sedangkan bagi saya, kemarahan adalah sebuah daya. Memiliki kemarahan berarti menolak untuk berada dalam posisi atau diposisikan sebagai yang tidak berdaya dalam relasi kuasa yang tidak berimbang.
Memiliki kemarahan berarti menolak untuk berada dalam posisi atau diposisikan sebagai yang tidak berdaya dalam relasi kuasa yang tidak berimbang.
Sayangya, kemarahan sering juga dihubungkan dengan atau dimaknai sebagai sesuatu yang negatif, membawa keburukan dan kerugian. Padahal menurut esensinya, kemarahan bersifat netral, dan penilaian baik buruk lebih tepat diberlakukan untuk cara-cara yang dipilih secara sadar oleh manusia untuk mengeluarkan daya tersebut dari dalam dirinya. Apakah suatu cara tertentu menyebabkan kerugian bagi orang lain? Oleh karena itu, pertanyaannya menurut saya bukan lagi apakah kemarahan wajar dimiliki oleh manusia, tetapi sejauh mana kemarahan perlu dimiliki oleh manusia. Tanpa kemarahan, kita akan membiarkan penindasan terjadi pada diri kita sendiri atau orang lain.
Lalu apakah setiap kemarahan harus disalurkan? Menurut kacamata psikologis atau psikiatris, jawaban untuk pertanyaan tersebut akan berkaitan dengan keseimbangan atau kesehatan mental. Dan dalam hal ini, sebagaimana mungkin telah tersirat pada pernyataan sebelumnya, saya menempatkan dan memaknai kemarahan dalam konteks relasi eksternal antar individu. Di posisi tersebut, saya merasa kemarahan harus diekspresikan berdasarkan sejumlah pertimbangan yang mengedepankan kepentingan bersama.
Saya merasa kemarahan harus diekspresikan berdasarkan sejumlah pertimbangan yang mengedepankan kepentingan bersama.
Saya adalah salah satu dari sejumlah orang yang secara sadar memilih cara berpenampilan atau berpakaian, bertindak, berbicara, dan mengambil posisi. Semua hal performatif tersebut tidak muncul sebagai respons refleks atau tanpa kesadaran dan bersifat bebas nilai, melainkan digerakkan secara politis (politically driven) sebagai cara mengekspresikan kemarahan, khususnya untuk mendobrak konstruksi-konstruksi terkait gender dan norma-norma sosial.
Selain itu, menulis telah menjadi cara paling efektif bagi saya untuk menunjukkan dan menyalurkan kemarahan. Dengan menulis, saya menunjukkan bahwa saya mengambil suatu posisi dan memberikan respons terhadap suatu fenomena atau kondisi, dan pada saat yang sama mengutarakan pertentangan yang terjadi antara diri saya dengan dunia yang saya hadapi.
Satu keresahan yang selalu menjadi pemicu kemarahan adalah kecenderungan menerima hal yang ada secara mentah-mentah (take things for granted). Kecenderungan tersebut menurut saya terbentuk karena rasa takut untuk mengetahui realitas lain dari apa yang dihadapinya setiap hari, serta rasa nyaman berlebihan dengan kehidupan yang dijalani saat ini sehingga enggan atau menolak untuk mempertajam pandangan dan pendengaran.
Satu keresahan yang selalu menjadi pemicu kemarahan adalah kecenderungan menerima hal yang ada secara mentah-mentah (take things for granted).
Selain itu, satu hal lain adalah langkah-langkah yang diambil pemerintah yang terkadang cenderung kurang menguntungkan bagi masyarakat. Keresahan dalam hal ini didorong oleh kesadaran bahwa pemerintah adalah sebuah tubuh yang bertanggung jawab memastikan roda negara terus bergerak dengan mengedepankan kepentingan rakyat, dan pada saat yang sama rakyat merupakan komunitas organik yang terdiri atas individu-individu pemikir –bukan semata massa mengambang– dan memiliki hak serta kewajiban untuk berperan aktif dalam upaya terus menggerakkan roda negara tersebut.
Buku Harian Keluarga Kiri (2016, 2019) adalah salah satu buku yang saya tulis sebagai bentuk ekspresi kemarahan atas pelanggaran kemanusiaan yang dialami oleh keluarga saya, khususnya kakek. Ia sempat menjadi salah satu tahanan politik Orde Baru, mengalami pemenjaraan, pembuangan, kerja paksa, dan diskriminasi. Saat beliau masih hidup, setiap kali saya berkunjung ke rumahnya, beliau akan menceritakan potongan kisah pengalamannya. Cerita yang saya dengar darinya bertabrakan dengan apa yang saya dapatkan di sekolah saat mata pelajaran Sejarah, khususnya saat membahas tentang Gerakan 30 September; atau juga yang diberitakan di media massa.
Kakek saya kemudian meninggal saat saya kelas 5 SD, dan barulah saat duduk di bangku kuliah saya mulai terpikir untuk menceritakan kembali pengalaman kakek –dan keluarga saya– dalam bentuk sebuah novel fiksi sejarah. Butuh waktu yang tidak sebentar untuk bisa memahami semuanya, dan sampai hari ini bahkan saya masih sering bertanya-tanya alasan kakek mau terus mengingat pengalaman pahit tersebut dan membagikannya kepada saya. Terkadang saya berpikir yang dilakukan kakek sebenarnya adalah memupuk kemarahan dalam benak saya terhadap tindak pelanggaran kemanusiaan massal yang dilakukan oleh negara terhadap rakyatnya sendiri.
Bahkan penggarapan novela fiksi ilmiah Menanam Gamang (2020) di awal pandemi Covid-19 juga berangkat dari kemarahan saya terhadap cara pemerintah menanggapi dan merespons fenomena krisis kesehatan global tersebut. Saya juga mendengar cerita dari orang-orang yang dirumahkan, mengalami pemotongan gaji, atau bahkan sampai kehilangan pekerjaannya karena pandemi. Semua hal tersebut menerbitkan keresahan dalam benak yang pada akhirnya saya tuangkan melalui penggambaran kota masa depan yang tengah dilanda pandemi di mana masyarakat merasakan imbasnya secara nyata dan pemerintah mengambil langkah-langkah yang tidak strategis.
Apakah langkah menulis ini bisa mengubah pemikiran seseorang soal konstruksi sosial yang ada di masyarakat? Saya percaya sejauh seorang penulis memiliki komitmen sosial dan masyarakat mau menyadari terdapat begitu banyak hal yang perlu mereka pertanyakan terus menerus, itu bisa terjadi.