Sewaktu aku berusia empat tahun, kondisi keluargaku sedang mengalami masalah besar. Hubungan kedua orang tua tidak baik-baik saja. Secara tidak sadar, situasi itu memengaruhi tampilan fisik. Ada salah satu guru yang melihat perubahan fisik aku yang cukup drastis. Hingga akhirnya beliau mengajak bicara Ibu dan merujuk untuk berkonsultasi ke psikolog yang disediakan dari sekolah.
Banyak orang mungkin masih menganggap berkonsultasi dengan seorang psikolog adalah sesuatu yang tabu. Bahkan tidak jarang yang takut dianggap orang tidak waras karena memeriksakan dirinya pada praktisi kesehatan mental. Sebaliknya, aku justru amat bersyukur sudah mengenal sesi-sesi psikologi sejak kecil karena saat dewasa merasakan betul manfaatnya. Kalau dipikir-pikir sekarang, apa yang aku alami waktu kecil sangat berat. Di usia yang masih seharusnya dihabiskan untuk bermain, aku justru membantu mengurus ibu yang sedang hamil dengan kondisi ayah yang kurang bertanggung jawab.
Pernah suatu kali saat sudah dewasa, seorang psikolog heran karena melihat aku baik-baik saja. Bahkan tidak terjerumus ke hal-hal buruk. Dia bilang bahwa masa lalu aku sangat berat hingga aku harus kehilangan masa kecil. Ternyata aku bisa melalui semua itu sebab rutin berkonsultasi dengan praktisi kesehatan mental. Jadi setiap kali ada yang salah atau mengarah ke sesuatu yang melenceng, kesadaranku dikembalikan lagi untuk ke jalan yang benar. Bersyukur sekali berkat sesi-sesi itu pun aku bisa tidak memiliki kebencian pada siapapun. Pada ayahku sekalipun. Tidak ada penyesalan dari masa lalu.
Berkonsultasi ke psikolog juga membantuku melewati masa-masa kehilangan orang-orang yang bermakna besar dalam hidup. Aku kehilangan kakak laki-laki ketika aku masih umur belasan. Pertama kali merasa kehilangan anggota keluarga cukup mengguncang pikiran. Apalagi dia meninggal mendadak. Seolah seperti ada lubang dalam diri, aku merasa ada yang hilang. Sampai-sampai aku seringkali mencari sosok pasangan yang seperti dia. Lalu aku pergi ke psikolog dan dianjurkan untuk melakukan apa yang membuatku bisa tetap terhubung dengan kakak. Aku pun menjalani hal-hal yang mungkin di luar logika orang-orang pada umumnya tapi ternyata itu bisa menambal lubang yang ada di dalam hati.
Berkonsultasi ke psikolog juga membantuku melewati masa-masa kehilangan orang-orang yang bermakna besar dalam hidup
Kurang lebih di tahun keenam kehilangannya baru aku bisa mengendalikan diri. Di masa-masa kehilangan tersebut, peran psikolog sangatlah berarti. Aku selalu ingat bagaimana aku dianjurkan untuk tidak menahan perasaan yang dialami. Tidak menjadwalkan kapan harus berhenti sedih sebab menekan rasa sedih bisa berdampak buruk. Maka, aku benar-benar merasakan kesedihan itu. Saat sedih aku akan sedih. Kalau rindu, aku akan rindu. Semua perasaan aku terima. Ini juga aku lakukan ketika aku kehilangan ibu yang juga sahabatku. Seseorang yang tidak pernah aku bohongi. Seseorang yang sangat terbuka namun amat bijak. Kehilangannya tentu saja tidak mudah bagiku.
Ibu sakit cukup lama. Selama dirawat, perasaanku sungguh bercampur aduk. Sampai ada di titik di mana aku sudah melihat ibuku kritis, lalu aku berpikir bahwa beliau sudah lelah. Rasa sayangku yang besar padanya membuatku tidak tega melihatnya kelelahan dalam kesakitan di rumah sakit. Hingga ketika ibu menghembuskan napas terakhir, aku hanya bisa menangis tapi perasaan ikhlas juga hadir bersamaan. Kemudian setelah kurang lebih dua bulan setelah kepergiannya, aku merasa amat merindukan ibu. Perasaan rindu itu seperti sudah tidak bisa dibendung lagi hingga aku kembali ke psikolog untuk menuangkannya. Sang psikolog menyatakan bahwa tahapan seseorang setelah kehilangan sangatlah panjang. Bisa dimulai dari penyangkalan atau marah dan semua emosi itu akan berulang. Saat itu, psikolog yang aku datangi merujuk untuk pergi ke praktisi akupresur. Ia menduga sekujur tubuhku terasa sakit karena ada hubungannya dengan kerinduanku pada ibu.
Benar saja. Setelah berkunjung ke seorang akupresur yang juga seorang psikolog, aku merasa jauh lebih baik. Selain menceritakan apa yang aku rasakan, ia juga mengajarkanku untuk mengatur napas selagi ia melakukan praktik akupresur. Ia juga melatihku untuk merasakan energi ibu yang ada dalam diri. Kemudian ia memberikanku afirmasi-afirmasi dan melatihku untuk menyampaikannya. Rasanya setelah itu ada beban yang hilang dari hati dan pikiranku. Aku pun bisa berkesimpulan bahwa untuk menyikapi kehilangan, kita harus bisa menerima segala emosi yang dirasakan. Janganlah mencoba memaksa untuk baik-baik saja. Jika sudah merasa tidak bisa dikendalikan sendiri, carilah orang yang bisa membantu menyelesaikannya seperti para praktisi kesehatan mental.
Untuk menyikapi kehilangan, kita harus bisa menerima segala emosi yang dirasakan. Janganlah mencoba memaksa untuk baik-baik saja.
Menurutku, pergi ke psikolog seperti pergi ke dokter untuk cek kesehatan meski tidak merasakan sakit apapun. Kita bisa punya tempat untuk menyampaikan berbagai pikiran dan perasaan tanpa harus takut dihakimi karena praktisi tersebut dapat menjadi pihak yang objektif. Kita tidak perlu menunggu sampai ada masalah baru berkonsultasi. Aku yakin para para psikolog sudah mengenyam pendidikan khusus dan memelajari ilmu yang dapat membantu kita menyelesaikan isu psikologis. Semakin dini kita membuka diri untuk memeriksakan diri, semakin terbiasa kita pada praktik-praktik psikologis yang bermanfaat untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan.
Semakin dini kita membuka diri untuk memeriksakan diri, semakin terbiasa kita pada praktik-praktik psikologis yang bermanfaat untuk menghadapi masalah-masalah kehidupan.