Dulu saya tidak pernah membayangkan akan berprofesi sebagai komedian. Namun, saya sering mempertanyakan, “Mengapa saya suka bicara dalam waktu lama? Mengapa saya suka membuat orang tertawa? Mengapa saya punya kemampuan ini?”. Sempat berpikir mungkin aspirasi hidup saya adalah menjadi penyiar radio sebab seorang penyiar juga senang berbicara dalam waktu lama, suka membuat orang tertawa juga. Seiring berjalannya waktu, dengan segala eksperimen dan pengalaman akhirnya saya memahami bahwa format yang lebih membebaskan saya untuk berbicara dan membuat orang tertawa adalah dengan menjadi standup comedian.
Sepanjang berkiprah di pekerjaan ini, saya menemukan banyak orang sering salah kaprah tentang menjadi komedian. Dalam dunia komedi, kami pelawak banyak berbahasa dengan menggunakan majas. Dan seperti yang kita tahu, komunikasi tanpa menyelipkan majas saja bisa salah interpretasi. Apalagi komunikasi menggunakan majas. Sehingga seringkali orang salah menangkap apa yang dimaksud dibalik yang diucapkan. Sayangnya, dalam komedi kejujuran adalah hal yang hakiki tapi sulit diterima masyarakat. Kejujuran yang kami percaya seringkali sulit disepakati orang lain dan akhirnya menyinggung.
Inilah yang terjadi saat seorang komedian menyampaikan lawakan dengan materi yang berhubungan dengan sosial atau politik. Lawakan tersebut sering disalahartikan oleh audiens sebagai sindiran. Padahal isu dibuat hanya untuk dibuat orang tertawa saja bukan untuk menyindir pihak tertentu atau untuk menyampaikan kebenaran. Biasanya seorang komedian menggoreng materi yang familiar dengan keseharian. Tanpa maksud dan tujuan untuk mengubah tatanan sosial, memberi solusi politik atau permasalahan bangsa. Tugas kami sebagai seorang pelawak hanyalah membuat orang tertawa. Bahwa lawakan itu kemudian terasa sebagai sindiran politik atau dianggap oleh masyarakat sebagai sindiran politik karena hadirnya spektrum atas majas yang tadi saya sebutkan.
Tugas kami sebagai seorang pelawak hanyalah membuat orang tertawa.
Sebenarnya, merupakan hak setiap orang jika ia menangkap lawakan yang dilontarkan sebagai sindiran. Tapi kami, para pelawak sejatinya naik ke atas panggung bukan untuk terlihat benar, menjadi benar, membela kebenaran atau memiliki keinginan untuk mengubah bangsa. Pelawak naik ke atas panggung karena ingin menjadi pelawak yang tugasnya sekadar menghibur dengan memberikan guyonan saja. Kesalahan besar di antara masyarakat adalah adanya harapan lebih kepada pelawak dengan seringnya menyatakan, “Jangan melucu saja dong kalau bisa kasih solusi.” Sebuah kekeliruan jika mencari solusi bangsa dari pelawak sebab itu bukanlah pekerjaan kami.
Para pelawak sejatinya naik ke atas panggung bukan untuk terlihat benar, menjadi benar, membela kebenaran atau memiliki keinginan untuk mengubah bangsa.
Namun dari semua itu, yang menjadi tantangan utama seorang pelawak adalah untuk menjadi lucu. Tuntutan agar selalu terdengar lucu seakan menjadi tekanan bagi semua jenis pelawak. Termasuk stand up comedian. Satu-satunya jalan untuk menghadapinya hanyalah dengan berdamai. Bagi saya, jika ternyata guyonan terdengar tidak lucu, berarti saya harus berdamai dengan ketidaklucuan tersebut. Tidak justru menyalahkan orang lain, menyalahkan penonton, atau suasana. Tidak mencari kebenaran dan alasan mengapa guyonan saya tidak lucu. Sebaliknya, kalau sudah bisa berdamai dengan itu saya justru bisa menjadikannya bahan untuk melucu di atas panggung. Jadi sebenarnya menjadi lucu sebenarnya cukup mudah. Tergantung di mana saya harus melucu. Jika ditempatkan di orang-orang yang dikenal sudah pasti amat mudah. Tapi mungkin tidak begitu saat berada di lingkungan baru. Bukan sebuah kesulitan, melainkan sebuah tantangan untuk terus menggali materi guyonan agar terdengar lucu.
Bagi saya, jika ternyata guyonan terdengar tidak lucu, berarti saya harus berdamai dengan ketidaklucuan tersebut. Tidak justru menyalahkan orang lain, menyalahkan penonton, atau suasana
Apabila saya melihat kembali perjalanan hidup di panggung hiburan, saya merasa banyak yang sudah berubah dari perspektif saya menjadi seorang komedian. Salah satunya adalah soal tanggung jawab. Belakangan, saya merasa memiliki tanggung jawab besar terhadap mereka yang menikmati karya saya. Dulu mungkin saya hanya manggung sana-sini, hanya sekadar bekerja saja. Sekarang saya memiliki tanggung jawab untuk menjalin hubungan yang erat dengan penikmat karya sehingga ada upaya lebih yang harus dilakukan demi tetap dapat menghibur mereka. Contoh sederhananya adalah dengan menjaga kesehatan.
Saya sempat bertemu vokalis grup band Slank, Kaka, yang ketika itu terlihat berbeda yaitu tubuh yang bugar hasil keluar-masuk gym. Saya bertanya padanya, “Kenapa gaya hidup lo berubah?”. Ia menjawab, “Suatu hari gue sadar sebenarnya tugas kita manusia cuma satu yaitu jaga kesehatan. Kalau sehat, kita bisa terus berkarya untuk mereka yang menikmati karya kita.” Saya sangat terinspirasi dari pernyataannya sebab menurut saya, ia bisa berkata demikian karena sudah memiliki hubungan yang erat dengan penikmat karyanya. Ia begitu peduli dengan mereka sehingga punya tanggung jawab untuk menjaga kesehatan demi dapat terus berkarya. Dan inilah yang saya coba lakukan sekarang, menjaga kesehatan agar bisa terus berkarya.