Ketertarikan saya untuk belajar menerapkan konsep mindfulness sebenarnya sudah dimulai sejak lama. Pada tahun 2009 saat saya baru lulus SMA, saya mendapat kesempatan untuk mengikuti retreat di Bogor untuk meditasi. Berawal dari kesempatan tersebut, saya baru mulai memahami apa itu mindfulness dan kemudian mempelajarinya lebih dalam. Mulai thun 2010, saya sendiri baru benar-benar mencari tau lebih jauh bagaimana cara menerapkan mindfulness dalam hidup.
Pada tahun 2005, saya sempat mengalami kehilangan yang cukup besar karena ibu saya harus berpulang. Ketika saya berkesempatan untuk belajar mindfulness lebih dalam pada tahun 2010, saya baru bisa benar-benar berdamai dengan perasaan sedih yang saya miliki. Dari situ saya berpikir, kalau saya punya kapasitas untuk bisa mentransformasikan diri menjadi lebih baik berarti saya juga punya kesempatan untuk membuat orang-orang yang mungkin juga memiliki penderitaan yang sama dengan saya untuk bisa merasa lebih damai. Ini adalah pemicu awal saya untuk bisa lebih banyak berlatih mindfulness.
Saya sendiri juga bergabung dalam komunitas Plum Village Indonesia. Semangat komunitas ini adalah untuk merangkul lebih banyak orang terutama kelompok yang kurang mendapat kesempatan untuk bisa mendapat dukungan secara spiritual. Beberapa tahun terakhir sering kali kita temukan bahwa mindfulness sudah menjadi komodifikasi, dijadikan sebagai bisnis, tapi dalam komunitas ini kami hanya fokus untuk bisa memfasilitasi lebih banyak orang untuk berlatih mindfulness.
Salah satu hal yang juga perlu dilatih adalah menikmati kesunyian. Banyak orang yang justru terkadang merasa cemas saat menghadapi keheningan. Sebenarnya keheningan atau kesunyian adalah momen saat tubuh dan pikiran kita menjadi satu dalam sebuah momen yang sama.
Tanpa sengaja sering kali kita terbiasa untuk memikirkan banyak hal dalam satu waktu, entah itu momen yang sudah lalu atau sibuk berlari menuju masa depan.
Saya sendiri sering merasa lelah yang berlebih padahal mungkin yang kita kerjakan hanya rutinitas sehari-hari. Kalau bisa cuti dari kehidupan rasanya ingin cuti hidup, karena mungkin terlalu lelah mengejar masa depan. Ini juga perlu menjadi perhatian, ada banyak manusia yang merasa seperti zombie, tubuhnya ada di masa kini tapi pikirannya tidak hadir seutuhnya. Kita sering merasa bahwa kebahagiaan itu ada di masa depan, sehingga kita lupa untuk menikmati momen sekarang.
Fokus pada dalam kesunyian sebenarnya sudah banyak menjadi pembahasan dari berbagai kepercayaan dan budaya. Di Jawa kita mengenal istilah eling, dalam Islam juga membahas makna khusyuk saat salat. Di kepercayaan saya, Buddha juga pernah berkata bahwa masa lalu sudah berlalu, masa depan belum pernah datang, satu-satunya momen yang kita punya adalah sekarang.
Lalu bagaimana cara untuk bisa menikmati momen sekarang? Cara paling mudah adalah dengan menggunakan napas. Gunakan napas kita sebagai jembatan untuk menghubungkan badan dan pikiran. Napas adalah sesuatu yang selalu ada bersama kita, entah itu saat kita sedih, sakit, bahagia, galau, bahkan menderita sekalipun. Orang bilang time is money, tapi menurut saya time is life. Setiap momen dalam hidup kita adalah hidup dan jangan hanya diterima begitu saja.
Gunakan napas kita sebagai jembatan untuk menghubungkan badan dan pikiran. Napas adalah sesuatu yang selalu ada bersama kita, entah itu saat kita sedih, sakit, bahagia, galau, bahkan menderita sekalipun.
Saya menceritakan perjalanan hidup saya selama kurang lebih 10 tahun terakhir dalam buku Dunia dalam Senyap. Sejujurnya saya bukan tipikal orang yang cukup terkenal, dalam artian media sosial saya juga sebelumnya saya private. Niat saya ketika menulis buku ini juga bukan untuk menjadi inspirasi bagi banyak orang, saya hanya ingin bercerita. Proses penulisan buku ini juga terbilang lama, sekitar dua setengah tahun. Kalau memang belum ada pengalaman yang ingin saya tulis, saya juga tidak memaksa. Saya tidak ingin hanya menyampaikan sekumpulan kata kosong tanpa pengalaman atau sudut pandang langsung dari saya.
Melalui buku Dunia dalam Senyap saya ingin mengatakan bahwa tidak ada kebijaksanaan yang hadir secara instan. Saat mengalami penderitaan terkadang kita sibuk mencari kutipan yang bagus agar dapat menjadi lebih bijaksana, tapi menurut saya segala permasalahan yang kita butuhkan akan selalu butuh waktu untuk bisa selesai. Sama halnya seperti belajar hal baru, penderitaan juga butuh waktu untuk bisa bertransformasi, luka kita juga butuh waktu untuk pulih.
Hai penderitaan, saya tau kamu ada di sini, saya tau kamu sekarang menjadi bagian dari hidup saya. Saya akan berikan dirimu waktu untuk bersama saya. Selayaknya tamu, kamu juga perlu mendapat perhatian, meski memang kehadiranmu tidak nyaman tapi kamu juga adalah bagian dari perjalanan hidup saya.
Kita memang butuh belajar untuk bisa mengubah penderitaan menjadi hal yang lebih indah. Seperti teratai, ia selalu butuh lumpur untuk bisa tubuh dengan indah. Seindah-indahnya teratai dia tidak akan bisa tumbuh di lapisan marmer, ia tetap butuh lumpy. Sama seperti halnya kebijaksanaan, kita butuh penderitaan untuk bisa lebih mawas diri. Dengan waktu yang cukup kebijaksanaan akan terus berkembang dan memang tidak akan bisa hadir secara instan.