Tidak bisa dipungkiri di masyarakat kita seperti terdapat norma dan “tradisi” untuk wanita menikah menginjak umur tiga puluh. Berbagai alasan selain karena cinta memperkuat pilihan mereka untuk menikah. Biasanya mereka akan menikah dengan orang-orang yang dekat ada di sekitar mereka entah teman sekolah, kerja atau temannya teman. Tidak ada yang salah dengan hal ini, namun sepertinya pilihan itu tidak cocok untuk saya. Saat ini usia saya sudah menginjak tiga puluh tujuh dan belum menikah. Namun saya tidak merasa dituntut untuk menikah. Karena saya tahu belum menemukan seseorang yang dibutuhkan.
Sebenarnya saya seringkali merasa seperti orang asing di ibu kota ini. Merasa banyak orang berada di lingkungan yang itu-itu saja padahal menurut saya terdapat banyak sekali orang di luar Jakarta atau bahkan Indonesia yang mempertemukan kita dengan berbagai kesempatan dan pilihan. Entah bagaimana saya berpikir orang yang tepat untuk saya tidak ada di sini. And it is fine. Saya tidak menunggu tapi sebaliknya menikmati masa-masa sendiri dan tidak memaksakan diri untuk berlabuh pada seseorang yang kurang tepat hanya karena cemas akan usia. Saya tahu itu tidak akan membuat bahagia.
Saya tidak menunggu tapi sebaliknya menikmati masa-masa sendiri dan tidak memaksakan diri untuk berlabuh pada seseorang yang kurang tepat hanya karena cemas akan usia. Saya tahu itu tidak akan membuat bahagia.
Untungnya lagi saya memang berada dalam pergaulan yang dapat memahami pemikiran saya ini. Di umur 29 saya pindah ke New York untuk S2, bertemu dan berteman baik dengan orang-orang yang punya visi serupa. Di sini pun saya dikelilingi oleh sekumpulan orang yang menghargai segala keputusan seseorang. Mau saya yang masih single di umur 37 atau teman lain yang bercerai di umur 25. Mereka yang saya anggap sebagai support system sajalah yang bisa mempengaruhi pikiran saya. Saya tidak peduli dengan omongan orang lain di luar support system tersebut. Begitu juga dengan orang tua yang tidak pernah pusing memikirkan kapan saya menikah. Memang terkadang melihat saudara yang sudah punya cucu mereka pasti memiliki keinginan untuk punya juga. Tapi saya tidak terlalu mengkhawatirkannya karena untuk hal ini saya sudah memikirkan solusinya. Saya ingat dulu ada teman yang pernah bilang, “Andini nggak usah khawatir, dunia medis sekarang lebih progresif dari yang kamu pikirkan. Punya anak itu gampang. Tapi punya anak dengan orang yang tepat itu sulit.” Mendengar ini saya pun akhirnya mengukuhkan niat untuk membekukan sel telur agar suatu saat menikah kesempatan untuk punya anak masih terbuka lebar. Di Indonesia memang belum lumrah meski sebenarnya sudah ada beberapa klinik dan rumah sakit yang memiliki fasilitas tersebut.
Menariknya, ketika bertemu dengan dokter yang menangani saya ia menyatakan bahwa telur yang saya miliki berjumlah lebih banyak dari wanita lain yang berusia di bawah 35. Selain merasa sangat beruntung dengan fakta tersebut, saya seakan membuktikan bahwa situasi dan kondisi setiap orang memang berbeda-beda. Bukan berarti semua wanita yang sudah lewat 35 akan sulit punya anak. Pada dasarnya itu tergantung pada gaya hidup masing-masing. Jadi sebenarnya kalau memang para wanita —yang masih lajang atau sudah menikah, merasa belum siap punya anak dan masih ingin fokus pada diri sendiri bisa mempertimbangkan cara ini agar tetap punya kesempatan punya anak meski di usia tertentu. Menurut saya kita harus tahu apa yang terbaik untuk diri sendiri sebagai langkah mencintai diri sendiri. Barulah kita bisa benar-benar mencintai orang lain.
Menurut saya kita harus tahu apa yang terbaik untuk diri sendiri sebagai langkah mencintai diri sendiri. Barulah kita bisa benar-benar mencintai orang lain.
Saya percaya ada empat cinta dalam hidup seorang wanita. First love, true love, soulmate and my husband. Seseorang yang menjadi suami saya tidak harus menjadi cinta pertama, cinta sejati atau belahan jiwa. Ia adalah seseorang yang lebih dari ketiganya karena saya memilihnya untuk menghabiskan sisa hidup bersama. Dan bicara sehidup semati buat saya bukan lagi cinta yang diperlukan tapi companionship. Partner hidup. He has to be my 50%, my other half. Artinya saya bisa berbicara dalam tingkat intelektual yang sama, memiliki visi misi hidup yang sama dan seseorang yang bisa mendorong dan melengkapi saya untuk bisa menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.
Berdua pasti sangat seru. Tapi sendirian juga asyik. Saya tinggal sendiri di rumah. Kebanyakan juga melakukan berbagai kegiatan sendiri. Selama itu saya tidak pernah merasa kesepian. Bukan karena mencari-cari kesibukan dan menyangkal perasaan kesepian. Namun memang di dalam diri merasa bahagia. Menjadi single membuat saya bisa terus menggapai mimpi tanpa batasan. Tanpa ekstra drama yang perlu dipikirkan. Ketika saya eksekusi rencana-rencana hidup, saya selalu total. Sehingga tidak terbayang kalau harus ada drama dari aspek di luar itu yang memengaruhi rencana. Jadi sekarang saya memilih untuk menikmatinya. Sebab sewaktu nanti saya berkeluarga, momen ini tidak bisa lagi terulang. Akan ada yang berubah dan nanti saya tidak bisa menikmatinya persis seperti sekarang ini.
Menjadi single membuat saya bisa terus menggapai mimpi tanpa batasan.