Pernah tidak kita menyadari bahwa seringkali kita suka menyakiti diri sendiri. Lihat saja lagu-lagu dan film sedih yang bisa membuat menangis menjadi amat populer bahkan jadi favorit. Secara tidak sadar kita suka sekali sesuatu yang bisa menyakiti hati kita. Padahal sebenarnya tujuan kita hidup adalah mencari kebahagiaan. Seperti ketika saya mengingat keluarga yang tidak harmonis. Sulit rasanya mengingat hal-hal indah bersama mereka. Kerap kali saya justru hanya mengingat kejadian buruk saja. Sampai-sampai kalau ada yang bertanya tentang memori masa kecil yang membahagiakan saya tidak bisa menjawabnya.
Sama juga saat saya tidak menyadari kebiasaan memendam perasaan yang ternyata menganggu mental. Melihat ke belakang, saya dulu adalah seseorang dengan kepercayaan diri yang tinggi untuk mampu menyimpan segalanya sendiri. Bisa memaafkan semua orang dan bisa menyelesaikan segalanya sendiri. Tidak merasa ada yang salah dengan memendam perasaan kesal atau kecewa pada orang lain. Dulu saya berpikir ketika menyatakan kejujuran belum tentu orang bisa menerima jadi saya tidak mau menyakiti. Walaupun ternyata memendam perasaan ternyata malah menyakiti diri sendiri. Hingga suatu hari saya sering merasa kesulitan bernapas. Misalnya setiap kali bangun tidur lalu tahu sedang sendirian di rumah sesak itu muncul diikuti dengan tangisan yang tidak sebentar. Tidak tahu akar permasalahannya apa tapi saya merasakan betul ada bibit depresi dalam diri. Orang-orang terdekat saja tidak percaya saya bisa begitu. Mereka kenal saya sebagai orang yang selalu bisa membuat suasana menyenangkan. Tidak pernah terlihat sedih atau galau.
Dulu saya berpikir ketika menyatakan kejujuran belum tentu orang bisa menerima jadi saya tidak mau menyakiti. Walaupun ternyata memendam perasaan ternyata malah menyakiti diri sendiri.
Semakin lama sesak dan tangis itu semakin sering terjadi hingga mengganggu keseharian sekali. Sampai saya memutuskan untuk meminta bantuan hipnoterapis. Setelah ditelaah ternyata perasaan yang dipendam, tidak jujur pada diri sendiri dan orang lain membuat mental tidak sehat. Dalam sesi tersebut saya seolah melihat versi diri yang sekarang dan versi diri di masa kecil. Lalu kami ngobrol dengan subjek yang menyakiti saya waktu kecil. Ternyata dari sana saya mengetahui banyak sekali masalah yang belum selesai. Masalah itu terus menumpuk dan bersemayam dalam benak. Di saat itu pula saya tahu ini saatnya untuk menjadi pribadi yang lebih jujur.
Ternyata kejujuran adalah sumber kesehatan dan kewarasan. Saya waras atau tidak tergantung pada saya jujur atau tidak. Ketika berkata jujur saya merasa lebih waras dan itulah yang membuat saya memilih lebih blak-blakan pada orang lain sekarang. Bahkan saya merasa kebohongan demi kebaikan tetap saja merupakan kebohongan. Memang kejujuran bisa menyakitkan untuk orang lain tapi saya rasa itu semua hanya tentang bagaimana cara menyampaikannya saja.
Bahasa, intonasi, dan ekspresi wajah sangat berperan besar ketika menyampaikan kejujuran. Makanya saya lebih sering memilih untuk menyampaikan kejujuran tidak lewat teks atau telepon tapi lewat tatap muka. Saya jadi bisa mengendalikan arah pembicaraannya ke mana. Contohnya ketika lawan bicara sudah mulai terlihat tidak terima atau tidak nyaman saya akan mencoba untuk memperhalus ucapan. Kalau dia sedang sulit diajak bicara, sedang keras sekali, saya bisa menggunakan bahasa atau intonasi yang dapat meruntuhkan temboknya. Memahami situasi juga amat penting ketika ingin menyampaikan sebuah kejujuran. Misalnya tidak menyampaikan saat dia dalam kondisi perut kosong. Sebab seseorang yang sedang lapar bisa jadi sangat pemarah dan sulit memproses informasi yang sensitif.
Ketika berkata jujur saya merasa lebih waras dan itulah yang membuat saya memilih lebih blak-blakan pada orang lain sekarang.
Menurut saya merupakan bentuk kebohongan juga ketika kita menyimpan sebuah rahasia yang tidak diungkapkan jika tidak ditanya. Akan tetapi saya tidak akan menyampaikannya jika tidak berkaitan langsung dengan saya. Contohnya kalau saya tahu bahwa ada teman yang diselingkuhi. Ini bukan porsi saya untuk memberitahu. Tapi kalau dia bertanya, "kenapa ya akhir-akhir ini rumah tangga gue mulai terasa tidak baik?" Barulah saya akan menyampaikan. Kejujuran itu mungkin akan menyakitkan tapi buat saya lebih baik diberitahu sekarang agar sakitnya sekarang lalu akan lebih cepat memaafkan dan akhirnya pulih. Berkata begini saya juga menerapkan pada diri sendiri. Saya berharap orang lain dapat lebih berkata jujur pada saya meskipun menyakitkan. Memang akan ada prosesnya untuk memaafkan mereka tapi itu lebih baik daripada terus dibohongi.
Berkata jujur mungkin memiliki risiko dibodohi orang lain tapi itulah yang saya pilih. Saya ingin semua orang di dunia lebih jujur dengan penyampaian yang baik karena kejujuran sangat pantas diperjuangkan. Di samping untuk menyelamatkan diri, saya juga ingin memberikan pengaruh kepada orang lain untuk berkata jujur sebab saya merasa banyak terbantu dengan kejujuran itu. Segala konsekuensi dari kejujuran itu pun diterima dengan tangan terbuka yang penting saya terus mengutamakan kejujuran.
Saya ingin semua orang di dunia lebih jujur dengan penyampaian yang baik karena kejujuran sangat pantas diperjuangkan.