Manusia seringkali ingin terikat dengan hal-hal yang berupa material karena sebagai manusia, kita cenderung tidak mau atau menghindari diri dari risiko. Termasuk risiko tertinggal yang menghadirkan FOMO (Fear Of Missing Out). Saya pernah membaca tentang endowment effect yang merupakan suatu keadaan di mana kita selalu memberikan nilai besar pada apa yang dimiliki sehingga sulit melepaskannya. Kesulitan untuk tidak terikat dengan benda juga karena benda-benda tertentu menyimpan memori. Kita suka sekali mengasosiasikan diri dengan benda untuk memberikan identitas. Ketika kita terlalu terikat dengan benda, kita sebenarnya sedang mengurangi kepercayaan diri karena cenderung tidak bisa mandiri tanpa benda tersebut. Akhirnya, jadi bergantung dengan benda tersebut.
Dengan memahami konsep hidup minimalis, kita sebenarnya bisa belajar untuk tidak terikat dengan benda-benda. Awal saya menerapkan gaya hidup minimalis, tidak ada unsur kesengajaan. Saat itu, saya sedang berada dalam fase sangat konsumtif. Tidak punya perencanaan keuangan yang baik dengan konsep hidup YOLO (You Only Live Once). Sayangnya di saat yang sama, saya sedang dihantam isu-isu yang menantang keuangan. Diikuti dengan tidak adanya kepuasan dalam diri dengan apa yang dimiliki. Suatu hari, saya terbangun di kamar kost dengan ketidaknyamanan karena banyaknya barang di dalam kamar. Akhirnya saya merapikan barang-barang dan memilah mana yang bisa dijual kembali.
Setelah mendapat uang dari barang-barang yang dijual, saya merasa lega dan betah di kamar tersebut. Rasa betah itu pun membuat saya merasa tidak lagi perlu mengeluarkan uang untuk menghabiskan waktu di luar. Sampai saya pun lalu membereskan media sosial. Memilah berbagai merek dan influencer yang harus dan tidak di-follow. Ini adalah sebuah perjalanan mencari jati diri dan memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan. Segala yang tidak sesuai dan membuatku tidak nyaman, saya hapus. Hingga saya juga memutuskan mengundurkan diri dari kantor karena menyadari kantor tersebut tidak lagi memberikan kebahagiaan yang dibutuhkan. Seusai melakukan itu semua, hati semakin lapang dan lega. Entah bagaimana, dampaknya begitu besar terhadap kesehatan mental saya.
Ternyata setelah mencari tahu lebih banyak, yang saya lakukan adalah gaya hidup minimalisme. Setelah merasakan manfaatnya, barulah saya memahami gaya hidup ini cocok dan telah dijalani dari kecil. Tapi karena adanya berbagai macam iklan dan pengaruh dari luar, saat beranjak dewasa saya melupakan prinsip minimalisme tersebut. Untuk menerapkannya, kita memang perlu mengubah pola pikir terlebih dahulu. Kita harus memahami bahwa benda yang dimiliki sebenarnya diciptakan untuk membantu hidup. Seharusnya kita hidup dengan barang-barang bukan hidup untuk barang-barang. Barang-barang yang seharusnya dipilah-pilah, kita justru seringkali berburu barang-barang yang ingin dimiliki. Padahal kalau tetap berpegang pada prinsip awal tadi, harusnya kita tidak perlu terikat dengan barang yang dimiliki.
Kita harus memahami bahwa benda yang dimiliki sebenarnya diciptakan untuk membantu hidup. Seharusnya kita hidup dengan barang-barang bukan hidup untuk barang-barang.
Di samping itu, agar tidak terikat dengan benda-benda yang dimiliki, kita harus mengingat tanggung jawab besar atas kepemilikan benda tersebut. Sedari sebelum memiliki benda itu, kita sudah mengalokasikan waktu dan tenaga untuk mencari-cari dan membandingkan benda tersebut. Saat sudah dibeli dan diterima, tanggung jawabnya tidak hanya sampai di situ tapi sampai masa akhir penggunaan si benda tersebut. Banyak barang yang manfaatnya tidak berjangka panjang dan justru hanya akan merugikan lingkungan.
Terakhir, kita seringkali tidak bisa terlepas dari satu benda karena merasa menyayanginya. Misalnya karena harga yang mahal. Inilah yang menurut saya harus dikaji lebih dalam. Jika kita sayang dengan satu benda, harusnya ia bisa dipakai untuk memancarkan aura yang positif untuk kehidupan kita. Kalau hanya didiamkan di pojokan lemari sampai berdebu, bukannya jadi tidak berguna? Secara praktikal, kita bisa mulai mencoba menjauhkan diri dari barang-barang yang sentimental. Contohnya, kalau pulang dari luar kota beli kita biasanya membeli oleh-oleh yang menandakan pernah berada di sana. Ini memberikan efek sentimental. Agar tidak membuat barang tersebut tidak bermanfaat, alangkah lebih baik untuk mengingat momen tersebut dengan foto-foto saja. Kita bisa lebih bijak dalam membeli dan tidak lagi memiliki tanggung jawab atas barang tersebut.
Oleh sebab itu, sebelum membeli lebih baik ditanyakan pada diri soal akan disimpan di mana, digunakan untuk apa, dan sanggup merawatnya atau tidak. Kalau itu semua sudah terjawab dan memang mampu, silahkan membeli barang dan mempertanggungjawabkannya. Lalu pertimbangkan juga aspek ekonominya. Kalau barang itu ternyata tidak akan dipakai terlalu sering, mungkin kita tidak perlu memilikinya. Bisa dengan sewa atau bertukar dengan teman. Supaya terlatih untuk bisa rela melepaskan barang-barang yang dimiliki, kita harus rajin beres-beres memilah mana yang bisa dilepaskan dan diberikan pada orang lain atau dijual.
Selama ini, saya masih sering menemukan banyak orang yang menyalah artikan gaya hidup minimalis sebagai gaya hidup ekstrem dan sikap pelit. Padahal sejatinya, gaya hidup minimalis merupakan cara pandang dan pola pikir yang berfokus kepada sesuatu yang esensial untuk hidup kita. Saya juga memahaminya sebagai seni berkecukupan. Kita bisa merayakan rasa berkecukupan untuk bisa jadi manusia yang tidak selalu bertanya "bagaimana cara merasa cukup". Sebaliknya, menjadi manusia "yang merasa cukup”. Menurut saya, ketika sudah melekat dengan kecukupan, kita akan lebih dekat dengan rasa syukur dan bahagia yang sesungguhnya bukan yang semu.
Ketika sudah melekat dengan kecukupan, kita akan lebih dekat dengan rasa syukur dan bahagia yang sesungguhnya bukan yang semu.