Di era saat ini, untuk mengetahui kehidupan seseorang hanya dibutuhkan sedikit sekali perjuangan. Kita hanya perlu mengeluarkan gadget dan mengetik namanya di laman mesin pencari dan… boom! Seketika akan muncul foto ia bersama keluarganya atau anjing kesayangannya, kicauan-kicauannya yang terkadang isinya hanya amarah terhadap jalanan Jakarta, dan begitu banyak remah-remah kehidupan lainnya yang tersebar di dunia maya. Begitu lah manusia modern, semuanya dapat dengan mudah terbaca laksana buku yang terbuka lebar-lebar.
Coba jujur, kita pasti pernah tenggelam dalam tumpukan foto-foto di Facebook atau Instagram hanya untuk melihat-lihat kehidupan seorang teman atau bahkan seseorang yang bisa jadi tak kita kenal dalam dunia nyata. Setidaknya Anda pasti pernah melakukannya satu kali dalam kehidupan digital Anda. Tak usah malu memungkirinya karena social media stalking semacam ini menjadi suatu hal yang lumrah dalam beberapa tahun terakhir seiring dengan semakin meningkatnya penggunaan media sosial dalam kehidupan manusia.
Banyak di antara kita yang pada akhirnya mencoba ‘menguntit’ seseorang di media sosial – terutama Instagram, tanpa mengenal mereka. Bukan seperti selebriti yang memang jauh dari kehidupan manusia biasa, namun orang-orang asing di media sosial ini bisa jadi koneksi random karena berteman dengan teman kita yang sama, atau tinggal di satu gedung apartemen yang sama dengan kita, atau bahkan individu antah-berantah yang tiba-tiba saja muncul di halaman eksplorasi dan tanpa sengaja kita buka profilnya. Atas alasan yang beragam ada sesuatu dalam hidup orang-orang asing ini yang menjadi daya tarik bagi kita untuk kerap mengintip kehidupannya.
Rasa penasaran kita terhadap orang lain bukan lah sesuatu hobi baru. Ingat bagaimana manusia sering ‘membicarakan’ seseorang – atau kasarnya, bergosip sejak dahulu kala? Jika dahulu manusia terbatas pada hal-hal yang ‘katanya’ tanpa tahu kebenarannya. Kini dengan keberadaan media sosial, kehidupan setiap orang semakin terbuka luas untuk ditengok siapa saja. Di sisi lain, kita sebagai penonton kini dengan mudah berlindung di balik anonimitas semacam ninja yang mengintai rumah musuhnya dengan kostum serba tertutup. Nyatanya, layar gadget yang membatasi antara kehidupan mereka dan kita yang tengah mengintip memberikan sebuah rasa aman dari ketahuan – asalkan saja Anda tidak tanpa sengaja meninggalkan ‘likes’ pada foto orang itu yang diunggah enam bulan lalu.
Banyak di antara kita yang sering mengintip kehidupan orang lain di media sosial hanya karena alasan sederhana. Salah satunya adalah karena ‘drama’. Begitu banyak orang yang menggunakan media sosialnya untuk mengumbar-umbar episode sinetron dalam hidup mereka. Mulai dari keluh kesah sehari-hari hingga ‘kenyinyiran’ pada topik-topik tertentu. Atau bahkan pertengkaran mereka dengan orang-orang lain yang kita juga tidak kenal.
Rasa penasaran melihat drama orang lain tak ubahnya seperti bagaimana orang-orang di jalan sering berhenti hanya untuk menengok kecelakaan lalu lintas – tanpa mau bersusah-payah membantu sang korban. Kita hanya ingin tahu saja ‘kesialan’ apa yang sedang menimpa orang itu. Ada suatu rasa keingintahuan yang begitu besar melihat orang lain berada dalam masalah. Orang Jerman menyebut rasa ini dengan nama Schadenfreude – yakni rasa kepuasan bagi diri sendiri saat menyaksikan masalah, kegagalan, atau hal memalukan yang dialami orang lain.
Tapi mungkin kita bingung mengapa kita bisa begitu tertarik menengok drama orang lain yang bahkan kita tak kenal sekali pun. Sederhananya, sama saja seperti perasaan kita yang mudah terbawa saat menonton drama di televisi atau film – hanya saja peran-peran itu dimainkan oleh orang dalam dunia nyata dan bukan aktor. Dengan melihat segala drama yang terjadi kita pun seakan-akan menjadi bagian dari cerita itu dan seakan-akan telah mengenal para pemainnya. Ini lah yang disebut sebagai hubungan parasosial.
Menurut para ahli psikologi, hubungan parasosial merupakan hubungan satu sisi di mana salah satu pihak mengucurkan begitu banyak waktu dan tenaga yang mana pihak lainnya bahkan tak pernah menyadari keberadaan mereka. Dengan semakin personalnya media sosial, hubungan parasosial semacam ini justru seperti dipupuk. Kita dapat semakin terjerat dengan merasa bahwa kita benar-benar mengenal mereka hanya karena mudahnya berkomunikasi dengan mereka yang kita lihat di layar gadget.
Padahal yang harus kita ingat adalah bahwa hubungan ini hanya semu semata.