Manusia hanya mampu mengalami jiwa dan raganya semata-mata lewat panca indranya. Ia melihat dunia dengan matanya, mendengar segala informasi dan berita lewat telinganya, mencium segala aroma dengan hidungnya, menelan rasa di lidahnya, dan mampu bergerak sambil merasakan sensasi di sekujur tubuhnya.
Di India kuno, kelima indra diperlambangkan sebagai kuda penarik kereta. Kereta adalah tubuh ini, yang hanya akan berfungsi jika kuda-kudanya bergerak. Yang paling menarik adalah otak yang menyerap semua indra ini. Otak digambarkan sebagai indra batin yang di dalamnya ada pikiran dan perasaan, yang berperan sebagai kusir.
Data yang diterima dari kelima indra menghasilkan stimuli yang akan diterima oleh otak. Umumnya, otak akan otomatis merespon dengan memunculkan persepsi, yang biasanya terwujud sebagai penilaian pikiran atau perasaan.
Begitu cepat dan rapat, sehingga manusia selalu bereaksi dengan tidak sadar. Celakanya, karena ketidaksadarannya ini, manusia seringkali jatuh dalam kondisi tegang dan stres. Apa yang diproses oleh otak seolah mendikte seluruh kehidupan manusia. Mereka diperbudak persepsinya sendiri. Perbudakan yang membentuk siklus tiada akhir.
Kabar baiknya, ada cara yang efektif untuk lepas dari perbudakan ini. Kembali menjadi manusia yang utuh, bebas, dan merdeka. Adalah mindfulness yang menawarkan kesempatan ini. Kesempatan untuk memberikan jeda, agar si kusir bisa berhenti sejenak dan tidak asal memecut kudanya.
Neurolog dan psikiater Victor Emil Frankl pernah berujar,
“Di antara stimulus dan respon ada jeda. Di jeda inilah ada kesempatan untuk memilih.”
Mindfulness memberikan kesempatan bagi si kusir untuk merespon dengan kesadarannya yang bijak dan luas bagai angkasa. Sebagai kusir, ia tidak lagi tergesa-gesa memecut kudanya, hanya karena dorongan untuk semakin cepat. Ia memiliki kesempatan untuk merespon dengan cara yang berbeda.
Dengan mindfulness, kita meletakkan perhatian pada apa yang sedang terjadi di momen kini.
Dengan mindfulness, kita meletakkan perhatian pada apa yang sedang terjadi di momen kini. Perhatian diletakkan terhadap apa yang hadir di panca indra, tanpa perlu menilai dan menganalisanya. Merelakan dan mengikhlaskan apapapun untuk hadir. Suka duka, marah senang, sakit nyaman. Kita mengizinkan tubuh ini untuk merasakan seluruh pengalamannya sebagai manusia.
Setelah tidak lagi bereaksi terhadap pengalaman indra, manusia akhirnya memiliki jeda. Di ruang jeda ini, manusia bisa memilih dengan sadar. Sebagai kusir, batin akhirnya bisa dengan jelas mengarahkan kuda-kudanya: ia tahu jelas rute-rute mana yang efektif, ia tahu batas maksimal kemampuan kuda-kudanya, dan paham bagaimana menjalankan kereta kudanya dengan stabil, harmonis, serta nyaman dengan kecepatan yang imbang.
Keterampilan ini tidak hanya dapat dilatih dan dialami secara natural lewat sekedar duduk meditasi. Kembali pada napas hanyalah salah satu metode yang mengandalkan indra hidung dan indra sensasi tubuh. Kita ternyata juga dapat menggunakan kualitas audio dan visual kita untuk menjangkarkan kesadaran. Jika kita bisa sekedar bernapas dan sekedar merasa, maka kita bisa juga sekedar melihat, sekedar mencicip, dan sekedar mendengar. Sekedar punya aspek penting.
Di Zen Jepang, mereka berkata bahwa latihan mereka adalah “sekedar duduk”. Sekedar setidaknya punya 3 kualitas. Yang pertama, Anda tahu dan “melihat” dengan jelas apa yang sedang Anda lakukan dan apa yang sedang terjadi. Kedua, melembut, bebas dari dorongan yang sifatnya agresif. Ketiga, bebas dari penilaian dan analisa. Kita diizinkan untuk rehat seutuhnya, tetapi jernih dan penuh energi, tidak malas atau ngantuk.
Kesempatan ada di mana-mana. Kita hanya bisa sekedar mendengar musik, kita hanya bisa sekedar mengangkat beban di gym, kita hanya sekedar bergerak ketika berolahraga yoga dan kalistenik, kita hanya sekedar memandang panorama alam, dan kita hanya sekedar makan.
Sekedar bersama dengan apapun yang kita lakukan. Di mana tubuh kita berada, batin kita juga ada di sana. Apa yang dikerjakan oleh tubuh, batin kita juga mengerjakannya. Semua indra kita menjadi gerbang bagi kesadaran untuk terjangkar. Ketika saya sepenuhnya melebur bersama pengalaman indra ini, saya merasa satu, utuh, lega, dan segar dengan momen yang saya jalani tersebut.
Lho, kan pasti muncul pikiran dan perasaan? Ya tidak apa-apa. Malah justru baik, karena Anda berarti mulai kenal dengan pola Anda sendiri. Izinkan mereka ada, karena mereka hanyalah riak- riak dari indra batin. Sekedar tahu ada pikiran, sekedar tahu ada perasaan. Biasanya mereka lewat dengan sangat cepat, jika kita tidak bereaksi. Yang membuat kita stres dan tersiksa karena biasanya ada suatu ketidakrelaan terhadap pikiran dan perasaan. Kita gemes.
Cobalah mendengar dengan mendalam, mungkin hidup ini hanya meminta kelembutanmu, kewelasanmu, dan kasihmu.
Mungkinkah kita belajar untuk tidak lagi selalu keras terhadap fenomena batin dan tubuh ini? Cobalah mendengar dengan mendalam, mungkin hidup ini hanya meminta kelembutanmu, kewelasanmu, dan kasihmu. Ketika kita melembut ke diri sendiri, kita melembut pada dunia. Kita memperlakukan dunia dengan kesadaran, kasih, dan perhatian.
Ketika kita hidup sekedarnya, kita otomatis mulai memberikan perhatian dengan tepat pada lingkungan yang terjadi di sekitar, karena batas dan ketegangan antara kita dan lingkungan terkikis.
Jadi, mindfulness adalah seni untuk hidup sekedarnya, kini, di sini. Anda hanya perlu beristirahat sejenak. Ketika mengejar, Anda sadar tidak akan pernah tiba. Ketika berhenti, Anda menemukannya - karena Anda telah tiba di sini dan kini, satu-satunya tempat dan waktu di mana Anda sedang hidup. Memangnya, Anda bisa hidup kalau bukan di momen kini?
Ketika mengejar, Anda sadar tidak akan pernah tiba. Ketika berhenti, Anda menemukannya - karena Anda telah tiba di sini dan kini, satu-satunya tempat dan waktu di mana Anda sedang hidup.