Setiap manusia selama masih bernapas pasti memiliki stage of life atau tahapan dalam hidup yang berbeda-beda. Kala lahir kemudian bertumbuh dari bayi menjadi anak-anak, bersekolah kemudian besar, bekerja, menikah, dan seterusnya. Tiap tahap hidup tersebut memberikan pelajaran yang berbeda pun esensi bahagia yang berbeda. Kebahagiaan kita sebagai seorang anak sekolah dan sebagai orang dewasa tentu saja berbeda karena setiap tahapan memberikan definisi yang berbeda tentang kebahagiaan.
Kalau dapat disimpulkan, menemukan kebahagiaan sejati adalah sebuah proses – di mana kita menjalani sebuah pilihan. Misalnya saat lulus sekolah terdapat pilihan bekerja atau sekolah lagi. Pilihan yang datang di kemudian hari tak jarang semakin banyak dan semakin sulit untuk diputuskan. Namun yang harus kita tanamkan dalam pikiran adalah untuk merasa bahagia, kita harus menerima bahwa pilihan apapun yang kita tentukan merupakan pilihan terbaik yang membuat kita nyaman dan bahagia.
Pilihan apapun yang kita tentukan merupakan pilihan terbaik yang membuat kita nyaman dan bahagia.
Kalau mengetik definisi bahagia di mesin pencarian internet, yang akan muncul adalah "happiness is emotional state of well being." Artinya bahagia adalah emosi dalam diri yang ditentukan oleh sikap positif atau rasa yang menyenangkan serta tidak menyusahkan. Sehingga sebenarnya kebahagiaan kita bentuk dari dalam emosi diri sendiri dan bukan dari pihak di luar diri kita. Dulu jika ditanya apa yang membuat saya bahagia, saya pasti akan menjawab dengan banyak komponen. Bahagia itu adalah ketika saya memiliki orang yang dicintai, orang yang bisa memberikan hadiah, atau liburan. Semua bentuknya pihak ketiga. Padahal ternyata tidak demikian.
Saya kini menyadari bahwa apa yang terjadi dalam hidup memang perlu terjadi. Kini apapun yang disodorkan di hadapan saya akan saya terima karena itu bagian dari pengalaman hidup. Masalah pasti ada. Hidup tidak melulu soal merasa senang. Justru di antara perasaan sedih dan kecewa itulah saya bisa menemukan rasa syukur dan kebahagiaan dari dalam diri. Dulu saat sedih pasti saya akan terpuruk, marah-marah, menyangkal sampai sakit. Tapi sekarang jika merasa kecewa saya akan melihat dulu maknanya apa di balik kecewa itu. Atau contohnya ketika ada orang tidak menyenangkan datang menghampiri, saya akan bertanya pada diri sendiri: "Pelajaran apa yang saya dapat dari orang itu?" Rupanya supaya saya belajar untuk tidak menjadi orang yang tidak menyenangkan.
Hidup tidak melulu soal merasa senang.
Pencarian saya akan arti kebahagiaan sejujurnya datang dari pengalaman hidup nan luar biasa. Suatu saat saya pernah berada di kondisi mati suri karena menderita penyakit autoimun. Dalam kondisi tersebut saya didatangi almarhum mertua di mana beliau meminta saya ikut ke alamnya. Saya bilang, “Kalau disuruh memilih, saya belum mau ikut karena masih ingin bersama anak-anak sampai tugasku sebagai ibu selesai. Tapi kalau Tuhan memang hendak menyudahi peranku di dunia, tidak apa-apa.” Mertua saya kemudian bertanya, “Lis, kamu bahagia atau tidak dengan hidupmu? Kalau kamu bahagia kenapa kamu bisa sakit sampai seperti ini bahkan dirawat di rumah sakit sampai tiga minggu?” Saya heran kenapa beliau berpikir seperti itu. Memang kurang bahagia apa lagi hidup saya? Sepertinya sudah bahagia-bahagia saja.
Lalu beliau pun meminta saya memikirkan lagi, merenungkan dan menelaah apa arti kebahagiaan yang sebenarnya untuk saya. Tidak berhenti di situ, beliau juga bertanya: “Apa yang sudah kamu berikan pada hidupmu?” Mendengar ini saya akhirnya bangun dari mati suri dan pertanyaan kedua tersebut terngiang di benak terus menerus. Hingga akhirnya saya menjalani hidup yang amat berbeda dengan pemahaman bahwa kita tidak pernah tahu kapan hidup kita berakhir. Kita tahu kita akan tiada tapi tidak pernah tahu kapan. Kita tidak bisa mengendalikan waktu tapi kita bisa mengendalikan bagaimana cara kita menjalani hidup. Yaitu dengan memberikan makna dalam hidup kita sendiri. Dari sinilah saya belajar untuk menghargai setiap momen di detik ini. Detik, menit, jam, dan masa sekarang yang sedang dijalani.
Kita tidak bisa mengendalikan waktu tapi kita bisa mengendalikan bagaimana cara kita menjalani hidup – yaitu dengan memberikan makna dalam hidup kita sendiri.
Dulu kalau dipikir-pikir, dalam 24 jam saya lebih banyak memikirkan masa lalu atau masa depan. Berpikir bagaimana menyenangkannya masa sekolah dulu atau memusingkan investasi apa yang bisa saya gunakan untuk masa depan. Ternyata sisanya hanya 2-3 jam saja untuk saya memikirkan masa sekarang yang justru masa terpenting untuk kita sebagai manusia. Kesadaran ini membuat saya berpikir apa yang bisa saya lakukan setiap hari untuk membuat hidup lebih bermakna. Bukan pikiran negatif tentang orang lain.
Saya pernah tidak bangun dari tidur. Saya tidak mau saat suatu hari benar-benar tidak bangun untuk selamanya saya akan menyesal karena belum melakukan apa-apa. Jadi sekarang setiap bangun tidur saya selalu bersyukur masih bisa bernapas. Mungkin dalam 2-3 jam lagi saya tidak bernapas tapi paling tidak saya tahu sebelum itu saya sudah bersyukur, sudah melakukan hal baik. Saya merasa masyarakat di kota besar melupakan rasa syukur, lupa untuk menyisihkan waktu bersyukur, jeda dari sela-sela kesibukan hanya untuk berterima kasih atas napas yang masih diberikan Tuhan.
Sifat manusia di kehidupan urban saat ini seolah seperti robot. Terlalu banyak yang dikerjakan dalam satu waktu. Tidak punya waktu untuk diri sendiri atau keluarga atau teman. Lama-kelamaan masyarakat urban sering kehilangan rasa. Sesimpel kehilangan rasa untuk bertegur sapa, bertatap muka langsung dengan orang-orang sekitar karena terlalu sibuk dengan pekerjaan dan aktivitas sehari-hari. Menyatakan jatuh cinta atau memutuskan hubungan saja lewat aplikasi telepon pintar. Banyak orang sudah seperti robot yang buru-buru bangun untuk kerja, mengejar transportasi dan merencanakan dalam seharian itu pergi ke mana saja. Rasanya sudah tidak ada lagi rasa untuk duduk sebentar, lima menit saja untuk berpikir: "Kok saya terburu-buru sekali ya hari ini?" Padahal dalam lima menit itu kita bisa mengucap syukur diberikan napas, diberikan kemampuan melihat oleh Tuhan di mana banyak orang tidak bisa melihat, mendengar. Sekarang kalau ditanyakan kembali ke diri kita, kapan kita bisa berterimakasih dengan hal-hal kecil ini? Jarang, bukan?
Sifat manusia di kehidupan urban saat ini seolah seperti robot. Terlalu banyak yang dikerjakan dalam satu waktu.
Bagi saya kini saya sudah merasa cukup bahagia karena sudah punya kepuasan yang tidak berlebihan dan tidak kekurangan. Rasanya semua yang saya miliki porsinya memang sudah seharusnya. Apa yang diinginkan dan didapatkan juga sudah melalui proses perjalanan sekolah kehidupan yang membuat saya bisa bilang bahwa saya bahagia. Mau apa lagi? Selama saya bisa bernapas dan berbagi saya merasakan kebahagiaan yang sejati. Sesimpel berbagi waktu dan cinta untuk orang lain. Hanya saja sebelum bisa berbagi waktu dan cinta untuk orang lain, kita juga harus bisa berbagi waktu dan cinta dengan diri sendiri. Orang yang gagal mencintai diri sendiri akan menimbun dan melahirkan luka. Luka kalau ada di jiwa selamanya akan terbawa. Merasa sakit berkelanjutan. Ibarat telepon genggam, manusia “baterai”-nya juga bisa habis. Harus diisi kembali dayanya. Dalam keseharian luput dari kesadaran kita untuk meluangkan waktu untuk diri sendiri. Melupakan rasa syukur atas apapun yang telah dilakukan oleh diri sendiri. Padahal cukup dengan berterima kasih pada diri sendiri ketika bangun tidur atau melihat diri di cermin sudah cukup bisa memberikan cinta pada jiwa raga. Cinta yang dipupuk, dipelihara untuk kemudian juga dibagikan pada makhluk hidup lain.