Manusia memiliki kebutuhan untuk terhubung dan mendekatkan diri dengan alam. Baik tumbuh-tumbuhan atau binatang. Semakin jauh dari alam, semakin sulit juga bagi manusia untuk merasa membumi, utuh dan damai. Kegiatan yang tampaknya sederhana seperti: belanja sayuran sendiri di pasar, memelihara edible garden di rumah, belajar mengolah makanan sendiri, atau sesimpel mengupas buah sendiri, memberikan kita semacam koneksi terhadap makanan yang dikonsumsi, dan juga dengan alam. Saat seluruh proses ini direnggut, ada yang hilang dari hidup kita. Secara tidak sadar, apresiasi kita terhadap makanan pun berkurang. Itulah sebabnya pada masa pandemi yang membuat kita tidak bisa berbelanja sayuran sendiri, seperti ada kebahagiaan yang hilang.
Semakin jauh dari alam, semakin sulit juga bagi manusia untuk merasa membumi, utuh dan damai.
Pada dasarnya, kita harus berupaya untuk menghargai bahan pangan dan makanan karena kehidupan adalah sebuah berkah. Bumi ini memberikan kita pangan yang berkecukupan dan lengkap. Kita bisa tanam dan tumbuhkan sendiri. Bukankah ini sebuah berkah? Bayangkan ada lebih dari 20,000 spesies tumbuh-tumbuhan yang bisa kita makan. Kalau kita tidak bisa menghargai itu, saya rasa kita telah kehilangan esensi kehidupan itu sendiri. We take many things for granted. Hingga akhirnya kita akan sulit merasa bahagia sebab kebahagiaan hadir ketika kita bisa bersyukur.
Bayangkan ada lebih dari 20,000 spesies tumbuh-tumbuhan yang bisa kita makan. Kalau kita tidak bisa menghargai itu, saya rasa kita telah kehilangan esensi kehidupan itu sendiri.
Menerapkan metode slow food sebenarnya bisa jadi salah satu cara kita menghargai pangan. Slow food adalah suatu konsep hidangan yang menggunakan bahan-bahan terbaik dari hasil produksi lokal, dimasak dengan proses yang baik dan bertujuan untuk menyehatkan badan dan mental. Kemudian ketika menikmatinya, kita memberikan apresiasi yang tinggi selama proses konsumsi. Konsep ini membantu kita untuk membayangkan dari mana makanan berasal sebelum sampai ke tangan kita. Hanya dengan membayangkan proses ini kita bisa merasa bersyukur atas alam dan bumi yang telah menumbuhkan makanan kita. Juga perasaan berterima kasih pada para petani yang memelihara dan memanen sayur mayur, buah-buahan, kacang-kacangan, maupun biji-bijian. Lalu ketika kita memasaknya sendiri dengan proses yang minimal dan sehat, kita bisa sekaligus mengasah indera perasa sehingga bisa menghargai pangan apa adanya. Tidak harus menambah banyak bumbu untuk punya cita rasa yang kita anggap enak.
Lambat laun, ini bisa menuntun kita mengubah pola makan menjadi plant-based. Menikmati makanan yang lebih alami dengan proses yang minimal. Dengan begini, kita baru akan mulai menyadari hal-hal kecil seperti, “Oh brokoli itu ternyata manis banget ya! Ternyata labu itu gurih ya! Dan sayuran mentah yang biasa digunakan untuk salah itu sangat nikmat!”. Indera perasa kita terhadap cita rasa menjadi lebih peka dan akhirnya kita menemukan hal baru yang tidak disadari sebelumnya. Sebaliknya, kita akan semakin berjarak dengan alam saat kita menambah bumbu ini-itu. Misal segala sesuatu harus digoreng baru terasa gurih, harus pakai garam, minyak, penyedap rasa, gula, dan lain-lain baru bisa memuaskan indera perasa.
Saya sendiri berusaha semaksimal yang saya bisa dalam menerapkan proses slow food. Lebih dari sekadar cara mengolah makanan, saya menerapkan konsep ini untuk bisa merasakan ketenangan. Ketika saya mengubah pola makan menjadi plant-based, saya merasa tenang karena tahu apa yang kita makan berasal dari sesuatu yang ditanam dan ditumbuhkan. Bukan sesuatu yang menjerit, meronta, disiksa dan dibunuh. Inilah salah satu bagian penting dari slow food yaitu berhenti sejenak untuk membayangkan dari mana makanan kita berasal. Apakah hidangan di depan mata membuat kita tenang? Apakah kita bisa tega atau mau mendapatkan makanan tersebut dengan tangan kita sendiri? Bayangkan berada di perkebunan yang hijau, memanen sayur mayur. Kemudian bandingkan dengan berada di tempat penjagalan yang bersimbah darah sambil mendengarkan suara teriakan-teriakan hewan yang tidak ingin dibunuh. Dan kita harus membunuh hewan yang ingin dimakan dengan tangan sendiri. Kedua bayangan ini bukanlah hal yang sama. Dari mana makanan itu berasal dan energi seperti apa yang diberikan pada kita akan sangat memengaruhi keseharian.
Ketika saya mengubah pola makan menjadi plant-based, saya merasa tenang karena tahu apa yang kita makan berasal dari sesuatu yang ditanam dan ditumbuhkan. Bukan sesuatu yang menjerit, meronta, disiksa dan dibunuh.
Berkata begini, bukan berarti saya menentang fast food. Yang penting dalam hidup kita terus berusaha untuk hidup lebih baik dan menjadi manusia yang lebih baik. Kalau kita terbiasa makan protein hewani dan junk food, lalu punya tekad untuk mengubah diri dan menjalani pola makan plant-based yang sehat dengan proses yang minimal, itu bagus sekali. Berarti kita sudah menapaki langkah ke jalur yang benar. Tapi tentu saja tidak mungkin perubahan itu terjadi dalam semalam. Bahkan sebenarnya plant-based fast food bisa membantu kita dalam masa transisi tersebut.