Terkadang tanpa sadar kita seringkali memikirkan sesuatu setengah gelas kosong atau setengah gelas isi saja. Maksudnya adalah kita seringkali tidak melihat sesuatu secara keseluruhan tetapi hanya sebagian saja. Sama seperti kita melihat agama. Tanpa sadar banyak dari kita take it for granted. Menjadikan agama sebagai warisan dari orang tua kita tanpa perlu tahu mengapa melakukan ritualnya atau mengapa kita membaca kitab sucinya. Saat masih kecil tentu saja kita pasti bingung dengan bacaan kitab suci yang ditulis dalam bahasa nan rumit. Kita belum bisa membuat interpretasi yang baik dari pernyataan-pernyataan yang ada di dalamnya. Akan tetapi sebenarnya semakin berjalannya waktu jika kita mau melihat ajaran agama secara menyeluruh tidak hanya setengah gelas kosong atau setengah gelas isi, sebenarnya kita bisa membantu diri untuk menjalani kehidupan lebih baik. Salah satunya adalah memahami keyakinan spiritual untuk melengkapi pemahaman kita terhadap agama itu sendiri.
Kita seringkali tidak melihat sesuatu secara keseluruhan tetapi hanya sebagian saja. Sama seperti kita melihat agama. Tanpa sadar banyak dari kita take it for granted.
Banyak orang yang baru perjalanan spiritualnya dimulai setelah menerima masalah yang amat berat. Berbeda dengan aku yang bisa dibilang jarang melihat sesuatu masalah sebagai sebuah masalah. Kerapkali aku memandang sebuah masalah sekadar bagian dari hidup. Sebagai sebuah tantangan yang harus dilewati demi mencapai hal-hal yang dikehendaki. Setiap hari kita dihadapi dengan tantangan sehingga setiap hari kita harus mencari cara melewati tantangan tersebut. Entah tantangan kecil atau besar. Sehingga setiap kali berupaya untuk mendapatkan solusi dari tantangan tersebut dan melewatinya aku merasa sedikit demi sedikit sekaligus menguatkan keyakinan spiritual yang dianut. Sebab semakin aku bisa menyelesaikan sebuah tantangan aku merasa semakin dekat dengan diriku sendiri dan secara tidak langsung melatih sisi spiritualku.
Memang awalnya aku juga memiliki ketertarikan tersendiri pada berbagai ajaran spiritual yang menurutku cocok dengan nilai dan prinsip diri. Bermula hanya karena ngobrol dengan teman dekat yang sudah lebih dulu memelajarinya, lama-lama aku justru merasa ingin mendalaminya. Bukan sekadar ikut-ikutan, tapi seperti yang aku utarakan sebelumnya ajaran spiritual yang aku dapatkan tentang law of attraction, self-healing, kekuatan semesta, dan lain-lain itu ternyata bisa melengkapi pemahaman agama yang dianut dari kecil hingga sekarang. Sebab sebenarnya ajaran spiritual itu layaknya mencari jodoh. Kalau memang tidak cocok — meski mirip, tetap tidak akan masuk juga. Seperti meditasi. Bagi sebagian orang meditasi dirasa sebagai bagian dari sebuah agama. Padahal praktik meditasi menurutku sangat terpisah dengan ajaran agama. Bagi diriku pribadi, meditasi bisa membantuku untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Menjadi sebuah “alat” untuk kita bisa berdiam sejenak, menanyakan kembali pada diri tentang apa yang ingin dilakukan hari ini, apa tujuannya, bagaimana cara mencapainya. Ketika melakukan meditasi aku seakan memberikan waktu untuk bertemu dengan higher self. Dengan sesuatu yang lebih besar dari diriku sendiri. Dan praktik meditasi ini tidak mengurangi keyakinan akan agamaku. Sebenarnya secara tidak sadar praktik meditasi sudah ada di berbagai ritual keagamaan. Seperti saat kita berdoa sendiri di rumah, berdiam dan berdevosi kepada Tuhan, sebenarnya kita sedang “meditasi” tapi caranya saja yang berbeda.
Bagi diriku pribadi, meditasi bisa membantuku untuk berkomunikasi dengan diri sendiri. Menjadi sebuah “alat” untuk kita bisa berdiam sejenak, menanyakan kembali pada diri tentang apa yang ingin dilakukan hari ini, apa tujuannya, bagaimana cara mencapainya.
Selalu berupaya mengasah sisi spiritual menjadi amat penting agar kita bisa memiliki kesadaran diri lebih dalam. Entah itu dalam pekerjaan atau menanggapi persoalan yang terjadi di sekitar. Dalam prosesku berkarya misalnya. Bisa dibilang penamaan koleksiku seringnya berasal dari refleksi spiritual. Seperti koleksi Intuisi dan Nurani. Aku merasa kedua hal ini harus selalu kita bawa ke mana-mana dalam melakukan apapun. Intuisi merupakan suara hati di mana setiap menghasilkan karya aku selalu menghadirkannya untuk menciptakan karya yang benar berasal dari dalam diriku, pemikiranku, dan tentu saja hatiku. Begitu juga nurani yang aku hadirkan agar selalu dapat mempertimbangkan dampak baik apa yang mungkin diberikan pada orang lain sehingga karyaku tidak hanya untuk kepentingan personal. Dari sisi bisnis misalnya, bagaimana karya yang aku ciptakan bisa membantu orang lain memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya.
Apalagi di masa pandemi seperti sekarang ini aku merasa intuisi dan nurani sangatlah penting untuk dihadirkan dalam mengambil keputusan. Contohnya saat berniat membantu orang lain. Terkadang kita harus memikirkan kembali apakah tindakan kita membantu orang lain membuatnya benar terbantu atau justru sebaliknya. Seperti analogi kepompong. Ulat yang berada dalam kepompong harus menjalani prosesnya untuk keluar dari kepompong hingga menjadi kupu-kupu. Jika ada seseorang yang membantunya keluar dari kepompong padahal belum waktunya, ulat tersebut tentu saja malah akan mati. Sama dengan tindakan membantu orang lain tadi. Niat baik kita yang hendak membantu bisa menjadi salah dan justru mungkin menyusahkan orang lain ketika kita tidak punya intuisi dan nurani yang bisa menelaah lebih dalam. Melupakan proses dan buru-buru melakukan sebuah tindakan. Tidak memikirkan apa yang benar-benar dibutuhkan orang tersebut. Belum tentu apa yang kita bantu adalah sesuatu yang ia butuhkan. Ini tentu saja juga berlaku pada diri kita sendiri. Dengan memiliki sisi spiritual yang bisa menghadirkan intuisi dan nurani, kita bisa memikirkan kembali apa yang sebenarnya kita inginkan atau butuhkan sehingga menjadi manusia yang lebih sadar.
Dengan memiliki sisi spiritual yang bisa menghadirkan intuisi dan nurani, kita bisa memikirkan kembali apa yang sebenarnya kita inginkan atau butuhkan sehingga menjadi manusia yang lebih sadar.