Mengapa saya ada? Pertanyaan tentang eksistensi diri ini biasanya muncul tiap akhir pekan ketika saya duduk di depan laptop sambil mengutak-atik tulisan-tulisan untuk Greatmind. Kalau saya di dunia ini untuk mengejar mimpi, setelah mimpi itu tercapai lalu apa? Kalau di dunia ini untuk mengejar materi, lalu kenapa banyak yang tajir tapi tidak bahagia? Ya, mungkin elo belum coba naik private jet keliling dunia aja kali, Gup! Bangun tidur di Pikaia Lodge Ecuador, makan pagi di Tokyo, makan siang di Jalsaimer, nyemil sore di Patagonia, makan malam di Paris sambil tidur-tiduran di penthouse Hotel George V.
Kalau saya di dunia ini untuk mengejar mimpi, setelah mimpi itu tercapai lalu apa? Kalau di dunia ini untuk mengejar materi, lalu kenapa banyak yang tajir tapi tidak bahagia?
“Guk!”
Kibo tahu kapan saya mulai melamun tidak penting dan langsung mencoba membawa saya ke saat ini – present. Kibo, red toy poodle berbulu cokelat yang saya adopsi sekitar tiga tahun lalu. Yang berhasil membuat kerepotan karena dia hanya mau makan kalau disuapin, yang setiap pagi persis jam delapan sibuk menggonggong lirih (iya, lirih) minta diantar jalan-jalan karena waktunya dia “pup”, atau yang sibuk menggonggongi tukang pijat saya karena dia pikir saya dipukuli.
Saya berhenti menulis sejenak, menutup laptop dan melirik Kibo yang sedang duduk di ujung ranjang, melihat saya seperti saya satu-satunya hal yang membuat dia bahagia. Tanpa disadari saya tersenyum. Teringat buku Rick Warren, The Purpose Driven Life, yang saya baca puluhan kali ketika galau. Menurutnya, tujuan hidup kita adalah untuk membuat Tuhan tersenyum.
Menurutnya, tujuan hidup kita adalah untuk membuat Tuhan tersenyum.
Saya tumbuh dalam ajaran bahwa Tuhan menciptakan manusia untuk mengenal-Nya, melayani-Nya, dan hidup bersama-Nya. Tidak ada satupun ajaran yang saya terima waktu kecil yang menyebutkan tentang membuat Tuhan tersenyum.
Namun Kibo membuat semuanya masuk akal. Kibo membuat saya tersenyum.
Kibo dan mungkin anjing dan peliharaan lainnya sangat bergantung pada kita untuk semua hal. Mereka menantikan saat-saat bersenang bersama, mendambakan rasa dicintai. Bukankah itu yang diinginkan Tuhan untuk kita? Bisakah kita mengatakan kita mencintai Tuhan sama seperti anjing kita mencintai kita?
Bisakah kita mengatakan kita mencintai Tuhan sama seperti anjing kita mencintai kita?
Dengan cinta yang saya rasakan untuk Tuhan — dan Kibo — serta cinta dan persahabatan yang Tuhan dan Kibo berikan kepada saya, saya tidak bisa menahan diri untuk menggali lebih dalam pehamanan baru saya ini. Belajar mengenal Tuhan lewat Kibo
Dekat dengan Tuhan
Kibo selalu ingin dekat dengan saya. Dia akan meringkuk di kaki saya bahkan di lantai yang keras yang tidak senyaman bantal favoritnya. Dia selalu berlari kencang dan melompat ingin dipeluk ketika saya pulang kerja karena begitu rindu dan ingin selalu berada sedekat mungkin dengan saya.
Apakah tidak seperti itu ketika kita berlutut untuk berdoa? Kita dapat berdoa sambil duduk atau bahkan berbaring, kadang-kadang dengan lutut yang tertekuk. Kita melakukan ini untuk membuat kita merasa lebih dekat dengan Tuhan. Apakah ini membuat Tuhan tersenyum? Saya rasa begitu.
Memahami Kata-Kata Tuhan
Kibo selalu berusaha keras dengan memutar-mutar kepala untuk memahami kata-kata yang saya ucapkan. Wajahnya sangat lucu ketika mencoba memahami apa yang saya katakan. Saya dan Kibo adalah spesies yang sama sekali berbeda, sama seperti kita dan Tuhan.
Namun Kibo berhasil belajar mengenali beberapa kata-kata saya karena keinginannya untuk memahami kemauan saya. Kibo mempelajari perintah, ia tahu kapan waktunya berjalan-jalan, atau harus buang air di mana.
Apakah kita berusaha mendengarkan Tuhan? Apakah kita mempelajari perintah Tuhan terlebih dahulu dan kemudian ingin lebih dalam mencoba mengerti dengan pemahaman kita? Ketika kita mencoba mendengar Tuhan, apakah Tuhan tersenyum? Saya rasa begitu.
Menguji Tuhan
Kibo seringkali menguji batas kesabaran saya. Ia sering melarikan diri dari halaman rumah untuk bermain main dengan anjing lain di rumah sebelah — hal ini dilakukan Kibo bukan karena ia tidak mencintai saya, tetapi murni karena ia hanya ingin bersenang-senang.
Bukankah itu bagaimana kita kadang-kadang kepada Tuhan? Setelah beberapa saat, setelah kesenangan berakhir dan hawa dingin masuk dan kita lapar, apakah kita tidak merindukan Tuhan? Apakah kita tidak pincang, lemah, kotor dan menangis, menggaruk-garuk pintu, meminta penerimaan kembali untuk kehangatan kasih Tuhan?
Saya tumbuh dengan kepercayaan bahwa Tuhan akan selalu mengampuni kita dan menyambut kita pulang. Dan apakah Tuhan tersenyum ketika anak yang hilang itu pulang? Saya pikir begitu.
Miliknya Tuhan
Kibo adalah kepunyaan saya. Saya pemiliknya. Dan kita adalah milik Tuhan karena Dia telah menjadikan kita miliknya. Sejak kecil saya diberi tahu bahwa Tuhan begitu memperhatikan saya sampai menghitung rambut di kepala saya. Tuhan memiliki nama saya dalam bukunya. Tuhan mengenal saya sebelum saya dilahirkan. Dia telah mengawasi dan membimbing saya sepanjang waktu. Kita adalah kepunyaan Tuhan dan kita tidak perlu melakukan apa pun untuk mendapatkan status itu. Apakah Tuhan tersenyum kepada kita hanya karena kita miliknya? Saya pikir begitu.
Mengindahkan Panggilan Tuhan
Kibo selalu datang ketika saya memanggilnya. Ini adalah perintah terpenting yang saya ajarkan kepadanya — demi kebaikan dia sendiri, untuk melindungi dia dari bahaya.
Apakah kita merespons ketika Tuhan memanggil? Apakah kita siap untuk melakukan kehendak Tuhan — apa pun yang dia minta, kapan pun dia bertanya?
Bukankah Tuhan akan tersenyum jika kita datang dengan sukarela ketika Dia memanggil? Saya pikir begitu.
Kedermawanan Tuhan
Sebagai pemilik hewan peliharaan, saya menghabiskan banyak uang untuk Kibo. Saya menghujaninya dengan hadiah dan perawatan penuh kasih, memberi dia makanan khusus dan memberi mereka begitu banyak mainan. Saya memberi begitu banyak karena saya menyayanginya.
Tuhan juga memberikan sesuatu kepada kita, seringkali, jauh lebih banyak daripada yang sebenarnya kita butuhkan. Tuhan memberkati kita dengan cara yang mungkin tidak kita ketahui, pahami atau hargai.
Apakah kita bersyukur kepada Tuhan atau merengek untuk mainan berikutnya? Dia mungkin berkata ya, tidak, nanti atau mungkin. Tetapi apakah Tuhan tersenyum ketika Ia memberkati kita? Saya pikir begitu.
Kibo adalah panduan saya untuk hidup di saat ini – mindful. Dia tidak merenungkan masa lalu. Dia tidak khawatir tentang masa depan. Tentu, dia mengalami ketakutan, seperti ketika dokter hewan yang mendatanginya dengan otoscope untuk melihat di telinganya. Tapi begitu momen itu berlalu, dia tidak menyimpan dendam terhadapnya, juga tidak hidup dalam ketakutan akan pertemuan mereka berikutnya. Perhatiannya pada saat ini tidak terganggu oleh self-talk negatif, seperti, "Aku menghabiskan hidupku berbaring di depan jendela sepanjang hari."
Kibo adalah bulu-bulu pembawa kedamaian saya