Di usia pertengahan tiga puluhan ini, surprisingly, aku tidak terlalu terganggu dengan kesendirianku. Aku menikmati my singlehood, meski tetap saja, ada semacam tekanan dari luar dan deadline yang menghantui.
Aku merasa, terutama buat perempuan, kesendirian harus dihindari sedini mungkin. Jika ada yang tertarik padamu, terimalah segera dengan tangan terbuka, daripada kamu berakhir sendiri. Lebih baik berada dalam hubungan (yang bisa jadi salah), ketimbang tersisih sendirian. Rasanya lebih mengerikan terlambat naik ke gerbong kereta, ketimbang salah jurusan.
Aku merasa, terutama buat perempuan, kesendirian harus dihindari sedini mungkin. Jika ada yang tertarik padamu, terimalah segera dengan tangan terbuka, daripada kamu berakhir sendiri. Lebih baik berada dalam hubungan (yang bisa jadi salah), ketimbang tersisih sendirian.
Ketika usiaku lebih muda dari hari ini, setiap kali hubungan cintaku kandas, adegan Bridget Jones yang ketakutan bakal mati sendirian di apartemennya dan baru ditemukan beberapa hari, berulang terputar di kepala. Lirik lagu All By Myself yang jadi soundtrack filmnya pun terasa begitu menakutkan (saat itu). Jadi ingat sebuah esai yang ditulis Lena Dunham, ia mengibaratkan kesendirian sebagai sebuah pulau yang tidak diinginkan orang-orang untuk jadi destinasi liburan, apalagi untuk hidup menetap di situ.
Toh, makin tambah usia aku sadar, belum menemukan pasangan nyatanya bukan sinonim merasa kesepian. Sendiri memang belum tentu sepi. Bukan pula berarti antipati pada cinta. Cinta bisa terasa indah, mencengangkan, dan menyenangkan jika dirasakan bersama seseorang yang tepat. Sayangnya, pada kenyataannya perkara cinta itu bukan sekadar bilang “I love you”, lalu happy ending. Ternyata jodoh juga tidak ujug-ujug jatuh dari langit. Dan ya itu tadi, meski kamu sudah berdamai dengan kondisi sendiri tanpa pasangan—yang ternyata tidak bikin nestapa—selalu ada tekanan tak berkesudahan.
Toh, makin tambah usia aku sadar, belum menemukan pasangan nyatanya bukan sinonim merasa kesepian. Sendiri memang belum tentu sepi. Bukan pula berarti antipati pada cinta. Cinta bisa terasa indah, mencengangkan, dan menyenangkan jika dirasakan bersama seseorang yang tepat.
Aku masih suka terganggu dengan anggapan, sesukses apa pun anak-anakmu, kamu belum jadi orangtua yang paripurna kalau anak-anakmu belum menikah semua. Aku sempat mencuri dengar seorang kerabat berujar di hadapan orang tuaku di sebuah acara pernikahan. “Lega aku, sudah menunaikan tugasku sebagai orangtua, menikahkan semua anakku.” Mungkin hanya sekadar meluapkan kelegaan, tapi buatku saat itu, ungkapan itu seolah menunjukkan kalau orang tuaku belum lah berhasil sepenuhnya.
Suatu hari aku bertanya pada ibu, apakah ia merasa gagal jadi orang tua karena aku belum menikah? Ia menjawab, lebih takut melihatku tidak bahagia dan pernikahan bukan jalan satu-satunya yang bikin bahagia. Fiuh, oke! Lalu aku tanya lagi, “Kalau aku memutuskan tidak punya anak, Ibu bagaimana?” Saat itu pemilihan waktunya sesungguhnya tidak tepat, karena adikku yang sudah menikah bertahun-tahun, didiagnosis sulit punya anak. Jadi kemungkinan ibu menjadi nenek menjadi tipis sekali. Aku sendiri merasa agak menyesal menanyakan hal ini, jangan-jangan tangis ibu bakal pecah. Tapi dia diam saja.
Untuk mendinginkan keadaan, aku lanjut mengaku, meski yakin memilih childfree, ada juga ketakutan di masa tua nanti sendirian. Cuma kok aku egois ya, ingin punya anak supaya enggak kesepian. Ibu akhirnya buka suara, “Punya banyak anak juga enggak akan menjamin kamu tidak akan kesepian di hari tua. Lihat tuh teman-teman Ibu, yang punya banyak anak malah jadi orang paling kesepian. Teman-teman Ibu yang memilih sendiri, malah banyak yang nemenin.” Mendengar responsnya, tangisku lah yang pecah. Sejak saat itu, untuk pertama kalinya, aku merasa baik-baik saja dengan “kesendirian”-ku.