20 Februari 2019, sebuah hari yang tidak akan saya lupakan sepanjang usia.
Ibu saya, Anna K, tercinta beristirahat dalam keabadian, setelah empat bulan berjuang dengan penyakit tuberculosis yang merongrongnya, dan lima hari dirawat intensif di rumah sakit, sebuah tempat yang sudah diakrabi beliau sepanjang sakitnya.
Sebuah hari di mana saya menangis sedemikian keras, hingga terasa tidak lagi tersisa air mata, dan selama empat hari proses persemayaman, saya hampir tidak menangis sama sekali.
Mami, begitu saya memanggilnya, bukan hanya sosok ibu bagi saya tetapi juga sosok ayah. Sejak perpisahan beliau dengan ayah saya di usia saya yang masih sangat kecil, praktis beliau mengambil peran tambahan tersebut. Seorang ibu penuh cinta, seorang ayah penuh perhatian, seorang guru yang tegas, seorang koki handal, seorang penonton yang baik, dan banyak lagi peran yang diambilnya. Mami bukan hanya menjadi bagian dari hidup saya, tapi hidup saya pun menjadi bagian dari beliau.
Praktis, ketika beliau tidak lagi ada di dalam kehidupan saya, ada sebuah kekosongan yang cukup besar yang ditinggalkan dalam keseharian saya. Tidak ada lagi pesan singkat yang menanyakan kabar saya, menanyakan makan siang saya, atau bahkan terkadang menanyakan apakah saya ingin dikirimkan makanan dari rumah (karena saya tinggal di kos). Umur saya sudah mendekati kepala tiga pada saat itu, tetapi bagi Mami, I’m still her little baby. Terkadang memang terasa “mengganggu”, karena saya terus menerus dimanja seperti bayi, tetapi memang di saat sekarang tentunya terasa sangat dirindukan.
Umur saya sudah mendekati kepala tiga pada saat itu, tetapi bagi Mami, I’m still her little baby. Terkadang memang terasa “mengganggu”, karena saya terus menerus dimanja seperti bayi, tetapi memang di saat sekarang tentunya terasa sangat dirindukan.
Sejujurnya, sekalipun kekosongan itu ada, kehidupan saya setelahnya kembali berjalan seperti “biasa”. Saya bekerja seperti biasa, berteman seperti biasa, berpacaran seperti biasa, bermain basket dengan teman-teman seperti biasa. Di luar ucapan duka cita yang terus mengalir dari orang-orang yang baru pertama bertemu dengan saya setelah Mami dikremasi, hidup saya benar-benar sudah kembali seperti semula. Tentunya ada beberapa keadaan yang menohok begitu keras ketika saya kembali diingatkan realita bahwa beliau sudah tiada.
Misalnya, saya pernah menangis begitu keras di bandara, karena teringat rutinitas kami setiap kali saya akan terbang ke luar kota.
“Mam, aku sudah sampai bandara ya”
“Oke, hati hati sukses yah”
“Oke, Mam thank you”
Saking terbiasanya, kegiatan mengirim pesan itu seperti sudah menjadi sebuah bagian dari proses check-in bandara buat saya. Tapi pagi itu, saya sadar, sekalipun saya kirim pesan yang sama, kali ini tidak aka nada yang membalas dari sebelah sana. Di pojok sebuah ruang tunggu, saya menangis sesenggukan hingga beberapa belas menit.
Kembali ke keadaan normal dari sebuah kehilangan bukanlah sebuah hasil seperti saklar lampu, yang bisa dinyalakan atau dimatikan dengan sebuah klik atau pencetan, melainkan sebuah proses tanpa henti yang panjang. Ketika saya menulis artikel ini, sudah hampir 18 bulan dari kepulangan Mami, tetapi beberapa hal atau lokasi tertentu masih menjadi sebuah pelatuk pemicu bagi saya untuk kembali bersedih atau merasakan kesesakan yang mencekat. Hal itu yang membuat saya mencari cara untuk meminimalisir rasa sakit tersebut, dan sejauh ini saya memilih satu cara: immortalizing her, atau mengabadikannya.
Ya, yang saya lakukan untuk membiasakan hidup tanpa beliau adalah dengan “membiasakan hidup dengan beliau”. Saya menceritakan kembali hal-hal yang saya sukai dan rindukan dari Mami, saya memasak (dan bahkan menjual) makanan yang dibuat berdasarkan resep beliau, saya menjadikan beliau bagian dari beberapa usaha yang saya lakukan.
Di antaranya, saya mengabadikan nama beliau di tim konsultan kreatif saya: Riuh Renjana Creative, meskipun secara “subtle”, ya. Pemilihan nama Renjana, selain memiliki arti "passion", juga adalah “a subtle nod to her name”. Mami juga bisa dilihat di stiker yang menghiasi tempat usaha dim sum saya, bersama dengan orang-orang terpenting lainnya dalam hidup saya. Sebagai tambahan, dua lagu sudah saya ciptakan untuk beliau, yang sayangnya tidak sempat beliau lihat dan dengar. Bahkan, saat ini saya sedang menulis sebuah buku mengenai perjalanan saya selama berkarir, dan chapter prolog dari buku tersebut hanyalah berisi percakapan saya dengan beliau di sebuah mal di Jakarta Selatan, sebuah percakapan yang memulai seluruh perjalanan saya.
Kehadiran beliau sudah menemani 30 tahun pertama hidup saya, dan saya ingin kenangan beliau menemani sisanya. Karena salah satu hal yang saya amini dan imani adalah bagaimana setiap manusia akan meninggal dua kali: kematian pertama adalah saat napas terakhir dihembuskannya, dan kematian kedua adalah saat cerita terakhir tentangnya diceritakan oleh orang lain.
Saya melihat “kematian pertama” Mami secara langsung dengan mata kepala saya sendiri, dan cara saya bertahan dari kesedihan tersebut adalah memastikan sebisa mungkin bagaimana “kematian kedua” beliau tidak akan terjadi di saat saya masih bernapas. And to be honest, it gave me a sense of purpose. Beberapa orang terdekat, termasuk pacar saya sendiri, sering mengatakan bahwa saya mirip sekali dengan beliau, bukan hanya dari fisik, tetapi juga nilai dan cara pandang akan kehidupan. Selama saya bertahan dan terus hidup dengan nilai-nilai tersebut, I will keep her legacy alive.
Kehilangan memang tidak pernah akan menjadi hal yang mudah, akan tetapi cara kita menyikapinya yang akan menciptakan perbedaan. We can never change the wind, but we can always set the sail.
Kehilangan memang tidak pernah akan menjadi hal yang mudah, akan tetapi cara kita menyikapinya yang akan menciptakan perbedaan. We can never change the wind, but we can always set the sail.