Setiap orang akan punya ceritanya sendiri ketika berproses untuk mulai mencintai diri, begitu juga dengan aku. Berdasarkan pengalamanku, salah satu pembelajaran paling berharga yang aku dapatkan untuk bisa mulai mencintai diri dimulai dengan memberanikan hati untuk menerima cinta dari orang lain. Aku atau juga beberapa di antara teman-teman yang sedang membaca artikel saat ini, mungkin pernah merasa ragu apakah diri kita pantas mendapatkan cinta dari orang lain. Keraguan kecil di dalam hati yang mengatakan bahwa diri ini tidak sempurna, kadang membuat sebagian orang enggan membuka diri dan belajar untuk menerima cinta.
Menurutku cinta akan diri sendiri adalah sebuah perjalanan yang rumit dan banyak jalur. Aku belajar banyak tentang bagaimana cara mencintai diri sendiri berdasarkan bentuk kasih yang orang lain berikan padaku. Tahapan ketika seseorang merasa sulit untuk dicintai, kemudian ia perlahan mulai menghargai diri dan menerima cinta dari orang lain, hingga akhirnya bisa betul-betul mencintai diri adalah sebuah proses yang amat panjang dan penuh dengan hal-hal tidak terduga.
Aku sendiri mendefinisikan diriku sebagai seseorang yang suka berada di tempat di mana aku bisa memegang kendali akan situasi. Sejujurnya, ini bukan hal yang patut aku banggakan juga, karena akan selalu ada situasi yang pada akhirnya tidak bisa aku kendalikan. Salah satu caraku untuk menerima perjalanan hidup yang tidak bisa aku kontrol adalah dengan menurunkan ekspektasiku. Ada beberapa hal yang memang harus aku percayakan kepada Yang Di Atas. Aku percaya bahwa apapun yang terjadi adalah takdir terbaik yang sudah disuratkan untuk diriku. Tapi ini adalah sesuatu yang mudah untuk diucapkan tapi masih sangat-sangat sulit untuk diimplementasikan.
Salah satu contoh kejadian yang tidak bisa aku kendalikan adalah ketika akhirnya aku mendapatkan sebuah panggilan dari teman-teman di media sosial, aku dipanggil “ibu peri”. Dulu aku sempat kesulitan menerima panggilan “ibu peri” yang teman-teman berikan padaku. Aku selalu merasa malu tiap kali aku mendengar panggilan tersebut. Seolah ada bagian yang tak terlihat di dalam diriku, sebuah rahasia besar yang kalau suatu hari kelak diketahui oleh orang lain, maka mereka akan membenciku sepenuhnya.
Kemudian, aku pelan-pelan belajar menerima bahwa itu adalah hal yang sangat manusiawi. Bahwa tidak semua hal dari diri kita bisa dilihat oleh orang lain, apalagi hanya melalui media sosial. Sedikit demi sedikit aku mulai menerima baik-buruk yang ada di diriku. Meski hingga kini aku masih belum bisa menerima panggilan ibu peri tersebut, sekarang aku tidak lagi merasa malu bahwa aku punya keburukan diri dalam diri, aku bukan manusia sempurna. Aku perlahan melepaskan idealisme di dalam kepala bahwa aku harus sepenuhnya sempurna dan menjadi sosok “ibu peri” yang selama ini menjadi panggilanku.
Pelajaran serta perjalanan tentang menerima dan mencintai diri kemudian aku tuangkan dalam lagu “Tawa”. Aku menceritakan bagaimana aku belajar mencintai diri berdasarkan cinta yang diberikan oleh orang-orang sekitarku selama ini. Mungkin kata-katanya panjang, sebagian mungkin ingin menyederhanakannya menjadi self love, tapi aku tidak ingin proses ini dilupakan. Bagiku, untuk seseorang bisa mencintai dirinya sendiri akan selalu melalui sebuah proses panjang yang penuh dengan pembelajaran, dan perjalananku diisi dengan belajar menerima cinta dari orang lain. “Tawa” adalah lagu tentang cinta kepada diri sendiri melalui cinta yang orang lain berikan padaku. Semoga pada akhirnya kita bisa mulai mencintai diri dengan segala keunikan atau bahkan kegilaan yang kita miliki di dalam diri.