Mungkin saat ini sudah mulai terasa klise, kalau masa-masa pandemi menjadi salah satu momen penting bagi banyak orang. Terasa klise karena kita adalah makhluk yang cenderung mudah lupa atau bergegas melewatkan dan melupakan hal yang tidak nyaman sudah menjadi metode bertahan, “anggap saja mimpi buruk yang sudah berakhir.” Yang jelas di masa itu entah berapa banyak orang terpaksa duduk dan menghabiskan sebagian besar waktu yang ia punya dengan dirinya sendiri.
Bagi sebagian orang, mungkin pengalaman ini bukanlah momen yang menyenangkan untuk dilalui. Di rentang tahun 2020-2022, banyak sekali waktu yang mau tidak mau aku gunakan untuk refleksi diri. Buatku, di tahun-tahun ini konsekuensi dari hal-hal yang telah aku lakukan di tahun-tahun sebelumnya juga serempak menghampiriku.
Dari waktu yang aku lalui menghadapi diriku dan konsekuensi dari rangkaian keputusanku sebelumnya, aku tiba pada kesadaran bahwa aku adalah seorang people pleaser. Tanpa sadar aku sibuk menghabiskan banyak energi dan waktu untuk memenuhi ekspektasi orang di sekitarku, aku terlalu takut mengecewakan orang lain, seakan-akan aku bertanggung jawab terhadap semua emosi yang orang lain miliki. Sehingga aku berusaha keras untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya masih aku pertanyakan. Ironisnya, sikap ini justru membuat aku mengecewakan lebih banyak orang dan mengecewakan orang yang paling penting di hidupku, diriku sendiri. Aku kira aku hanya akan diterima kalau aku memenuhi keinginan orang lain, aku luput dengan fakta bahwa relasi yang sehat adalah kedekatan yang menerima perbedaan dan perubahan.
Beberapa hal dari proses tersebut aku eksplorasi menjadi materi bukuku yang baru saja rilis, “In The Middle of Everything”. Buku fiksi yang merupakan kumpulan cerita pendek, puisi naratif, dan gambar yang berangkat dari judul sekaligus menjadi payung tema. Intensi dari keberadaan buku ini adalah untuk babak penutup dari versi diri atau kehidupan yang sudah tidak relevan bagiku dan semoga, bagi yang membacanya. Versi diri yang sudah tidak ingin merasa terjepit di antara hal-hal, terlalu sibuk berusaha mendapatkan validasi atau memenuhi ekspektasi orang lain tanpa pernah mencari tahu nilai-nilai dan tujuan pribadi. Because we can give ourselves the closure we need, dimulai dari keputusan untuk mengakhirinya.
Tentu prosesnya tidak akan instan, ada banyak tahapan yang masih perlu aku lalui untuk menjadi pribadi yang memiliki kesadaran untuk tumbuh. Tidak ada seorang pun yang harus menetap dengan versi dirinya yang sudah tidak terasa sesuai. Aku berharap buku ini bisa menjadi penanda proses untuk membuka babak baru bagiku. Karena perjalanan menemukan dan menerima diri tidak semudah kutipan yang biasa kita baca dan bookmarked di sosial media, prosesnya tidak berlangsung linear dengan happy ending seperti yang kita tonton di film atau baca di novel. Akan terus mengalami fase naik turun, fluktuatif di dalam jalur pilihan kita, babak demi babak yang selalu memudar, bergulir, dan berubah.
Ada banyak tahapan yang masih perlu aku lalui untuk menjadi pribadi yang memiliki kesadaran untuk tumbuh. Tidak ada seorang pun yang harus menetap dengan versi dirinya yang sudah tidak terasa sesuai.
Diri kita yang saat ini adalah hasil dari proses panjang menjalani babak yang dimulai sedari kecil. Fakta bahwa seseorang tumbuh menjadi people pleaser tentu tidak datang dari ruang hampa, bisa berawal dari pengalaman masa kecil, bagaimana cara seseorang dibesarkan, relasi yang dilewati, dan kejadian-kejadian yang dialami. Sebagai anak perempuan dan cucu pertama dari keluarga dengan kultur yang cukup konservatif, orang tua menjadi titik pusat dari keluarga dan suara anak otomatis menjadi lebih kecil, kesadaran ini bukan berasal dari tendensi menyalahkan pihak di luar diri tapi berangkat dari upaya mengurai dan menerima keadaan seapa adanya tanpa denial.
Sama halnya dengan DNA yang diwariskan, tradisi sebuah keluarga adalah warisan dari generasi ke generasi dan sangat dipengaruhi dengan latar sosial. Realitanya, tradisi tersebut berkontribusi atas seseorang tumbuh menjadi sosok dewasa yang seperti apa, termasuk menjadi people pleaser sebab di tengah kultur konservatif menjaga suasana damai lebih penting daripada keberanian menyatakan sikap pribadi.
Menjadi anak perempuan pertama sedikit banyak memberiku tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi dari lingkungan domestik dan sosial. Bagaimana menjadi seseorang yang mampu berperan ganda dan memiliki pencapaian agar layak menjadi contoh. Prima di ranah domestik, sekolah, karir, pertemanan, menjaga kesehatan dan penampilan. Hal-hal ini telah dinormalisasi sekian lama, memang ada orang-orang yang memiliki kapasitas besar untuk memenuhi kriteria tersebut dan tetap bisa mempertahankan keseimbangan dan kesehatan dirinya. Namun bagiku pribadi, hal-hal tersebut membuatku merasa terjepit di tengah-tengah realitas yang diinginkan orang lain dan yang aku inginkan. Dan aku rasa, aku tidak sendirian.
Menjadi anak perempuan pertama sedikit banyak memberiku tanggung jawab untuk memenuhi ekspektasi dari lingkungan domestik dan sosial. Bagaimana menjadi seseorang yang mampu berperan ganda dan memiliki pencapaian agar layak menjadi contoh. Dan aku rasa, aku tidak sendirian.
Aku dan mungkin saja, anak-anak lain dari generasiku di masa kecil hampir tidak penah mendengar orang dewasa mengarahkan kita untuk memahami dan menerima diri kita sendiri. Padahal pengetahuan tersebut ternyata tidak didapatkan otomatis sejak lahir. Sementara sistem pendidikan di sekolah juga cenderung membentuk kita menjadi serupa, kita dibimbing untuk memiliki kemampuan dan kepandaian yang sama, mengasah kemampuan dan karakter individual tidak menjadi prioritas untuk dikembangkan. Hal ini bukan sepenuhnya kesalahan generasi yang lebih dulu datang, karena generasi sebelumnya juga telah membuka banyak jalan dan membangun jembatan untuk generasi yang lebih muda. Yang terjadi adalah, pengetahuan dan kemanusiaan memang akan terus bergeser dan berkembang. Memiliki hati dan pikiran terbuka untuk mencerna serta menyesuaikan diri dengan perubahan yang terus terjadi sangatlah perlu.
Sama seperti semua pengetahuan yang ada di bumi, pengetahuan akan diri sendiri juga mesti dipelajari. Pengetahuan tersebut mesti dimulai dengan keputusan ingin belajar. Mengumpulkan materi, mencatat, mengerjakan pekerjaan rumah, trial and error, dan melalui ujian. Metode persisnya bagaimana? Sayangnya tidak ada jawaban pasti akan hal ini. Kita sendiri yang harus mencari tahu cara terbaik untuk bisa lebih memahami dan mengenali diri kita. Tanpa kesadaran untuk memahami dan mengenali diri, kita hanya akan terombang-ambing di tengah hidup.
Sama seperti semua pengetahuan yang ada di bumi, pengetahuan akan diri sendiri juga mesti dipelajari. Pengetahuan tersebut mesti dimulai dengan keputusan ingin belajar. Mengumpulkan materi, mencatat, mengerjakan pekerjaan rumah, trial and error, dan melalui ujian.
Kalau prioritas hidupku disederhanakan, tujuanku saat ini adalah radical acceptance. Bagaimana aku bisa mengenali dan menerima aspek-aspek yang ada dalam diriku. Menerima masa lalu, masa kini, dan ketidakpastian masa depan dengan lapang. Memahami apa saja kebutuhan, kapasitas, batasan, kekurangan, dan kelebihan yang aku miliki. Memahami diri juga tidak lantas membuat hidup menjadi mudah dan tanpa masalah, karena hidup dirancang untuk penuh dinamika. Sedih-bahagia, naik-turun, marah-gembira, namun dengan pemahaman yang lebih baik pada diri sendiri, kita akan lebih mampu meregulasi segala kejadian berikut gejolak emosi yang datang.
Selain buku “In The Middle of Everything”, aku juga melakukan eksplorasi visual pada tema yang sama melalui karya-karya yang tengah dipamerkan di dia.lo.gue, Jakarta. Pameran ini bisa kamu kunjungi sampai tanggal 11 Juni 2023. Aku berharap teman-teman yang datang dapat menemukan kesenangan dan terpantik untuk ikut menemukan metode untuk akrab dengan diri sendiri di tengah hal-hal. Tidak harus dengan membuat karya, karena peran dan kontribusi semua orang berbeda-beda. Mulai berproses menemukan aktivitas yang memproduksi sesuatu alih-alih mengonsumsi akan memberimu ruang untuk akrab dan berdialog dengan diri sendiri, bisa dengan aktivitas berkebun, menjahit, menggambar, menulis dan masih banyak lagi.
Di tengah hal-hal temukan titik senangmu, tempat kamu bisa pulang dengan aman dan nyaman di situasi apapun.