Terkadang kita sebagai manusia seringkali merasa gengsi untuk mengakui bahwa pada situasi tertentu kita bisa saja menjadi lemah. Lalu kita akan pura-pura kuat, meyakinkan diri untuk baik-baik saja padahal tidak. “Ayo terus, ayo bisa”, ucapan ini seakan-akan menjadi mantra demi penyangkalan diri. Kita memang harus mengenal diri sendiri. Tahu kapan tubuh atau pikiran sedang merasa lelah. Tahu kapan harus bernapas, menghirup udara segar dan menghembuskan tekanan yang sedang dirasakan.
Merasa lelah itu manusiawi. Merasa lelah itu normal. Ibarat mesin yang bisa tiba-tiba rusak karena terlalu sering dipakai, tubuh dan pikiran kita juga bisa mendadak berada di titik terendah karena terlalu banyak digunakan bekerja. Kala tubuh dan pikiran lelah, kita memang harus istirahat dan ini tidak apa-apa. Nanti kalau sudah pasti ada motivasi lagi untuk meneruskan atau bahkan menemukan perjuangan baru. Justru perjuangan sulit dilanjutkan ketika kita memaksakan diri, pura-pura kuat. Bisa-bisa saja sih rampung, hanya mungkin tidak akan maksimal.
Namun harus diingat, waktu beristirahat setiap orang itu berbeda. Kita tidak bisa menyamakan tenggat waktu antara diri sendiri dan orang lain. Tergantung situasi apa yang sedang dialami. Jadi saat kita sedang menjadi support system (sistem pendukung) seseorang, jangan sampai kita memburunya dengan pertanyaan “jadi bagaimana perjuangan kemarin sudah mau dilanjutkan belum?” Jangan, jangan. Yang ada hanya akan mengganggu waktu istirahatnya dan memberikan tekanan. Biarkan saja dia mengetahui kapan waktu yang tepat untuknya memulai kembali. Kita cukup menjadi pendamping saja, mengalihkan perhatiannya dari hal yang sedang ditunda. Berikan diskusi di luar dari masalah yang sedang dihadapi. Sesuatu yang menggembirakan.
Terkadang kita manusia seringkali merasa gengsi untuk mengakui bahwa pada situasi tertentu kita bisa saja menjadi lemah.
Untuk menemukan semangat baru demi melanjutkan perjalanan juga membutuhkan waktu yang tak bisa diukur. Pada prosesnya kita bisa memberikan dialog-dialog ringan seperti apakah kita mau menemukan alternatif untuk mengatasi atau benar-benar menyerah. Tapi biasanya jika memang hal tersebut sesuatu yang menjadi passion biasanya kita akan cenderung mencari jalan lain dan tidak sepenuhnya menyerah. Semasa beristirahat kita bisa melakukan berbagai hal untuk merasa lebih baik. Bertemu dengan para “pendukung” pribadi misalnya. Atau justru dari diri sendiri. Mengucap syukur pun dapat menjadi afirmasi nan jitu. Contohnya dengan mengatakan, “Wah ternyata saya sudah sampai sejauh ini. Syukurlah sudah sampai dapat banyak hal baik. Syukurlah sudah banyak perubahan.” Berterimakasih pada tubuh sendiri dengan berkata: “Terima kasih ya sudah menemani bekerja” pun dirasa dapat membantu menemukan semangat kembali. Berikan dialog positif dan apresiasi pada diri ketika masa istirahat ini adalah vitamin penambah energi.
Tapi tentu saja cara menyemangati diri berbeda dengan orang lain. Pada saat karya saya dapat menolong orang lain, saya dapatkan semangat itu. Lagu “Sampai Nanti”, misalnya, mendorong banyak orang untuk bercerita pada saya tentang bagaimana lagu tersebut menemani mereka dalam kesedihan dan membangkitkan semangat. Hal ini tidak dapat dibeli dengan apapun. Sungguh semangat baru untuk melanjutkan perjalanan saya. Apalagi ketika lagu “Lelah” diciptakan. Proses pembuatan lagu ini menjadi anugerah untuk saya mendapatkan sudut pandang baru akan suatu masalah.
Merasa lelah itu manusiawi dan normal. Ibarat mesin yang bisa tiba-tiba rusak karena terlalu sering dipakai, tubuh dan pikiran juga bisa mendadak berada di titik terendah karena terlalu banyak digunakan bekerja.
Lirik pada lagu ini berasal dari banyaknya pendukung saya di media sosial yang mengirimkan kisah percintaan dan kehidupan mereka. Dari seluruh pengirim, terdapat tiga orang yang akhirnya memberikan inspirasi. Digabungkanlah ketiga cerita menbentuk bait-bait di mana tersimpan benang merah di dalamnya menguak hubungan yang tidak bisa dipertahankan, yang melelahkan dan tak bisa dilanjutkan. Dari sana saya mendapatkan buah pikiran baru soal kesedihan. Bahwa setiap orang pasti pernah sedih, semua orang pasti pernah berada dalam masalah dan kita tidak bisa menghakimi atau menyamakan kesedihan tersebut.
Dari pengalaman berinteraksi dengan mereka yang membagikan cerita, saya merasa terharu. Bayangkan betapa terhormat telah dipercaya oleh banyak orang untuk mendapatkan kisah mereka padahal kami adalah orang asing untuk satu sama lain. Tetapi mereka berani untuk berbagi itu pada saya. Dari sini pun saya memahami pengertian bahagia yang sebenarnya. Merasa cukup, tidak ada yang berlebih justru membuat hidup menjadi lebih lengkap, lebih puas. Inilah juga bagian terpenting dalam melewati masa-masa “melepas lelah”.
Merasa cukup, tidak ada yang berlebih justru membuat hidup menjadi lebih lengkap, lebih puas.