Saat ini, orang awam menggunakan istilah ‘arsitek perempuan’ untuk mendeskripsikan pekerjaan saya. Saya justru tidak sering mendengar istilah dokter perempuan, atau insinyur perempuan. Istilah ini membuat saya tergelitik tidak nyaman. Saat kita bicara gender, biasanya kita berbicara tentang perempuan. Sedangkan laki-laki, mereka adalah kaum genderless. Profesi arsitek dianggap memiliki gender. Saya juga tidak pernah mendengar orang menyebut arsitek laki-laki. Atau karena jarangnya perempuan terjun ke bidang ini sehingga masih ada pandangan masyarakat bahwa perempuan yang menekuni profesi ini bukan hal yang lumrah. Apakah benar profesi ini tidak lumrah bagi perempuan?
Profesi arsitek dianggap memiliki gender. Saya tidak pernah mendengar orang menyebut arsitek laki-laki.
Maka ijinkan saya menilik kembali perjalanan saya menjadi arsitek. Saya tidak langsung terjun ke dunia arsitektur. Saat itu saya baru saja lulus dari universitas dan sedang mencari apakah dunia arsitektur adalah karir yang saya akan pilih untuk seumur hidup saya. Saya terus mencari. Karena tak kunjung menemukan ‘klik’-nya, saya mengisi masa pencarian itu dengan bekerja di sebuah majalah desain dan interior yang cenderung membahas gaya hidup. Saya bertemu banyak sekali tokoh: dari arsitek, desainer interior, bahkan pelaku seni. Ada hal yang membuat hati saya bergejolak. Dari sekian banyak tokoh yang saya temui, sangat minim perempuan yang berkecimpung menjadi arsitek. Kemana mereka semua? Dari sekian banyak perempuan yang lulus jurusan arsitektur – hanya bisa dihitung dengan jari yang mampu membangun biro konsultan sendiri, dan tidak semua karya mereka menyentuh hati saya.
Kegelisahan ini membuat saya memutuskan untuk meninggalkan dunia jurnalistik dan fokus meniti karir sebagai arsitek. Keputusan itu bukan sesuatu yang mudah. Untuk menemukan jati diri saya sebagai arsitek, saya harus terjun dengan serius. Saat itu usia saya 23 tahun. Saya mungkin menemukan jati diri itu, mungkin juga tidak. Mengapa saya harus berpikir matang? Karena dalam perjalannya, arsitektur adalah dunia yang ‘maskulin’. Sebagai seorang kreatif, mencipta karya dan mewujudkannya membutuhkan skill set seperti kemampuan mempertahankan argumen, menganalisa permasalahan dari segala sudut pandang dan mengatasinya dengan desain. Ini adalah bagian naluri maskulin. Sebagai perempuan, saya tidak terbiasa menunjukkan bahwa saya adalah seseorang yang argumentatif, dominan, dan logis di dalam lingkungan sosial. Padahal, skill inilah yang menjadikan seorang arsitek didengarkan. Pengalaman di lapangan membuat saya secara perlahan beradaptasi untuk menunjukkan kemampuan tersebut. Saya mulai menunjukkan sisi maskulin saya di dalam pekerjaan. Lapangan menempa saya. Saya tidak bisa lagi diam saat tanggung jawab yang saya emban besar. Saya tidak bisa menyalahkan orang lain saat terjadi error dalam pekerjaan. Semua saya pelajari. Saya dipaksa untuk dewasa dalam bersikap. Dalam prosesnya, tidak jarang saya menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari kolega saya. Senioritas, gaji yang lebih rendah dari arsitek laki-laki yang setara dengan saya, kontribusi saya yang diklaim oleh arsitek lain, atau justru tidak dianggap dan dihargai. Yang saya pelajari kemudian, bahwa bagaimanapun cara untuk menunjukkan kemampuan saya di dalam lingkungan yang dominan maskulin ini, saya tidak dapat mengontrol pandangan mereka tentang saya. Identitas saya secara sadar maupun tidak telah dibentuk oleh kultur.
Sebagai seorang kreatif, mencipta karya dan mewujudkannya membutuhkan skill set seperti kemampuan mempertahankan argumen, menganalisa permasalahan dari segala sudut pandang dan mengatasinya dengan desain. Ini adalah bagian naluri maskulin.
Saya pun mengamati, beberapa orang menganggap karya saya ‘feminin’. Apakah karena dihasilkan oleh arsitek perempuan? Lalu apakah orang akan memuji maskulinitas karya jika dihasilkan oleh arsitek laki-laki? Karya yang feminin terdengar sederhana. Bayangkan jika seorang arsitek laki-laki tanpa diduga mampu menghasilkan karya yang feminin? Bagaimana orang akan menilainya? Dan bagaimana jika saya mampu menghasilkan karya maskulin? Apakah orang tidak akan mengira karya tersebut bisa dihasilkan oleh perempuan? Saya menantikan di satu masa, karya seorang arsitek akan dinilai dalam tolak ukur yang setara.
Sebagai perempuan pun dihadapkan pada dilema apakah mampu tetap menjadi dirinya sendiri di saat lingkungan sekitar menuntut mereka untuk bertindak dan bertata laku lebih maskulin? Masyarakat masih menilai, kompetensi seorang arsitek juga terdapat pada penampilan. Dalam proses menemukan jati diri, saya bangga menjadi perempuan yang dapat berkecimpung di dunia yang maskulin. Saya tidak lagi merasa perlu approval dengan sengaja berpenampilan maskulin agar dapat lebih dihargai. Terlepas dari pakaian yang dikenakan, arsitek memiliki suara penting dalam proyek. Saya tetap ingin berpenampilan feminin saat datang ke proyek maupun meeting – dan tetap fokus pada pekerjaan. Kita tidak perlu meninggalkan jati diri kita agar bisa diterima.
Menjadi arsitek membutuhkan kerja keras, kedisiplinan dan fokus. Lingkungan pekerjaan yang kompetitif, memiliki waktu untuk menjawab permasalahan di lapangan dengan cepat dan tepat serta mengembangkan bisnis menjadikan profesi ini penuh tantangan. Saya paham jika tidak banyak perempuan bersedia melewatinya. Itulah mungkin sebabnya, saat perempuan lebih berani maju untuk menunjukkan keahliannya, istilah ‘arsitek perempuan’ muncul ke permukaan sebagai penanda era baru. Era di mana perempuan tidak lagi berada di balik layar. Namun, jikalau saya boleh memberikan masukan sebagai praktisi, walaupun perempuan dalam arsitektur masih dianggap tidak lumrah, mari kita normalisasi profesi ini sebagai profesi tanpa gender. Bahwa siapapun bisa menjadi arsitek. Tempatkan kami di dalam tolak ukur yang sama. Nilai kami berdasarkan kemampuan dan karya. Itu saja.
Saya menantikan di satu masa, karya seorang arsitek akan dinilai dalam tolak ukur yang setara