Musik bagiku adalah sesuatu yang sulit didefinisikan. Terutama bila orang bertanya mengenai musikku. Ia sulit untuk dikotak-kotakkan karena senantiasa berubah. Layaknya manusia – diriku, musikku pun ikut berubah seiring berjalannya waktu melalui proses-proses pendewasaan.
Awalnya, musik bagiku hanyalah bunyi-bunyian. Sesuatu yang belum kumaknai dengan begitu seksama. Hingga pada akhirnya aku mengikuti paduan suara pimpinan (alm.) Elfa Secioria sampai mengantarkan aku ke Jepang untuk berkompetisi. Di sanalah aku seperti digembleng habis-habisan secara teknis. Mempelajari musik laksana matematika; membaca not balok dari buku partitur, mencari nada sendiri, dan lain sebagainya. Semenjak itu wawasanku akan musik mulai terbuka luas. Aku pun melihat musik sebagai dunia lain – dunia yang berbeda dari apa yang aku ketahui sebelumnya.
Fase baru dalam kehidupan bermusikku kemudian dimulai lagi saat duduk di bangku kelas tiga SMA aku mengikuti audisi untuk sebuah ajang kompetisi reality show yang tengah naik daun di dunia. Saat kemudian berhasil lolos ke live show dan menyisihkan ribuan pesaing, semuanya tampak sureal bagiku yang masih 17 tahun. Dengan masa karantina yang tidak memperbolehkanku untuk bertemu keluarga dan teman-teman, aku kerap ingin segera untuk pulang dan selesai berkompetisi. Namun aku mencoba mengingat kembali, ini adalah sebuah berkat dari Tuhan. Ia menginginkan aku untuk menjalani ini semua dan aku harus berterimakasih pada-Nya.
Skena yang kumasuki saat itu sudah lain dari sebelumnya. Dunia baru bernama showbiz. Dalam fase itu, musik memiliki makna yang berbeda lagi bagiku. Saat aku diharuskan menyanyi lagu-lagu milik orang lain, tampil dengan gaya yang bukan ‘aku’ sekali – aku tidak menjadi diri sendiri. Musik sedikit demi sedikit agak kehilangan maknanya. Puncaknya, di suatu ketika setelah selesai bernyanyi aku terduduk di belakang panggung. Yang terpikir dalam benakku hanya, “Sebenarnya, ngapain aku ada di sini?” Menghibur banyak orang namun diriku sendiri tidak terasa terhibur.
Aku pun merasa kosong. Hampa.
Beruntung aku kemudian dapat memulai babak baru kehidupan bermusik saat diajak Indra Lesmana untuk bergabung dalam album kompilasi yang ia susun. Di fase itu aku justru banyak belajar lagi mengenai musik. Aku mendalaminya sedalam mungkin; mulai dari belajar apa yang dimaksud dengan musik, sejarah musik, perkembangan musik dari era ke era, dan banyak lagi. Seakan aku memulai lagi segalanya dari nol dan mencoba mengenali siapa Monita Tahalea dari sudut pandang bermusik.
Menarik bagiku melihat sekawanan musisi jazz yang saat itu selalu berkumpul di Hari Jumat untuk melakukan jam session. Tanpa dandanan yang glamor seperti ‘artis’, tanpa pretensi apa pun, dan penuh kebebasan. Bayangkan saja mereka yang benar-benar artist – dalam artian sebagai seniman, datang dengan sandal kemudian langsung bermain musik bersama-sama, berdialog lewat musik dengan rekan sesama seniman. Luar biasa hebatnya. Dari sana mataku mulai terbuka lebar bahwa inilah musik yang kucari.
Sejak itu aku mencoba memberanikan diri untuk menulis musikku sendiri. Menuturkan kata dan menyusunnya dalam melodi. Menyampaikan pesan lewat sebuah lagu. Aku baru tersadar bahwa yang selama ini aku lakukan dengan menyanyikan lagu-lagu orang berarti aku tidak menyampaikan sebuah pesan yang keluar dari hatiku sendiri.
Musik kemudian menjadi sangat personal bagiku. Semua yang kutulis adalah curahan segala waktu, pikiran, hati, jiwa, raga, kesusahan, dan kesenangan. Semuanya ada dalam musikku. Aku bersyukur Tuhan akhirnya membimbingku menuju jalan ini untukku menemukan cara menyampaikan sesuatu lewat musik.
Terlalu dangkal jika dibilang bahwa musik hanyalah untuk menyampaikan sebuah perasaan. Dengan berbicara ke orang lain pun sesungguhnya kita sudah bisa menyampaikan perasaan. Musik bagiku lebih dalam dari itu. Musik tahun era lampau sampai detik ini masih sering kita dengarkan dan menjadi timeless. Tahu mengapa? Karena cerita yang disampaikan bukan sekadar perasaan. Billie Holiday bernyanyi mengenai diskriminasi, sementara musisi-musisi di era flower generation ‘berbicara’ mengenai isu-isu politik lewat musiknya. Semua bicara mengenai isu di eranya masing-masing. Musik kemudian tidak sedangkal “aku-cinta-kamu-tapi-kamu-cinta-dia” saja. Musik mencatat perjalanan sejarah.
***
Ada dua hal yang universal bisa menyentuh hati semua orang – musik dan olahraga. Jika ada yang bermain musik di sekitar kita namun tidak terlihat, dari tempat kita berada saja kita sudah bisa merasakan energinya. Musik adalah gelombang yang menembus segala batas.
Musik untukku adalah ilmu paling pasti. Dalam artian, di saat orang mendengarkan sebuah musik pilihannya hanya antara enak atau tidak enak, suka atau tidak suka, menangkap pesannya atau tidak. Jadi musik adalah sesuatu yang personal, bukan sesuatu untuk dikompetisikan karena tidak bisa dibanding-bandingkan. Dunia ini seperti punya standarnya sendiri – kita terlalu senang membuat peringkat untuk segala sesuatunya.
Pencapaian tertinggi bagiku bukanlah limpahan penghargaan. Bukanlah pula ribuan orang yang bersorak-sorai ikut bernyanyi di setiap penampilan. Yang aku perlukan hanya satu orang yang bilang kalau musikku memberi arti dalam hidupnya.