Tidak ada seorang pun di dunia ini yang diciptakan untuk menjadi orang jahat. Pun seorang teroris. Tidak ada yang terlahir dibalut dengan bendera ISIS. Namun berkembangnya manusia identitas kita bisa berlipat ganda. Layaknya perubahan wujud zat air. Air bersuhu normal bisa menjadi dingin jika dimasukkan ke dalam kulkas, bisa menjadi es ketika dimasukkan ke dalam pembeku. Bisa menjadi cair kembali ketika dipanaskan. Kemudian berubah menjadi gas yang berupa uap apabila direbus dengan suhu panas yang tinggi. Begitu seterusnya. Manusia bisa berubah karena lingkungan, situasi atau kondisi tertentu.
Tidak ada seorang pun di dunia ini yang diciptakan untuk menjadi orang jahat.
Seorang awam dapat menjadi teroris karena proses. Kebanyakan teroris yang ditangkap berasal dari keluarga baik-baik. Banyak dari mereka juga berasal dari kelas menengah dan memiliki tingkat intelegensi yang tinggi. Mereka pun terbukti sehat secara mental. Tidak ada patologi sosial sama sekali. Proses mereka menjadi teroris juga bukan proses cuci otak. Tidak mungkin seorang awam mendengarkan fatwa Osama Bin Laden lalu serta merta langsung menjadi teroris. Jika dapat digambarkan secara sederhana perubahan pemikiran mereka itu seperti proses penurunan berat badan. Bayangkan jika kita seseorang yang gemuk lalu selalu bergaul dengan orang-orang gemuk. Kita pasti akan merasa biasa saja. Tapi lalu saat masuk ke sebuah pusat kebugaran dia melihat bahwa ternyata gemuk itu harus dilawan sehingga dari gemuk dia ingin menurunkan berat badan karena terbentuk oleh lingkungannya. Jadi sebenarnya seseorang dapat berubah menjadi teroris karena salah pergaulan. Mereka biasanya masuk ke dalam pergaulan orang-orang yang menyepakati adanya perubahan dengan kekerasan.
Hanya saja mereka bisa menyetujui langkah kekerasan tersebut awalnya tetap dipicu dari keinginan akan perubahan dari diri sendiri. Biasanya sebelum bergabung mereka sudah memiliki pemikiran yang tidak stabil (unsettled mind) karena adanya permasalahan sosial yang sedang dihadapi. Mereka memiliki kegundahan sendiri akan hidup merasa hidup begitu-begitu saja dan menginginkan perubahan. Lalu ternyata mereka dipertemukan dengan orang yang memiliki pemikiran yang sama. Inilah pesona utama seseorang ingin bergabung dalam sindikat jaringan terorisme: pertemanan. Mereka merasa ada sekelompok yang “senasib”. Barulah setelah bergabung mereka menguatkan ideologi Islam itu dalam diri mereka. Tak heran kelompok jaringan terorisme pun adalah teman sepermainan, teman pengajian, bahkan saudara kandung.
Manusia bisa berubah karena lingkungan, situasi atau kondisi tertentu.
Pada akhirnya terbentuk pemikiran radikal yang menyebabkan munculnya ada terorisme karena adanya pemahaman politik di mana kelompok ini sepakat untuk membuat perubahan. Inilah juga yang disebut political violence. Artinya untuk mencapai tujuan politik tertentu dengan cara kekerasan. Ideologi para kelompok ini biasanya berpusat pada perubahan negara yang sekuler. Tidak mendukung sistem Pancasila yang dianggap tidak menjawab permasalahan-permasalahan mereka. Sehingga mereka ingin mencoba yang baru yaitu hukum Islam atau filafah. Menaruh narasi-narasi Islam pada sistem kenegaraan. Proses perubahannya pun radikal, tak segan menggunakan kekerasan. Orang-orang yang menghalangi keinginan mereka inilah yang diserang. Contohnya pada Bom Bali pertama. Kelompok terorisme menciptakan teror karena ingin menjatuhkan kebijakan Amerika di negara Islam. Berjalannya waktu, para teroris banyak tertangkap. Tapi kemudian justru target berikutnya adalah para polisi karena kelompok ini dinamis, terus melakukan evolusi pada visi misinya. Setiap kelompok pun memiliki cara dan ideologi yang berbeda-beda. Namun intinya mereka juga menyerap teologi kematian atau lebih dikenal dengan kata jihad. Mereka mempercayai bahwa kehidupan hari ini tidak lebih baik daripada kehidupan di alam baka nantinya.
Saya berada dalam jaringan tersebut dari umur 12-16 tahun. Ketika masuk ke dalam kelompok itu saya seakan-akan seperti panitia masuk surga. Percaya bahwa semua orang di luar kami akan masuk neraka. Kehidupan pun menjadi hitam-putih. Jika tidak sama dengan kami maka harus dimusuhi. Pada satu titik tertentu sebenarnya sangat melelahkan memiliki pemikiran dan perilaku yang demikian. Sehingga mulailah muncul keraguan akan kelompok dan ideologi yang dipercaya. Ini pun sejatinya terjadi pada para teroris. Pada titik tertentu mereka akan mempertanyakan kelompoknya. Ketika akhirnya memutuskan keluar, saya terdorong untuk membantu mantan teroris agar tidak hidup seperti saya dulu. Saya mencoba untuk membantu mereka memulai hidup baru. Kadang seseorang masuk ke dalam jaringan terorisme karena tidak mempunyai pilihan lain atau merasa tidak ada kelompok yang lebih baik dari yang mereka temui. Mereka hanya bergaul di dalam kelompok yang itu-itu saja. Sehingga yang saya ciptakan dalam pusat rehabilitasi ini adalah untuk membuka alternatif sebanyak-banyaknya. Memberikan jaringan sosial seluas-luasnya sehingga mereka bisa lebih banyak merayakan kemerdekaan.
Seperti yang saya ungkapkan sebelumnya, manusia itu memiliki banyak identitas. Berjalannya waktu ideologinya, perilakunya pasti bisa berubah seperti air. Dulu saya seorang “kiri” sekarang berubah. Semenjak menikah dan punya anak, pemikiran saya berubah lagi. Terus berubah. Meski perubahan hanya bisa terjadi dari dalam namun lingkungan juga berperan aktif dalam pembentukan perubahan tersebut. Seperti saya dulu. Untungnya dulu saya tidak hanya hidup dalam pesantren saja. Saya dapat kesempatan menjadi pemandu tur, dapat beasiswa jadi wartawan ke Inggris sehingga lingkungan saya berubah. Ini pula yang saya percaya dapat membantu para mantan teroris tidak kembali ke jaringan terorisme: mencoba memberikan kehidupan yang lebih menarik dari kelompok tersebut. Tidak menggunakan pendekatan ideologi tapi pendekatan sosial.
Meski perubahan hanya bisa terjadi dari dalam namun lingkungan juga berperan aktif dalam pembentukan perubahan tersebut.