Sulit memang menerima diri apa adanya jika kita belum bisa memahami benar diri ini. Pengaruh manusia lain di sekitar seringkali memicu keinginan untuk menjadi orang lain. Padahal tidak akan pernah bisa kita menjadi orang lain. Akhirnya mulailah muncul kegelisahan yang sering disebut-sebut sebagai insecurity. Kita mulai menyadari adanya kekurangan dalam diri yang kemudian menuntun kita membandingkan diri dengan orang lain. Padahal setiap orang lahir dan dibesarkan dengan pola hidup yang berbeda. Dibesarkan dalam lingkungan dan kesempatan yang berbeda. Wajar memang terkadang ada suara yang menghasut diri untuk melihat hidup orang lain lebih keren dari hidup kita. Membuat kita sering berkaca pada orang lain bukan pada diri sendiri. Tapi sampai kapan kita mau bertahan dalam insecurity yang dapat membuat kita tidak lagi cinta pada diri sendiri?
Sampai kapan kita mau bertahan dalam insecurity yang dapat membuat kita tidak lagi cinta pada diri sendiri?
Tentu saja untuk menyadari ada insecurity dalam diri harus ada pemicunya. Baru bisa diselesaikan setelah tahu ternyata ada masalah yang timbul dari kegelisahan tersebut. Ada rasa tidak nyaman dari perasaan insecure. Kalau aku merasakan adanya kegelisahan tersebut ketika muncul sebuah pertanyaan dalam benak, “Kenapa jadi seperti ini ya?” Lalu aku mulai menelaah apa yang menjadi kegelisahanku. Tidak bisa kalau cuma bilang, “Saya insecure,” tapi tidak tahu alasannya. Jika sudah ketemu tulislah apa saja kegelisahan itu, apa yang membuat tidak nyaman. Mengenali masalah itu seperti mengurai benang kusut. Apabila kita tidak pelan-pelan mencari ujung benang untuk diurai benangnya tidak akan lurus. Begitu juga dengan masalah insecurity kalau hanya fokus pada kekusutannya saja tidak akan tahu solusinya apa. Kalau tidak tahu nantinya perasaan tidak aman itu bisa menelan kita bulat-bulat dalam pikiran negatif.
Contohnya pada saat aku menulis naskah bersama suamiku, Ernest Prakasa. Sempat ada perasaan insecure karena suara-suara yang bilang, “Ya mungkin Meira aji mumpung saja tulis naskah karena istrinya Ernest.” Tapi aku menelusuri ke belakang, Ernest mengajak menulis naskah bersama sebab aku bisa menulis naskah. Inilah pikiran negatif dari insecurity yang membuat kita tidak berkembang dan membatasi diri. Supaya tidak terjerembab di dalamnya dan justru menyimpan perasaan tidak aman tersebut mengapa tidak dijadikan motivasi menjadi lebih baik? Semua hal yang negatif sebenarnya bisa jadi positif tergantung reaksi dan cara kita menyikapinya.
Mengenali masalah itu seperti mengurai benang kusut. Apabila kita tidak pelan-pelan mencari ujung benang untuk diurai benangnya tidak akan lurus.
Berdamai dengan diri sendiri juga hal yang tidak kalah penting untuk menghindari kemunculan insecurity. Makanya kita harus paham masalah apa yang telah lama tinggal dalam kehidupan —yang belum diselesaikan. Bisa jadi dari faktor keluarga atau orang tua yang memberikan banyak pengaruh pada karakter pribadi. Faktanya, trauma masa kecil bisa sangat membangun perasaan insecurity sampai kita sulit mencintai diri sendiri. Pada dasarnya keluarga seharusnya menjadi sebuah tempat yang aman di mana kita bisa diterima apa adanya tanpa penghakiman apapun. Sayangnya, kita tidak bisa punya keluarga sempurna. Tidak bisa selalu mendapat dukungan 100% dari mereka. Kadang secara tidak sadar terdapat kewajiban yang harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum diterima. Harus pintar dulu baru diperlakukan baik, harus menang dulu baru disayang papa dan mama. Sehingga secara tidak sadar pola pikir dan cara kita mengambil keputusan ketika dewasa mengacu pada perasaan tidak diterima kalau belum seperti standar yang ditentukan. Jadi kalau sudah menyadari adanya pengalaman tersebut, menerimanya dan berdamai dengan perasaan-perasaan “ditolak” kita akan lebih mudah untuk tidak menyakiti diri dengan mendorong diri sekuat tenaga menjadi orang lain. Berusaha keras memenuhi standar kehidupan orang lain. Inilah salah satu bentuk kita mencintai diri sendiri.
Hanya saja, belakangan konsep mencintai diri sering disalahartikan. Sebagian orang berpikir mencintai diri berarti mengutamakan dirinya sampai mengorbankan orang lain. Bukan itu. Mencintai diri sendiri bertujuan untuk memperhatikan diri sendiri agar bisa mengatur hidup bersama orang lain. Kita mengurus diri sendiri supaya tidak menyulitkan atau mengorbankan orang lain. Aku sebagai ibu menaruh prioritas utama untuk anak, suami, bahkan rumah. Memikirkan diri sendiri terakhir. Tetapi aku tahu kalau aku tidak memperhatikan dan merawat diri sendiri bahkan sampai sakit, yang ada nanti mereka pun berantakan. Kalau aku stres karena tidak memberikan waktu untuk diri sendiri mereka pun akan terkena imbasnya. Sehingga ketika aku ingin memenuhi kebutuhan pribadi aku mengatur agar kebutuhan yang lain juga tidak terlantar. Misalnya sesederhana ngopi setelah mengantar anak-anak ke sekolah. Itu sudah bentuk mencintai diriku sendiri. Ini caraku, belum tentu sama dengan orang lain. Setiap individu harus menemukan cara yang pas untuk mencintai dirinya sendiri dan tidak bisa instan. Harus terus digali hal apa yang bisa membuat diri puas dan bahagia untuk menyelesaikan kegelisahan-kegelisahan tadi.
Sebagian orang berpikir mencintai diri berarti mengutamakan dirinya sampai mengorbankan orang lain. Bukan itu.