Sedari bayi kita tidak sadar sebenarnya kita tumbuh menjadi seorang emotional eater. Seseorang yang makan atau minum karena ada pengaruh emosi yang sedang dirasakan. Coba saja ingat-ingat ketika orang tua memberikan permen atau kue saat kita menangis. Rasanya hampir semua anak diberikan makanan atau minuman supaya bisa merasa lebih baik. Sampai besar kebiasaan ini pun berlanjut dan sepertinya susah hilang sepenuhnya. Apalagi kita memang makhluk hidup yang diciptakan untuk memiliki emosi. Jadi kalau sedang mengalami perasaan tertentu seperti senang mendapat promosi kerja atau sedih karena baru putus kita seringkali mengalihkannya dengan makanan. Merasa makananlah jawaban untuk merasa lebih baik.
Di masa krisis ini tentu saja kebiasaan kita makan karena pengaruh emosi semakin sering. Perasaan stres menanyakan kapan ini semua berakhir bisa jadi alasan kita secara tidak sadar mengambil camilan di kulkas lebih dari yang seharusnya. Itu semua normal. Siapa yang pernah mengalami situasi seperti ini? Tidak ada yang pernah mengalami global pandemi sebelumnya. Sehingga cara kita mengatasinya dengan makan sangatlah wajar. Jika hanya sesekali saja tidak masalah. Bahkan aku sering menganjurkan ke beberapa klien untuk selalu punya comfort food. Makanan yang dapat membuat kita merasa lebih baik. Hanya harus diingat untuk tidak terus-terusan. Sekali atau dua kali dalam seminggu tidak apa-apa. Akan tetapi yang akan menjadi masalah kalau kita tidak sadar konsumsi terlalu banyak karena dipicu suatu masalah. Sehingga seperti tidak menemukan cara lain untuk mengatasi emosi itu dan hanya menjadikan makanan sumber solusi. Itu berarti harus menggali lebih dalam apakah sebenarnya kita lapar, ingin merasa lebih baik atau sebenarnya hanya melampiaskan sesuatu yang sebenarnya masalah utama.
Akan tetapi yang akan menjadi masalah kalau kita tidak sadar konsumsi terlalu banyak karena dipicu suatu masalah.
Lalu bagaimana untuk mengenali bahwa kita ingin makan hanya karena emosi? Pertama kita dapat mengenali perasaan bersalah setiap kali konsumsi berlebihan. Setiap hari sebelum tidur selalu ada pikiran, “Aduh saya makan kebanyakan sampai sulit kontrol.” Kalau ada klien yang seperti ini biasanya saya akan tanya apa alasan dia sebenarnya makan. Apakah benar lapar atau sebenarnya ada masalah lain yang sedang dipikirkan sehingga makanan menjadi pengalihan? Aku akan minta klien tersebut untuk menulis jurnal sebelum dia memikirkan konsumsi sesuatu berlebihan. Contohnya saat setelah makan malam lalu merasa ingin makan satu boks es krim. Sebelum itu cobalah untuk tulis apa yang sedang dirasakan apakah sedang kesepian karena di rumah tidak ada yang bisa diajak bicara atau apakah sedang stres karena pekerjaan? Setelah menulis minumlah air putih, tarik napas panjang dan tunggu hingga 20 menit. Baru setelah itu biasanya kita baru sadar “Oh ternyata kita tidak lapar kok ternyata tadi kita hanya mencari pengalihan saja.” Tapi kalau setelah 20 menit masih ada keinginan itu tidak apa-apa. Silahkan konsumsi es krim tapi coba untuk lebih mindful. Misal, daripada makan satu boks es krim mungkin dikurangi hanya satu sendok es krim. Lalu tanyakan lagi puas atau tidak sambil memikirkan kembali emosi yang sedang dirasakan dan mencari solusi lain untuk merasa lebih baik. Apakah itu perlu bicara sama orang lain, menuliskan perasaan, atau olahraga untuk mengurangi stres. Sebab pada dasarnya selalu ada cara lain untuk meredakan stres selain makan.
Baru setelah itu biasanya kita baru sadar 'Oh ternyata kita tidak lapar kok ternyata tadi kita hanya mencari pengalihan saja'.
Aku adalah praktisi kebugaran yang tidak menggunakan pendekatan diet untuk memberikan konsultasi pada para klien yang ingin hidup sehat. Aku selalu menganjurkan mereka agar tidak lari ke diet sebab mental diet itu biasanya berujung pada ketakutan makan. Pada akhirnya semakin takut pada makanan, semakin kita membatasi dan melarang diri untuk makan kita akan semakin makan banyak ketika suatu saat keinginan untuk makan tidak terbendung lagi. Analoginya seperti sekarang ini kita tidak diperbolehkan keluar rumah. Mungkin banyak mereka yang termasuk introver sebenarnya suka sekali berada di rumah. Namun karena sekarang dilarang keluar rumah, mereka bisa jadi malah ingin keluar. Sama dengan makanan. Kalau kita bilang nasi adalah makanan yang buruk atau makan jam 10 malam bisa bikin gemuk, yang ada kita tidak akan maksimal dalam menjaga pola makan. Menurut saya yang paling baik adalah dengan menetralisir terlebih dulu pemahaman makanan baik dan buruk. Seseorang yang makan brokoli tidak berarti lebih baik dari mereka yang makan kue. Makanan hanyalah makanan.
Pada akhirnya semakin takut pada makanan, semakin kita membatasi dan melarang diri untuk makan kita akan semakin makan banyak ketika suatu saat keinginan untuk makan tidak terbendung lagi.
Intuitive eating dengan mengutamakan untuk menghargai kesehatan adalah fokus pengajaran yang aku berikan. Bukan berarti bisa makan apapun yang diinginkan kapanpun tanpa harus memikirkan kesehatan. Tetap harus konsumsi makanan yang nutrisinya tinggi seperti sayur dan buah menjadi prioritas. Tapi bukan berarti fun food tidak boleh. Justru inilah yang aku namakan food for the soul. Aku juga sering memberikan saran yang menganjurkan sesuatu yang unik pada klien yang takut untuk konsumsi makanan yang disukai. Ada satu klien yang suka sekali keripik kentang sampai takut beli. Aku justru menyarankan untuk stok keripik kentang yang banyak di rumah karena nantinya dengan banyaknya stok dia akan bisa berpikir, “Sudah punya banyak di rumah, tidak perlu buru-buru makan ah. Saya bisa makan keripik kentang kapan saja.” Percaya atau tidak, keberadaan keripik kentang itu di rumah dan dengan memberikan izin pada diri sendiri untuk makan lama kelamaan kita jadi tidak mau sering-sering makan. Lama-lama jadi tidak lagi istimewa karena berpikir kapan saja bisa. Itulah sifat alami kita sebagai manusia.
Intuitive eating dengan mengutamakan untuk menghargai kesehatan adalah fokus pengajaran yang aku berikan. Bukan berarti bisa makan apapun yang diinginkan kapanpun tanpa harus memikirkan kesehatan.