Menurut sebagian orang, menata rumah bukanlah hal yang menyenangkan. Mungkin iya, ada benarnya. Menata rumah memang kadang terasa melelahkan dan memakan waktu. Tapi, justru dari kegiatan menata rumahlah saya mendapat ketenangan dan mindfulness meski tinggal di tengah hiruk pikuk kota Jakarta.
Masa muda saya dihabiskan di Bandung. Tinggal di sebuah rumah besar peninggalan Belanda dengan luas sekitar 2000 meter persegi, rumah saya mampu menampung banyak sekali barang. Lemari saya sendiri saja ada tiga. Rasanya saat itu, saya selalu merasa kurang memiliki baju karena saking luasnya tempat penyimpanan. Segala macam pakaian yang sudah saya miliki pun menjadi tidak ‘terlihat’ karena entah tertutup pakaian yang lain, atau tersimpan di suatu sudut. Tinggal di rumah sedemikian besarnya pun membuat saya memiliki beberapa asisten rumah tangga untuk membersihkan rumah, sekaligus mengurus kegiatan saya sehari-hari. Mungkin terdengar enak sekali hidup saya kala itu. Padahal sebenarnya, dengan memiliki banyak orang yang selalu megurusi segala kebutuhan, saya menjadi tidak mengenali diri sendiri dengan baik. Akibatnya, dalam kaitannya dengan rumah beserta penataannya, saya pun kesulitan mendefinisikan apa yang sebenarnya saya butuhkan dan tidak. Namun, saya sendiri pun baru menyadari hal ini belakangan, setelah saya pindah ke Jakarta dan menikah. Kehidupan saya pun berubah.
Tempat tinggal pertama saya bersama suami setelah menikah adalah sebuah kamar kos yang luasnya tidak lebih besar dari luas kamar mandi saya di rumah Bandung. Menyadari luas hunian yang akan diisi bersama untuk berdua terbatas, dari sini saya sadar bahwa saya harus mengubah pola pikir saya bila tidak ingin stress dengan kehidupan baru yang sangat berbeda dengan yang lama. Saya berkenalan pertama kali dengan minimalisme sebenarnya sekitar tahun 2009. Namun, baru di tahun 2014 saya mulai mempelajari lebih dalam mengenai gaya hidup minimalis, dan mencari tahu dengan pasti alasan kuat mengapa saya perlu menerapkan minimalisme dalam keseharian – yaitu karena saya perlu menata rumah dan gaya hidup saya sedemikian rupa agar membuat saya merasa nyaman menempatinya dan bahagia.
Bagi saya, sebenarnya minimalisme bukanlah tentang angka.
Berkaitan dengan minimalisme, dalam sejumlah referensi kerap sekali gaya hidup ini dikaitkan dengan jumlah kepemilikan kita akan suatu barang. Bagi saya, sebenarnya minimalisme bukanlah tentang angka. Saya sendiri tidak peduli dengan banyaknya barang yang saya miliki. Apa yang saya pedulikan adalah, seberapa jauh saya mengenali diri sendiri, sehingga dapat menentukan seberapa jauh kebutuhan saya dalam memiliki suatu barang. Saya tidak peduli bila saya memiliki 100 sepatu sebenarnya, bila saya memiliki alasan kuat mengapa saya perlu memiliki 100 sepatu tersebut. Namun sayangnya, saya tidak memiliki alasan kuat untuk memilikinya, sehingga saya pun tidak memiliki 100 sepatu. Menurut saya, bila kita mengenali diri sendiri, kita akan memiliki preferensi yang lebih jelas dan spesifik akan barang apa saja yang akan kita konsumsi.
Bila kita mengenali diri sendiri, kita akan memiliki preferensi yang lebih jelas dan spesifik akan barang apa saja yang akan kita konsumsi.
Bagi saya sendiri pun, apa yang dimaksud dengan rumah, dapat dibagi menjadi empat. Pertama, rumah berupa raga yang kita miliki, dengan pikiran dan jiwa yang mengisi layaknya perabot di dalamnya. Inilah rumah utama bagi kita, karena kita tidak bisa kabur dari ‘rumah’ ini. Oleh karenanya, perilaku, emosi, serta mental harus kita atur sehingga kita merasa nyaman berdiam di dalamnya. Yang kedua, adalah rumah berupa tempat tinggal yang secara fisik kita tempati. Entah itu berbentuk rumah, apartemen, kamar kos, dan lain sebagainya. Biasanya karakter kita yang terdapat dalam ‘rumah pertama’ akan tercermin dalam penataan rumah kedua. Saya tidak mengatakan rapi lebih baik dibandingkan berantakan, karena setiap orang pasti punya alasannya sendiri-sendiri bagaimana mereka mengatur rumah. Tapi bagi saya pribadi, bila rumah kedua yang saya tempati bersih dan rapi, saya merasa lebih mindful dan nyaman. Rumah ketiga adalah lingkungan di luar rumah, seperti kompleks perumahan, lingkungan tempat kerja, dan lain sebagainya. Tidak secara langsung berkaitan, namun tetap saja sedikit banyak kita tetap memiliki andil dalam mengatur aktivitas ataupun benda yang berputar di dalamnya. Dan terakhir, yang sudah barang tentu segala aktivitas kita pasti berdampak kepadanya, adalah rumah keempat, yaitu bumi yang kita tempati.
Kebetulan, saya bekerja sebagai arsitek. Dulu, saya sempat berpandangan bila pekerjaan saya hanya merancang bangunan, dengan segala tata letak dan desain yang menarik dan fungsional. Namun makin kesini, pandangan saya berubah karena akhirnya saya menyadari, segala rancangan yang saya buat, akan memiliki dampak pada bagaimana aktivitas dan gaya hidup penghuni yang tinggal di dalamnya. Jadi, tidak hanya sekedar rumah yang terlihat secara fisik saja yang dapat kita rancang, namun juga kehidupan di dalamnya.
Kadang kita lupa, bila rasa malas, lupa, atau membuat kesalahan adalah hal yang sangat wajar dimiliki seorang manusia.
Baik rumah pertama, kedua, ketiga, dan keempat, semuanya secara langsung, sebenarnya saling terintegrasi satu sama lainnya. Dimulai dari rumah pertama, bila dari jiwa, raga, beserta pikiran kita saja tidak kita tata, bagaimana kita dapat menata rumah-rumah selanjutnya dan menjadikan kehidupan kita menjadi lebih nyaman? Sejujurnya, meskipun menata rumah adalah hal yang saya gemari, saya sendiri pun memiliki sifat malas. Ada kalanya saya enggan untuk hidup sesuai nilai-nilai yang saya anut, seperti kerapihan, kebersihan, dan keteraturan. Namun, bila saat itu terjadi, alih-alih berlaku keras, saya memilih memanusiakan diri saya sendiri dengan membiarkan rasa malas itu mengendalikan diri dalam waktu tertentu. Kadang kita lupa, bila rasa malas, lupa, atau membuat kesalahan adalah hal yang sangat wajar dimiliki seorang manusia. Dan saya sendiri tidak keberatan bila sesekali saya membiarkan sisi humanis tersebut muncul karena menurut saya, dengan cara tersebut, saya akan tetap bahagia menjalani hidup. Karena hidup memang tidak selalu mengenai sifat-sifat baik. Namun, satu hal yang lantas selalu menjadi pengingat bagi saya untuk kembali ke nilai yang seharusnya, adalah kesadaran bahwa hidup kita di masa kini dibentuk oleh sekian banyak variabel dari hidup kita sebelumnya. Jadi, bila lantas saya memutuskan untuk bermalas-malasan, tentu ada suatu waktu di masa depan dimana saya harus berusaha lebih keras dari sebelumnya, untuk mencapai apa yang telah saya lewatkan di masa lalu.