Saat masih bersekolah, sebenarnya saya sudah menyadari bahwa saya memang orang yang pemalu. Besar kemungkinan karena pengaruh dari lingkungan saya dibesarkan yang sering kali memegang prinsip untuk langsung bekerja tanpa banyak bicara. Hingga akhirnya saya sadar bahwa saya memiliki kekurangan dalam hal mengkomunikasikan sesuatu. Entah karena logat bicara saya yang cenderung keras sehingga sering dikira marah atau juga karena alasan lain yang saya juga tidak tau pasti.
Menyadari kekurangan ini, saya akhirnya berusaha untuk lebih aktif terlibat di berbagai kegiatan sekolah. Ikut menjadi panitia dan pengurus di organisasi yang ada. Saat pertama kali berbicara di depan umum, jujur saya sangat ketakutan, bahkan untuk memperkenalkan nama saja badan dan tangan saya sampai gemetar. Dari situ saya mulai menyadari bahwa ini adalah proses yang memang harus dilalui. Semasa kuliah saya juga sempat menjadi asisten laboratorium yang tentu saja saya harus bisa berbicara di depan kelas untuk menyampaikan atau menjelaskan sesuatu.
Secara latar belakang pendidikan, saya sebenarnya mengambil jurusan kimia. Selain itu saya juga sangat tertarik untuk mengembangkan bisnis sendiri. Satu hal yang saya pelajari, ternyata berbisnis sangat berhubungan erat dengan pengembangan individu yang terlibat di dalamnya. Hal ini yang kemudian memicu saya untuk belajar lebih banyak mengenai ilmu-ilmu pengembangan diri.
Ada sebuah buku yang menurut saya sangat berdampak dalam hidup saya, judulnya “Show Your Work!” dari Austin Kleon. Di buku itu ia mengungkapkan bahwa untuk berkarya di zaman sekarang bagus saja tidak cukup, tapi kita harus bisa menunjukkan karya kita ke publik.
Berkarya di zaman sekarang bagus saja tidak cukup, tapi kita harus bisa menunjukkan karya kita ke publik.
Bagaimana caranya?
Salah satunya adalah dengan menyebarkan atau menampilkan karya tersebut di media sosial. Saya kemudian berpikir, apa yang sekiranya bisa saya bagikan di media sosial. Pengalaman berbisnis saya rasanya masih terlalu sedikit untuk dibagikan dan saya juga masih banyak belajar. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk membahas mengenai buku-buku yang saya baca. Di satu sisi, saya bisa membagikan apa yang saya dapat, di sisi lain saya juga terus belajar dari pemikiran para ahli melalui buku yang saya baca.
Membagikan karya berupa konten di media sosial tentu tidak luput dari berbagai pro-kontra. Setiap orang bisa bebas memberikan opini mereka terhadap konten yang saya bagiakan ke publik, termasuk komentar dalam bentuk kritik. Saat pertama kali mendapat kritik yang cukup tajam di media sosial tentu saya pernah merasa bingung perihal cara menghadapi kritik tersebut. Kebetulan saya juga punya teman-teman lain yang juga membuat konten di media sosial, sehingga mereka punya pengalaman lebih dulu dalam menghadapi hal serupa. Walaupun sempat merasa sedih dan bingung, saya menyadari bahwa kritik yang saya dapatkan umumnya berasal dari perbedaan persepsi.
Saya juga belajar menghadapi kritik dari sebuah buku yang mungkin teman-teman juga sudah familiar, berjudul “Filosofi Teras”. Dari buku itu saya belajar mengelola respons saya terhadap kritik ataupun komentar yang kurang menyenangkan dengan tahapan stop, think, assess, dan respond. Saya mencoba melihat kembali konteks kritik yang sedang disampaikan, kalau memang perbedaan persepsi, terkadang saya memberikan referensi tambahan agar mereka lebih memahami apa yang sebenarnya ingin saya sampaikan. Tapi kalau kalimat yang digunakan kemudian sudah terlalu kasar, saya rasa jawaban terbaik adalah dengan mengabaikan komentar tersebut.
Tidak bisa dipungkiri juga bahwa beberapa kritik yang saya dapatkan juga membantu saya untuk bisa berubah menjadi lebih baik. Dulu, awalnya saya membuat video dengan menggunakan teks yang bisa dibaca, tapi banyak komentar mengatakan bahwa tulisan tersebut terlalu cepat sehingga video yang saya buat cenderung dilewati. Dari situ saya belajar untuk memperhatikan konten saya dengan lebih baik dan memastikan engagement dengan teman-teman di media sosial juga tetap terjaga.
Saya punya sebuah prinsip yaitu saya tidak punya kuasa sama sekali terhadap apapun yang dikatakan orang lain atau penilaian mereka terhadap saya. Sebaliknya, respon dan tanggapan yang keluar dari diri saya adalah sepenuhnya tanggung jawab saya. Maka, saya juga harus bisa mempertanggung jawabkan apa yang saya buat dan memperkirakan bagian mana yang mungkin bisa menyinggung orang lain. Kalau memang tidak bisa dijelaskan di video, maka saya bisa jelaskan melalui kolom caption.
Pada akhirnya, kita yang harus menyaring komentar ataupun kritik yang kita terima. Tidak semua masukkan lantas harus kita ikuti. Proses kita belajar memperbaiki diri memang bukan ilmu pasti yang bisa dihitung seperti fisika atau matematika, sehingga empati harus mengambil peran yang cukup krusial dalam sikap yang kita ambil. Termasuk, dalam berkomentar ataupun menanggapi kritik di media sosial.
Proses kita belajar memperbaiki diri memang bukan ilmu pasti yang bisa dihitung seperti fisika atau matematika, sehingga empati harus mengambil peran yang cukup krusial dalam sikap yang kita ambil.
Terlepas dari kemungkinan kritik tajam yang diterima, bagi teman-teman yang ingin menjadi content creator, jangan takut. Rasa takutlah yang akan menahan kita untuk melangkah maju, sedangkan impian kita akan selalu ada. Jadi, kalau kita memutuskan berhenti karena rasa takut, kelak kita harus berurusan dengan rasa sesal. Daripada menyesal, coba dimulai dulu saja hari ini.
Rasa takutlah yang akan menahan kita untuk melangkah maju, sedangkan impian kita akan selalu ada. Jadi, kalau kita memutuskan berhenti karena rasa takut, kelak kita harus berurusan dengan rasa sesal.