Mempertanyakan apakah kita baik-baik saja saat ini seakan seperti sebuah paradoks. Kita tahu bagaimana isu COVID-19 di Jakarta semakin lama semakin terasa menakutkan. Semua orang menjadi paranoid luar biasa. Belum lagi dengan kondisi ekonomi yang seakan seperti seseorang yang melakukan percobaan bunuh diri karena situasi semi lockdown yang sedang berjalan. Setiap hari aku menyaksikan investasiku terus menurun, begitu pula dengan anggaran pernikahan yang terpakai. Semua terjadi begitu saja setelah upaya menabung yang sudah susah payah. Ketakutan menggantikan kebahagiaan. Begitu terasa di mana pun kita berada. Di berbagai ruang digital sekalipun. Begitu banyak berita negatif yang beterbangan bebas tak hanya di layar sentuh smartphone atau komputer namun juga di benak masyarakat seluruh dunia. Aku seakan sedang berdiri terpaku menyaksikan berbagai episode tragis yang mengurangi kewarasan sambil menyampaikan selamat tinggal di hari terakhirku bekerja. Lewat layar virtual aku mengucapkan berbagai pesan dan kesan pada keluarga besarku itu. Berharap saat semua sudah usai aku bisa kembali ke sana dan mengucapkan selamat tinggal secara langsung.
Ketakutan menggantikan kebahagiaan. Begitu terasa di mana pun kita berada.
Rencanaku berlibur ke Bali pun batal diikuti berbagai pertemuan di Jakarta yang ditunda. Merasa terganggu akan peristiwa ini? Tentu saja! Aku sudah merencanakan perjalanan liburanku cukup lama. Dan kejadian ini sungguh menghancurkan sisi perfesionisku. Ironisnya aku pun tahu kejadian ini di luar kendali kita. Tidak bisa berbuat apa-apa, aku pun menghadirkan sisi Yin dalam diri. Memanfaatkan waktu untuk beristirahat agar jiwaku kembali ternutrisi. Aku akui sebelum adanya kejadian ini aku seperti tidak memerhatikan istirahat. Bisa beristirahat rasanya seperti seseorang yang mendapatkan beberapa tetes air di tengah gurun pasir. Sungguh melegakan kehausan.
Kini setiap harinya aku terus memeluk diri sendiri, memberikan nutrisi pada diri dalam bentuk olahraga, workshop dan talkshow online, memasak makanan sehat, meditasi, membaca buku yang belum selesai, grounding dan akhirnya tidur nyenyak. Aku bahkan berlatih menulis seperti yang aku lakukan sekarang. Aku melatih pernapasan, berusaha untuk lebih hadir di masa sekarang, yang mana menjadi sesuatu yang berharga sekali. Diam di tengah-tengah kekacauan. Merasakan kedamaian di tengah lautan ketakutan. Juga lebih mendalami diri sendiri dengan melakukan konsultasi online dengan praktisi mindfulness. Dan daftar kegiatan yang tak berhenti di sana. Aku seperti berada dalam mode eksperimen yang tidak tahu kapan akan berakhir.
Ketakutan bagiku seperti tenggelam di lautan dalam dengan gelombang pasang tanpa bisa mengangkat kepalaku ke permukaan. Sebagian orang bilang semuanya hanya ada di kepala kita saja sebab sebenarnya lautan imajinatif itu hanyalah kolam renang biasa. Terdengar mudah untuk mengubah persepsi tersebut namun sulit dilakukan. Secara logis sebenarnya perkataan tersebut memang benar. Tetapi terkadang emosi kita tidak bisa berbicara yang sama. Aku masih belajar untuk berada di masa sekarang, mencoba untuk berhenti memikirkan masa depan dan membayangkan masa lalu. Namun tetap saja berbagai pertanyaan muncul di benak seperti ribuan post it pada papan tulis. Satu skenario silih berganti dengan skenario lain seakan menambah deretan tabel Excel. Kemudian aku mulai menuliskan segala pertanyaan itu selayaknya daftar belanjaan:
Ketakutan bagiku seperti tenggelam di lautan dalam dengan gelombang pasang tanpa bisa mengangkat kepalaku ke permukaan.
Bagaimana kalau calon suamiku ternyata menghakimi apa yang aku lakukan?
Apa yang akan terjadi dengan rencana pernikahan kami?
Apakah para tamu yang sudah konfirmasi hadir akan benar hadir?
Akankah pesta pernikahan itu menjadi sangat berarti seperti yang kubayangkan?
Apakah vendor-vendor yang sudah disewa akan melakukan pekerjaan dengan seharusnya?
Akankah kami punya tabungan cukup untuk membayar mereka?
Apakah kondisi ekonomi akan membaik?
Bagaimana kalau aku tidak bisa memenuhi kebutuhan sehari-hari dan punya rumah?
Akankan perasaanku dan pasangan bertahan lama?
Dan daftar panjangnya terus berlanjut tanpa berhenti.
Kemudian aku pun berdiri di bawah sinar matahari. Merasakan rumput di telapak kaki. Membiarkan semesta membisikanku rahasianya ketika waktunya tiba. Sekarang waktunya aku menjawab segala pertanyaan itu dengan jawaban “Aku tidak tahu”. Yang aku tahu pasti adalah hidup penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban. Dengan menerima dan membiarkan ini terjadi. Lalu momen “cuti panjang” ini menjadi terasa baik-baik saja. Lambat laun aku terbiasa dengan gelombang ketidakpastian. Jeda adalah yang paling kita butuhkan dari musim pandemi ini. Itu juga yang diperlukan oleh bumi. Kita tidak bisa keluar tetapi kita bisa melihat ke dalam untuk membuka berbagai harta yang hadir dalam diri. Setelah ini aku yakin kita tidak akan pernah sama lagi.
Yang aku tahu pasti adalah hidup penuh dengan pertanyaan tanpa jawaban.