Saya percaya, setiap orang bisa menjadi pemimpin. Bagi saya, menjadi pemimpin bukan bawaan dari lahir saja, namun bisa dibentuk dan dididik. Ada beberapa sifat dan sikap sebenarnya yang dapat kita latih untuk dapat menjadi pemimpin yang baik. Namun, sebelum itu semua, menurut saya secara personal, untuk menjadi pemimpin yang baik, kita harus dapat menjadi anak buah yang baik terlebih dahulu. So, to be a good leader is to be a good follower.
Mengapa saya mengatakan demikian? Karena biasanya, seorang pemimpin yang baik, belajar memimpin saat ia masih menjadi anak buah. Tidak harus mengkuti persis gaya kepemimpian pimpinannya dahulu. Tentu ia dapat melakukan perubahan terhadap sejumlah hal yang sekiranya perlu disesuaikan. Di sinilah perlunya aspek ‘sadar’ atau mindful, sebab, ia pasti akan perlu untuk melakukan refleksi terhadap gaya kepemimpinan seperti apakah yang bila ia adalah seseorang yang dipimpin, ingin ia peroleh dari pimpinannya, dengan melakukan evaluasi terhadap bagaimana pimpinannya dahulu bersikap.
Seorang pemimpin yang baik, belajar memimpin saat ia masih menjadi anak buah.
Mindful leadership ialah melakukan kepemimpinan dengan penuh kesadaran. Seringkali kita merespon suatu kejadian secara otomatis sehingga output yang keluar agak kurang tepat. Dengan menjadi mindful, atau sadar terhadap segala tindakan yang kita lakukan, kita dapat mengambil jeda antara kejadian pemicu dengan respon kita, untuk memberi ruang bagi kita menganalisa atas memberi respon terbaik yang dapat diberikan dalam menghadapi situasi yang terjadi. Sudah sepatutnya pula seorang pemimpin paham akan konsekuensi yang mungkin terjadi, tidak terbatas pada hasil dari pengambilan keputusan saja, namun segala sikap yang dilakukannya apapun itu. Ada aspek pengendalian emosi juga bermain di sini.
Sedikit bercerita mengenai pengalaman saya pribadi. Dulu, sewaktu saya masih bekerja di tempat lain, bila saya sedang marah, saya bisa sampai membanting sejumlah barang di sekitar. Mengapa bisa demikian? Karena saat itu, apa yang ada di benak saya adalah, bila kita marah, keluarkan saja untuk membuat diri kita terasa baik. Ini sebenarnya berkaitan dengan pola asuh yang saya terima, yang mengajarkan saya hal demikian. Namun, apa yang terjadi adalah, empat anak buah saya, yang kesemuanya adalah lulusan cum laude dari sejumlah universitas ternama, lantas mengajukan resign semuanya. Dari sini saya kemudian sadar, bila apa yang saya lakukan tidak tepat. Saya jadi belajar, apabila saya ingin marah, bukan dengan mengeluarkan emosi dan membanting benda yang ada. Saya pun mempelajari bagaimana cara yang baik untuk menyikapi rasa kecewa dari hasil pekerjaan yang diharapkan, mengartikulasi pikiran dan emosi yang benar, serta bersikap asertif. Asertif ini berkaitan dengan memberi tahu perasaan kita, namun tanpa emosi yang meledak. Nah, cara-cara untuk menjadi pemimpin yang lebih baik ini dapat dipelajari, saya percaya itu.
Bila ditanya, pribadi seperti apa sih yang membuat diri kita layak menjadi pemimpin? Wah ada banyak sekali. Namun, yang pasti, seorang pemimpin sudah sepatutnya memiliki visi, misi, dan kemampuan untuk melalukan eksekusi atau ‘take action’ atas visi dan misi tersebut. Di dalam ‘take action’ ini tentu ada integritas dan kerendahan hati untuk terus mau mengembangkan diri. Selain itu, secara sifat, yang pada umumnya disegani sebagai pemimpin ialah mereka yang mawas dalam berprilaku, atau perilakunya sesuai pada tempatnya.
Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, to be a good leader is to be a good follower, seringkali kita menganggap apabila cara memimpin yang dilakukan atasan kita sebelumnya adalah yang benar, karena kita sudah terbiasa dan tertanam di benak akan budaya atau sikap yang ia tunjukan. Akan tetapi, bagaimana bila rupanya apa yang kita adaptasi rupanya bukan hal yang benar? Bagaimana bisa kita memutus rantainya? Kembali lagi, kita perlu bersikap mindful. Mindfulness di sini berarti mundur satu langkah ke belakang, ambil napas, lihat referensi lain misalnya gaya kepemimpinan di tempat yang berbeda, lalu evaluasi ke diri kita. Bila kita menyelesaikan suatu persoalan dengan cara yang berbeda dari apa yang biasanya saya kerjakan, hasilnya akan berbeda tidak ya? Penting bagi orang di tampuk kepemimpinan untuk mengambil langkah kebelakang, alih alih langsung memberikan respon. Jadilah ‘being’, bukan ‘doing’. Kita cenderung lebih sering menjadi ‘human doing’ daripada ‘human being’.
Kita cenderung lebih sering menjadi ‘human doing’ daripada ‘human being’.
Bila dalam situasi tertentu kita belum bisa memutuskan respon yang tepat, saran saya, tunda dahulu. Menunda lebih baik daripada kita membuat keputusan gegabah. Dulu saya kerap memberi saran demikian kepada tim saya; “Bila kita tidak memberikan respon saat ini juga, apakah akan ada yang meninggal? Bila tidak, berarti bisa ditunda. Tarik napas agar pikiran kita bisa lebih jernih, lalu baru putuskan.”
Bila dalam situasi tertentu kita belum bisa memutuskan respon yang tepat, saran saya, tunda dahulu. Menunda lebih baik daripada kita membuat keputusan gegabah.
Satu yang menarik dari posisi pemimpin, ialah tempatnya yang berada di puncak piramida dengan porsi luas yang paling kecil. Sebuah ungkapan berkata ‘being a leader is a lonely place’. Iya, secara posisi mungkin memang demikian. Tapi, kita bisa menyikapinya dengan memberbanyak wawasan dan sepanjang memungkinkan, jangan sampai benar-benar terputus dengan anak buah yang merupakan ‘front liners’, karena merekalah ujung tombak perusahaan yang berhubungan langsung dengan pelanggan. Berempatilah untuk sesekali ikut serta dalam aktivitas yang dijalankan anggota tim, karena dengan cara demikian, kita pun akan memiliki gambaran mengenai bagaimana kondisi di lapangan. Di era sekarang yang menitik beratkan pada user experience, bila kita tidak mengenal siapa pelanggan kita, kita tidak bisa melayani mereka dengan baik. Untuk itu itu, penting bagi kita untuk bisa relevan dengan anak buah yang berada di garis terdepan. Salah satu cara yang saya pernah terapkan adalah membuat rotasi jadwal makan siang bersama. Jadi setiap hari akan selalu ada seseorang ayng menemani saya makan siang. Dengan cara ini, mereka dan saya akan sama-sama mengenal satu sama lain. Namun kembali lagi, setiap orang memiliki caranya masing-masing. Dan mungkin Anda memiliki caranya sendiri untuk menjadi pemimpin yang baik dalam versi Anda.