Setiap orang tentu punya titik balik dalam hidupnya. Saat kita menemukan bahwa realita kerap kali tidak seindah mimpi-mimpi kita sewaktu kecil. Masa di mana kita mulai lepas dari pelukan orang tua dan memulai perjalanan kita sendiri. Bagiku momen ini aku temui saat aku lulus SMA, tepat saat aku mengalami penolakan dan tidak berhasil masuk ke kampus impian pada percobaan pertama.
Aku dihadapkan dengan kebimbangan antara memilih berpegang teguh pada idealisme untuk tetap memperjuangkan kampus impian atau melepaskan mimpiku yang satu ini. Kala itu aku memutuskan untuk tetap berjuang dan menunda waktuku satu tahun untuk berkuliah.
Di tengah masa persiapan untuk kembali berjuang masuk universitas, aku akhirnya melihat sebuah unggahan di media sosial. Meski aku tidak ingat persis apa nama akunnya, tapi masih jelas betul di kepalaku bahwa sebuah tulisan yang mereka unggah berhasil membuatku menemukan motivasi untuk bisa melanjutkan hidup.
Berawal dari itu pula sebuah gagasan di pikiranku muncul, bagaimana kalau ternyata sebuah tulisan yang aku unggah bisa membuat orang lain tidak menyerah dengan hidupnya. Sejak dulu aku memang suka menulis, lebih banyak melalui medium blog, tapi rasanya kini berbagi tulisan pendek di media sosial menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Maka aku memutuskan untuk mulai berbagi pengalamanku kembali menemukan motivasi hidup dan menyayangi diriku sendiri melalui media sosial.
Berbagi tentang perjalanan yang personal ternyata tidak selamanya mudah. Terkadang aku juga menemukan komentar yang ternyata tidak sesuai ekspektasi. Di momen-momen tersebut biasanya aku berusaha memisahkan diri dengan konten yang aku buat. Aku berusaha mengingatkan diri bahwa apa yang orang lain lihat di media sosial hanyalah sekian persen dari kehidupanku, mereka tidak pernah benar-benar paham sepenuhnya perjalanan yang sudah aku lalui hingga hari ini. Berbagi di media sosial ternyata mengajarkanku untuk lebih pintar dalam mengelola perasaanku sendiri. Aku belajar untuk mengambil jeda sebelum bersikap saat menemukan komentar yang ternyata tidak menyenangkan.
Seiring berjalannya waktu, sejalan dengan usahaku berbagi lewat media sosial, ternyata cara pandangku terhadap istilah self-love juga berubah. Dulu aku memahami bahwa self-love hanya tentang bagaimana aku menghargai dan bersikap baik pada diriku sendiri. Semakin ke sini aku sadar bahwa tahapan selanjutnya dalam mencintai diri sendiri adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Dulu aku memahami bahwa self-love hanya tentang bagaimana aku menghargai dan bersikap baik pada diriku sendiri. Semakin ke sini aku sadar bahwa tahapan selanjutnya dalam mencintai diri sendiri adalah menjadi manusia yang bermanfaat bagi orang lain.
Mencintai diri bukan hanya tentang aku, aku, dan aku. Tapi juga tentang bersikap baik dan memberikan kasih sayang pada orang-orang sekitar. Hidup tidak hanya berpusat pada diri kita, kalau cara pandang ini yang terus digunakan, rasanya hidup jadi tidak punya progress. Di dua hingga tiga tahun terakhir aku menemukan bahwa ketika kita sudah menyayangi diri kita dengan baik, maka alangkah baiknya kalau hal ini juga berdampak positif bagi orang lain di dekat kita.
Hidup tidak hanya berpusat pada diri kita, kalau cara pandang ini yang terus digunakan, rasanya hidup jadi tidak punya progress.
Cara pandang ini juga tidak serta merta aku dapatkan begitu saja. Ini adalah hasil dari perjalanan panjang. Suatu hari aku pernah bertemu dengan seorang mentor yang membantuku menemukan diriku sendiri. Dulu aku merasa ditinggalkan atau kehilangan adalah hal yang aku takuti. Nyatanya, mungkin selama ini yang aku hindari bukan orang lain tetapi diriku sendiri.
Rasanya lebih mudah bersikap baik dan mengutarakan kalimat-kalimat positif pada orang lain dari pada diriku sendiri. Lalu kemudian aku berusaha menuliskan apa saja memori yang melekat dipikiranku selama ini. Setelah ditelusuri kembali, ternyata lebih banyak memori bahagia yang aku ingat dari pada sebaliknya. Ternyata selama ini aku terlalu sibuk meratapi hidupku yang seolah hanya punya sisi gelap, hingga aku lupa bahwa ternyata hidupku juga dipenuhi momen bahagia yang aku lewatkan begitu saja.
Puncaknya mungkin saat pandemi, di penghujung tahun 2020. Waktu dimana mau tidak mau kita harus lebih banyak menghabiskan waktu dengan diri sendiri. Di situlah aku harus benar-benar menghadapi hal-hal tidak menyenangkan yang selama ini aku hindari. Hingga lambat laun, karena terbiasa aku bisa mulai menerima segala sisi gelap yang aku bawa dari masa lalu. Dulu aku mempertanyakan kenapa Ayah dan Ibu harus bertengkar di rumah. Kini, aku bisa mensyukuri hal tersebut sebagai sebuah momen yang membantuku berproses hingga saat ini.
Teruntuk teman-teman yang tengah berusaha menerima dan melalui masa gelap dalam hidupmu, aku hanya ingin mengatakan bahwa kamu boleh sedih, kecewa, ataupun marah. Kamu berhak merasakan setiap emosi yang sedang terjadi dalam hidupmu. Setelahnya, coba luangkan waktu untuk melihat lebih dalam dan mendengarkan dirimu sendiri.
Sering kali kita terlalu sibuk berlarian ke sana ke mari, sibuk menghindari atau menyalahkan orang lain, padahal mungkin selama ini kita justru menghindari diri sendiri. Sesekali coba berhenti sejenak, temui diri kita sendiri dan mulai belajar menerima ketidaksempurnaan yang ada di dalam diri kita. Tidak ada salahnya untuk lebih berbaik hati pada diri sendiri.
Sering kali kita terlalu sibuk berlarian ke sana ke mari, sibuk menghindari atau menyalahkan orang lain, padahal mungkin selama ini kita justru menghindari diri sendiri.