“When you give and expect a return, that’s an investment. When you give and don’t expect anything back in return, that’s love. “ — Ian Morgan
(Ketika kita memberi dan mengharapkan imbalan, itu disebut investasi. Namun ketika memberikan tanpa mengharapkan apapun, itu adalah cinta kasih)
Di masyarakat kita, hubungan asmara atau pertemanan yang bersifat transaksional biasanya di awal terdengar normal. Walaupun mungkin ketika kecil kita sering mendengar wejangan seperti, “Buat apa baik terhadap orang yang tidak baik terhadap kita?”, “Orang yang baik sama kita pasti ada maunya, hati-hati ya jangan mudah percaya”, “Kalau kamu bersikap baik, nanti kamu dapat hadiah.”
Meskipun saya dapat memahami alasan-alasan masuk akal dari pernyataan-pernyataan tersebut —mengingat kita tidak bisa menjamin kebaikan orang terhadap kita selalu tulus, tapi apakah benar kebaikan harus selalu bersifat transaksional? Saat kita memberikan sesuatu berarti kita harus menerima sesuatu pula?
Mungkin kita bisa berdalih dengan berpikir bahwa kita tulus memberikan sesuatu karena tidak mengharapkan imbalan materi atau sesuatu yang bisa dilihat. Sesuatu yang tak terlihat seperti apresiasi, penghiburan atau afeksi bukanlah materi dan bukanlah berupa imbalan. Jadi kalau kita mengharapkan bentuk-bentuk tersebut datang setelah kita memberikan sesuatu, kebaikan yang kita bagikan masihlah tulus. Akan tetapi, kalau dipikirkan kembali masak-masak, meski tak terlihat dan tak tersentuh bentuk-bentuk itupun masih berupa pengharapan dan imbalan. Hanya saja tidak pernah terucap dan tergelincir keluar dari mulut. Harapan tersebut tersembunyi di pikiran kita saja.
Hal ini membuat saya berpikir keras. Jika kita berbagi kebaikan pada orang lain yang pada akhirnya tak akan dibalas oleh apapun —oleh hal verbal sekalipun, apakah kita akan tetap melakukan kebaikan itu? Akankah kita tetap memilih cinta?
Kita mungkin sering mendengar atau membaca kutipan ini: “My attitude is based on how you treat me” (saya akan bersikap sepatutnya saya diperlakukan). Sebenarnya tidak ada yang salah dengan kutipan yang sering jadi motto hidup banyak orang ini. Terdengar cukup adil bahwa seseorang akan berlaku baik jika ia diperlakukan baik. Jika tidak buat apa berlaku baik pula pada orang tersebut? Namun saya jadi kembali berpikir. Jika orang lain memperlakukan kita tidak baik apakah kita memang harus memberikan perlakuan tidak baik juga terhadap mereka?
Apabila kita melihat sebuah kebaikan menjadi sesuatu yang bersifat transaksional, rasanya kita akan terus sibuk menakar dan mempertanyakan apa yang akan didapatkan dari kebaikan tersebut. Mungkin saja pemberian kita justru dipertimbangkan manipulatif atau self-serving (hanya untuk melayani diri sendiri —red). Sementara kita tidak bisa mengendalikan orang lain. Kita hanya bisa mengendalikan diri kita sendiri. Kita juga tidak bisa mengendalikan perspektif orang lain terhadap kebaikan yang kita berikan.
Apabila kita melihat sebuah kebaikan menjadi sesuatu yang bersifat transaksional, rasanya kita akan terus sibuk menakar dan mempertanyakan apa yang akan didapatkan dari kebaikan tersebut.
Jadi mengapa kita tidak jadi seseorang yang tak mengabaikan apa yang terjadi di sekitar kita, namun pada saat yang bersamaan tidak menjadikan hal tersebut satu-satunya pemicu tindakan kebaikan kita? Mengapa kita tidak mendasari kebaikan yang kita berikan dari dalam diri kita sendiri, our inner selves? Dengan begitu kita nantinya bisa membiarkan kebaikan menjadi bagian diri kita agar kita tak lagi memberikan untuk menerima. Melainkan memberikan untuk mencintai.
Mengapa kita tidak mendasari kebaikan yang kita berikan dari dalam diri kita sendiri, our inner selves? Dengan begitu kita nantinya bisa membiarkan kebaikan menjadi bagian diri kita agar kita tak lagi memberikan untuk menerima. Melainkan memberikan untuk mencintai.
Jangan biarkan sikap, kebaikan atau cinta kita didasari oleh orang lain serta harapan akan mendapatkan imbalan. Menurut saya, kebaikan yang paling tulus tidak mengharapkan imbalan dalam bentuk apapun. Baik yang terlihat maupun tidak terlihat. Mungkin tidak mudah. Akan tetapi jika kita berani untuk membuka diri, hati, dan pikiran untuk melatih diri sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari, saya percaya kita akan menemukan makna yang lebih dalam tentang kebahagiaan dari memberi.
Jika kita berani untuk membuka diri, hati, dan pikiran untuk melatih diri sehingga menjadi kebiasaan sehari-hari, saya percaya kita akan menemukan makna yang lebih dalam tentang kebahagiaan dari memberi.