“Kok kamu bisa terlihat senang terus sih di layar kaca?”
“Kamu memang aslinya suka bercanda ya?”
Terkadang saya pun bingung mengapa sebagian orang menganggap saya lucu. Bahkan tidak jarang ketika membawakan acara atau sedang siaran radio saya diminta untuk menjadi seorang nan lucu. Konstan saya pun malah merasa sedikit stres karena tidak merasa diri saya lucu. Seolah-olah selama ini saya mengolah rumusan agar selalu riang dan terlihat jenaka di layar kaca. Padahal tidak. Memang sejak umur 11 tahun saya sudah jadi penari. Entah bagaimana cara bercanda mereka yang di belakang panggung terbawa hingga dewasa, sehingga dari umur belia saya seakan sudah secara alami melontarkan celotehan yang bisa membuat orang lain tertawa. Tapi ketika berkarier saya tidak pernah berusaha menjadi orang lain, seseorang yang lucu dan seperti tidak ada masalah dalam hidup. Saya menjadi diri saya apa adanya yang juga terkadang menampilkan dan mengutarakan kesedihan yang dialami meski tetap pada tempatnya.
Di layar kaca mungkin saya terlihat seperti tidak ada masalah dan jenaka terlebih karena saya tahu betul bagaimana menjaga profesionalisme. Seakan punya tombol kapan harus mematikan perasaan atau emosi di luar pekerjaan yang dapat mengganggu konsentrasi. Seperti yang sudah saya katakan tadi, sejak 11 tahun saya sudah dibayar menjadi penari. Di umur 17 tahun Bapak sudah tiada dan semenjak itu kehidupan saya dan keluarga cukup menantang di mana saya pun harus turut membantu bekerja. Akan tetapi dari rintangan tersebut saya belajar untuk bertanggung jawab pada pekerjaan. Bahwa ketika kita punya masalah, ya harus begitu adanya. Dihadapi. Mungkin menangis darah ketika sebuah peristiwa terjadi. Tapi tidak bisa terus-terusan. Kita harus tetap melanjutkan hidup karena masalah datang tidak mungkin melebihi kapasitas. Sehingga yang harus dilakukan hanyalah menghadapinya dengan dewasa lalu jalani hidup seperti apa yang kita ingin tuju. Jangan jalan di tempat. Kalau memang saat ada masalah lalu diminta bekerja menampilkan karakter ceria, jenaka, ya dilakukan. Itulah cara tetap melanjutkan hidup.
Mungkin menangis darah ketika sebuah peristiwa terjadi. Tapi tidak bisa terus-terusan. Kita harus tetap melanjutkan hidup karena masalah datang tidak mungkin melebihi kapasitas.
Bukan bermain sandiwara atau berpura-pura tapi kita harus pintar-pintar menempatkan diri. Ini yang saya dapatkan dari studi psikologi di jenjang kuliah. Saya belajar bagaimana melepaskan peran personal sementara di saat yang sama harus menghadapi hal lain di luar kehidupan pribadi. Seperti beberapa waktu lalu, ketika anak saya harus menjalani operasi katarak. Tentu saja saya amat sedih. Apalagi di saat yang sama saya harus melanjutkan pekerjaan. Kemudian untuk sementara saya melepaskan dulu masalah yang ada di rumah dan fokus pada apa yang sedang dikerjakan. Sulit memang, namun itulah hidup. Toh saya juga tidak berpura-pura tidak ada apa-apa. Di media sosial saya jujur mengungkapkan bahwa saya sedang sedih mengalami masalah tersebut. Malah dari kejujuran tersebut saya dan anak mendapatkan berkah. Setelah berbagi kesedihan saya mendapat bantuan dari salah satu produk kacamata yang menghadiahi anak saya kacamata. Tidak hanya itu saja kami bahkan diberikan kesempatan untuk membagikan 90 kacamata gratis pada anak-anak yang kurang beruntung. Sampai-sampai di tahun depan pun terdapat misi lain yang masih kami rencanakan untuk menyebarkan kebaikan ini. Bersyukur sekali rasanya kejujuran dan apa adanya saya bisa bermanfaat bagi orang lain.
Belakangan saya cukup prihatin melihat banyak orang yang berusaha menjadi orang lain. Ditambah dengan adanya media sosial sebagai tempat mereka memoles gambaran diri. Banyak sekali yang mencoba memperlihatkan kebaikan mereka atau betapa tingginya kelas sosial mereka. Hanya saja saya tahu betul mereka memaksakan itu semua demi pencitraan sosial. Sungguh sayang sebenarnya. Ketika kita tidak menjadi diri sendiri tentu saja kita tidak bahagia. Bahkan kita bisa meningkatkan kecenderungan berbohong. Buat apa? Memang menjadi diri sendiri terkadang ada yang bisa menerima ada juga yang tidak. Tapi tidak masalah. Bukan urusan kita kalau orang lain tidak terima dengan kejujuran dan apa adanya diri ini. Yang terpenting kita sehat secara mental dengan menjadi diri sendiri.
Bukan urusan kita kalau orang lain tidak terima dengan kejujuran dan apa adanya diri ini. Yang terpenting kita sehat secara mental dengan menjadi diri sendiri.
Pernah dulu sebelum memerankan “Welas” saya ingin mendapatkan peran sebagai wanita cantik yang terpandang. Maklum dulu saya sempat jadi model sehingga terdapat ekspektasi untuk memainkan peran tersebut. Hingga akhirnya saya amat bersyukur dipertemukan dengan karakter Welas yang menempel pada identitas diri. Meskipun karakter tersebut sangat berbeda dengan keinginan di awal. Bahkan sempat tidak suka memerankannya. Welas adalah pribadi yang katro, kurang pintar, tidak memerhatikan penampilan. Sungguh berbeda dengan diri saya dulu yang lulusan universitas ternama dan lulusan model. Tetapi dia adalah representasi dari mereka yang termarjinalkan. Dia jujur, lemah lembut, apa adanya. Ketika punya masalah tidak dipikirkan berlebihan. Individu yang amat spontan. Hingga akhirnya saya justru belajar banyak dari Welas yang mengajarkan kejujuran dalam berperan. Baik di layar kaca maupun di kehidupan pribadi. Dari Welas jugalah saya menyadari betapa materi dan penampilan akan kalah dengan hati yang tulus dan jujur. Tidak dibuat-buat, tidak berusaha jadi orang lain.
Materi dan penampilan akan kalah dengan hati yang tulus dan jujur. Tidak dibuat-buat, tidak berusaha jadi orang lain.