Terkadang kita mungkin tidak menyadari ketika punya mimpi atau cita-cita besar, kita dipertemukan dengan berbagai tantangan agar teruji betul, apakah diri ini benar-benar mau menggapai mimpi tersebut. Bisa dibilang masa pandemi ini adalah salah satu ujian terbesar bagi kita semua. Rencana, mimpi, cita-cita yang tengah dikejar terhenti sejenak. Saat-saat seperti ini seakan menjadi waktu yang tepat untuk membuka kesempatan bercermin tentang cita-cita itu, melihat kembali upaya-upaya yang sudah dilakukan dalam kondisi normal sebelumnya, apakah sudah cukup atau belum. Seolah ini cara kita membuktikan apakah kita punya motivasi yang kuat untuk mewujudkan cita-cita itu. Dengan pertahanan diri yang kuat untuk mencapai apa yang diinginkan, niscaya kita akan mendapatkan ilham untuk keluar dari segala hambatan. Asalkan pantang menyerah menjadi modal utamanya.
Dengan pertahanan diri yang kuat untuk mencapai apa yang diinginkan, niscaya kita akan mendapatkan ilham untuk keluar dari segala hambatan.
Belum lama ini saya berbincang dengan seorang pelaku industri kreatif asal Jogja. Bisnis event organizer yang biasanya mengumpulkan banyak orang di satu tempat jelas tak lagi bisa berjalan pada masa pembatasan sosial ini. Ia lantas harus putar otak agar tetap bisa menjalankan bisnis dan bertahan hidup. Konsep produk acara virtual semacam webinar sempat dijajaki, meski kandas karena kalah saing dengan rival di ibu kota. Tak mau menyerah, ia terus memeras kepala hingga akhirnya tercetus ide pernikahan virtual, perayaan sakral ikatan dua insan dengan tetap menjalankan social distancing dan protokol kesehatan.
Berkaca dari pengalamannya, kalau kita asosiasikan bisnis yang ia jalankan dengan suatu mimpi, kita bisa belajar tentang sikap pantang menyerah. Demi meraih target, ia terus mencoba mencari cara untuk tetap maju. Justru di tengah keterhimpitan ini ia muncul dengan ide yang tidak pernah terpikirkan sebelumnya. Semua karena ia membuktikan bahwa kekuatan motivasinya sangatlah besar untuk mencapai cita-citanya itu. Mungkin kalau tidak terganjal hambatan ini, ide-ide baru itu tidak akan naik ke permukaan.
Jujur, rasanya memang menyebalkan menghadapi pandemi yang menghambat perjalanan kita menggapai mimpi. Saya sendiri harus merasakan situasi ini jauh dari rumah. Bukan hal mudah berjuang di negara asing yang juga salah satu negara termahal di dunia. Baru saja tiba kurang lebih empat bulan lalu di Amerika, baru juga merencanakan hal-hal besar dengan membawa serta istri saya. Membuka kesempatan baru, mengembangkan karier, dan berharap menjalani kehidupan yang lebih baik menjadi cita-cita kami ketika menginjakan kaki di sini. Bohong kalau saya tidak merasa ada tekanan. Meski masih bisa saya kendalikan, tapi pasti tetap ada perasaan khawatir dengan masa depan. Apalagi istri yang belum sempat mengepakkan sayap di negeri Paman Sam.
Alih-alih menyerah, saya justru mencoba menjadikan masa ini momen untuk membuka pintu ikhlas selebar-lebarnya. Saya sendiri tidak bisa mengatakan bahwa kondisi ini adalah kondisi yang berat bagi saya secara harafiah. Bagaimana pun juga saya masih terhitung orang yang amat beruntung dan sudah semestinya tidak mendustakan keberuntungan itu. Bersyukur saya masih bisa mempertahankan pekerjaan tanpa ada pengurangan penghasilan. Bahkan tanpa harus pergi ke kantor dan tetap tinggal di rumah. Meski saya satu-satunya sumber penghasilan dalam keluarga, kami tetap masih bisa memenuhi kebutuhan pokok, menabung, bahkan membantu keluarga kami di Indonesia. Dari berbagai rintangan yang saya hadapi, masih banyak orang lain yang menghadapi dampak yang lebih sulit dari pandemi ini.
Alih-alih menyerah, saya justru mencoba menjadikan masa ini momen untuk membuka pintu ikhlas selebar-lebarnya.
Hal lain yang saya syukuri: Saya tidak sendirian di kala pandemi berada jauh dari kampung halaman. Ada istri yang menemani untuk berbagi cerita dan kebahagiaan. Menurut saya, komunikasi dengan orang lain, tatap muka ataupun virtual, bisa menjaga kewarasan kita. Sentuhan sosial sekecil apapun membantu kita bisa tetap menjadi manusia seutuhnya. Di tengah gempuran teknologi yang ada di sekeliling kita – terlebih di social distancing – sentuhan manusia adalah hal yang harus kita jaga. Jangan sampai kita melupakan itu dan terlalu lama berkutat dengan gadget. Bisa-bisa kodrat kita sebagai makhluk sosial luntur. Satu lagi yang tak kalah penting adalah komunikasi dengan diri sendiri. Sering berkomunikasi dengan diri sendiri bisa membantu kita memahami diri kita lebih baik dan menjadi pengingat kita pada konsep bersyukur tadi. Mengingat kembali apa yang masih kita miliki, hal baik apa yang masih terjadi dalam hidup kita.
Menurut saya, komunikasi dengan orang lain, tatap muka ataupun virtual, bisa menjaga kewarasan kita. Sentuhan sosial sekecil apapun membantu kita bisa tetap menjadi manusia seutuhnya.
Dalam masa pandemi di tengah bulan puasa ini saya juga merasa sisi spiritual saya meningkat dari sebelumnya. Menjalani puasa malah terasa lebih mudah, meski durasinya lebih panjang di Amerika. Berpuasa dalam kondisi pembatasan sosial membuat saya punya waktu lebih untuk beribadah. Tidak hanya ibadah dalam konteks ritual, seperti mengkaji kitab suci atau shalat berjamaah dengan istri, tapi juga ibadah yang kaitannya dengan membina rumah tangga. Saya jadi punya lebih banyak waktu untuk berkomunikasi dengan pasangan, membangun hubungan yang semakin kuat. Perlu disadari bahwa saat lebih banyak berada di luar rumah, kita bisa sering lupa dengan hal-hal spiritual, karena banyaknya hal-hal duniawi yang bisa kita lakukan di luar sana. Sementara sekarang, di rumah, kita bisa punya kesempatan untuk lebih banyak bercermin dan memperbaiki apa-apa yang perlu dibenahi dalam diri.