Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi pada kita sekarang ini jika kita melewati masa lalu yang berbeda. Sedari kecil aku sudah suka sekali dengan musik. Musik merupakan medium untuk membuatku tenang. Aku pun ikut banyak ekstrakurikuler dan les tambahan yang berhubungan dengan musik. Tapi dulu aku adalah seorang anak yang belum memiliki kepercayaan tinggi. Suatu saat, aku memiliki kesempatan untuk menjadi penyanyi angklung. Sayangnya, ada orang-orang yang tidak percaya pada kemampuanku sehingga aku pun menutup segala kemungkinan untuk bernyanyi. Pernah aku berpikir, mungkin perkembanganku bernyanyi sudah lebih jauh sejak dulu kalau kesempatan itu aku dapatkan.
Namun ternyata waktu berkata lain. Aku baru bisa memangkas semua rasa insecure dan tidak percaya diri beberapa tahun lalu. Aku memberanikan diri untuk menampilkan kemampuanku bernyanyi di media sosial. Sampai sekarang sebenarnya aku masih seseorang yang pemalu. Tapi, setidaknya aku sudah bisa mengelola dan mengubahnya menjadi kepercayaan diri. Mungkin salah satu alasan aku memberanikan diri adalah keinginan untuk membuktikan pada diri sendiri bahwa aku bisa melakukan yang orang lain ragukan dariku.
Seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa ternyata segala pernyataan orang lain yang tidak percaya pada kemampuanku menjadi sebuah motivasi untuk maju. Mungkin kalau tidak ada orang-orang yang memandang sebelah mata atau memberikan kritik, aku tidak akan melihat kekurangan diri dan sulit berkembang. Ketika ada orang yang memberikan komentar buruk, aku justru mendapatkan kesadaran untuk tidak buru-buru berbangga hati atas apa yang dicapai. Di waktu yang sama, aku jadi menyadari kekuranganku untuk kemudian bisa diperbaiki. Aku pun bisa lebih bersyukur dengan keberadaan orang-orang yang memberikan komentar-komentar buruk karena berarti masih ada orang-orang yang memperhatikanku.
Ketika ada orang yang memberikan komentar buruk, aku justru mendapatkan kesadaran untuk tidak buru-buru berbangga hati atas apa yang dicapai.
Semangatku justru menggebu-gebu untuk mematahkan pernyataan buruk yang didapatkan. Bukan untuk balas dendam atau mendapatkan validasi, tapi untuk mengumpulkan semangat demi kemajuan. Bisa dibilang, aku adalah orang yang fokus pada diri sendiri sehingga tidak begitu menghiraukan kata orang yang dapat membuatku jatuh. Bahkan seringkali aku tidak ingat siapa mengatakan apa. Aku menangkap semuanya menjadi sebuah saran dan masukan, bukan menjadi hal yang membuatku insecure. Aku adalah seseorang yang selalu ingin memaksimalkan diri. Tidak ingin suatu hari aku bisa malu karena melakukan sesuatu secara tidak maksimal. Untuk dapat memaksimalkan diri, aku butuh komentar dan kritik yang mungkin tidak enak didengar. Kalau tidak, aku hanya akan fokus pada kelebihan dan hal-hal bagus dalam diri saja. Ketika kita terus berpikir hal-hal positif tentang diri, kita bisa lupa bahwa tidak ada orang yang sempurna dan tidak luput dari kekurangan.
Jujur, hingga sekarang aku terkadang masih mempertanyakan, “Apakah ini jalan yang tepat untuk aku?”. Rasanya wajar kita memiliki keraguan pada diri sendiri. Setiap orang tampaknya pernah berada di fase itu. Tapi kemudian aku ingat bahwa apa yang sudah dimulai dengan sungguh-sungguh, pasti akan berhasil baik. Aku pun percaya bahwa lebih baik mencari jalan keluar dan memaksimalkan yang sudah ada ketimbang meninggalkan semua yang sudah diraih. Walaupun sekali waktu pasti ada kalanya kita merasa lelah atau merasa kehilangan jati diri. Apalagi ketika masa pandemi yang penuh dengan ketidakpastian ini. Aku pun sempat merasa tidak menjadi diri sendiri saat mengalami pandemi.
Aku pun percaya bahwa lebih baik mencari jalan keluar dan memaksimalkan yang sudah ada ketimbang meninggalkan semua yang sudah diraih.
Ketika pandemi kita lebih punya waktu dengan diri sendiri dan jarang bertemu atau berbicara dengan banyak orang. Berbicara langsung dan berbicara lewat teks sangatlah berbeda. Ternyata, tidak bersosialisasi membuatku dapat memikirkan hal-hal yang hanya berasal dari sudut pandangku sendiri. Itulah yang kemudian membuatku sering resah dan seolah kehilangan diri sendiri. Lalu setelah mengamati lebih dalam, aku juga menemukan bahwa perasaan kehilangan diri sendiri ternyata sering berasal dari keinginanku menyenangkan orang lain. Kerapkali energiku habis untuk menyenangkan orang lain. Aku lupa kalau kita mau menyenangkan orang lain, kita harus bisa menyenangkan diri sendiri dulu.
Tapi sekarang aku merasa sudah lebih baik. Aku dapat lebih bersyukur dengan pengalaman merasa kehilangan diri itu karena aku menyadari bahwa masa sebelumnya aku bisa sangat bahagia. Artinya aku bisa menjadi bahagia seperti itu lagi. Aku pun percaya apa yang menjadi milik kita akan datang dengan sendirinya dan tidak semua hal harus kita paksakan. Dengan berpikir demikian, setiap orang sejatinya baru bisa membahagiakan orang lain karena sudah dapat membahagiakan diri sendiri.