Self Love & Relationship

Melabuhkan Hati

Keputusan setiap orang untuk menikah pastilah berbeda-beda. Kita semua punya persepsi masing-masing tentang pernikahan, arti pernikahan itu sendiri serta apa tujuan kita menikah. Mungkin jawabanku pun tidak sama dengan kebanyakan orang. Sebab saat aku akhirnya memutuskan menikah, alasannya bukan sekadar tentang sudah bertemu jodoh dan ingin hidup bahagia selamanya bak di cerita dongeng para putri. Alasannya terletak pada perjalananku mengenal diri sendiri. Bukan antara aku dan pasangan. Aku meyakini bahwa sebelum menikah, aku dan pasanganku dibesarkan dengan cara yang berbeda. Kami pasti memiliki pikiran dan kebiasaan yang berbeda. Ketika memutuskan untuk menjalani pernikahan dengannya aku tidak ingin masih menyisakan urusan yang belum selesai dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin masih punya luka-luka akibat masa lalu sampai akhirnya membawa sampah emosi ke dalam pernikahanku.

Ketika memutuskan untuk menjalani pernikahan dengannya aku tidak ingin masih menyisakan urusan yang belum selesai dengan diriku sendiri. Aku tidak ingin masih punya luka-luka akibat masa lalu sampai akhirnya membawa sampah emosi ke dalam pernikahanku.

Butuh proses yang tidak sebentar untuk meyakinkan diriku menikah dengan Mas Eda (Narendra Pawaka —red). Kami dipertemukan oleh Ibu Mas Eda yang telah —kurang lebih, lima tahun kukenal saat itu. Beliau bilang mau memperkenalkanku dengan anaknya. Pertemuan kami pun bukan cinta pada pandangan pertama seperti di film-film romantis. Bahkan aku cukup skeptis dengan potensi hubungan kami. Kala itu aku masih berumur 23 tahun. Aku belum lama lulus kuliah dan sedang meniti karier sebagai seorang dokter. Selain masih merasa sangat muda untuk bertemu jodoh, aku pun merasa sepertinya latar belakang pekerjaan kami yang sangat berseberangan akan mempersulit hubungan.  Akan tetapi, ini tidak mengurungkan niatku untuk mengenalnya lebih jauh. Lambat laun, aku memahami bahwa pertemuan kami sepertinya memang diharapkan untuk sampai ke pernikahan. Bukan sekadar mengenalkan untuk sekadar pacaran saja. Mengetahui adanya motif itu, aku semakin gundah. Ada penolakan batin dari dalam diri yang mempertanyakan: Apa benar aku sudah bertemu jodohku di umur 23? Apa aku memang akan menikah dengan dia? Apa benar jodoh itu ada? Apa definisi jodoh sesungguhnya?

Berbeda denganku, Mas Eda sudah yakin. Ia ternyata tidak banyak pertimbangan soal hubungan kami. Kemudian aku bilang padanya bahwa aku butuh waktu untuk berpikir dan mempertimbangkan. Ia pun sangat menerima dan tidak pernah mendorongku buru-buru memutuskan. Suatu hari, ada kejadian di mana aku mengikuti sebuah acara yang mengharuskan bermeditasi. Bukannya merasa tenang aku justru merasa gelisah setelahnya. Merasa seperti ada yang salah dengan diriku. Aku menyadari sepertinya hidupku belum menemukan keseimbangan. Keseharianku masih penuh dengan kemarahan. Seolah aku tidak merasa fulfilled, puas dengan diriku sendiri. Aku ungkapkan hal tersebut pada Mas Eda dan bilang bahwa aku belum bisa menikah kalau belum merasa puas, penuh, dan bahagia. Meski sebenarnya aku juga tidak tahu apa yang bisa membuatku merasakan itu.

Tidak lama, aku dipertemukan dengan buku-buku Thich Nhat Hanh, seorang biksu yang menulis tentang anger management (pengelolaan emosi). Aku tidak beragama Buddha, tapi aku pikir sepertinya tidak ada salahnya untuk membuka pikiran. Siapa tahu aku bisa punya persepsi lain tentang hidup. Dari bukunya aku belajar ternyata sedari kecil kita pasti memiliki luka batin yang berasal dari orang tua. Baik secara sengaja maupun tidak. Kalau tidak diselesaikan sedini mungkin kita akan membawanya hingga dewasa di mana luka tersebut dapat memengaruhi keputusan kita memilih pasangan. Mengetahui ini, aku pun jadi semakin yakin untuk menyelesaikan luka-luka yang ada di dalam diri sebelum beranjak ke pernikahan. Setelah dipikir-dipikir aku masih sering merasa gengsi dengan pria. Aku berpura-pura baik-baik saja di saat sebenarnya aku tidak suka dengan sikapnya. Lalu aku berpikir,  "Bagaimana jika sudah menikah masih tidak berani menyampaikan apa yang dirasakan pada pasangan? Bukankah hanya akan menciptakan hubungan yang tidak sehat?".

Mulailah aku mencari cara untuk mengobati segala luka-luka di masa lalu. Mengatur emosi serta belajar menerima diri sendiri dan memaafkannya. Aku menyadari betul dulu aku terlalu keras pada diri sendiri. Aku merasa seperti dituntut untuk menjadi seorang wanita yang kuat di depan orang. Padahal tidak ada salahnya jika satu waktu aku ingin istirahat. Tidak ada salahnya kalau aku suatu saat merasa “tersesat”. Kemudian melalui berbagai proses tersebut aku menemukan keyakinan untuk membangun bahtera rumah dengan Mas Eda. Sebelum merencanakan perayaan dan sebagainya, aku melakukan analisa terhadap berbagai aspek. 

Pertama adalah faktor agama yang mana Mas Eda menjalaninya cukup baik. Lalu dari segi profesi. Berjalannya waktu, ternyata Tuhan punya rencana lain untukku. Yang tadinya aku berprofesi jadi dokter, tiba-tiba aku memasuki dunia televisi. Dari seorang pembawa berita kini menjadi pembawa acara yang lebih santai dan bahkan mengisi acara di radio. Tak ada lagi perbedaan profesi yang bertolak belakang. Begitu juga aspek suku, adat, keluarga, semuanya sudah melalui proses pertimbangan. Satu hal lain yang membuatku juga bertambah yakin adalah tentang keputusanku berkarier. Aku sempat bertanya pada Mas Eda apakah menikah akan membuatku berhenti bekerja dan ia bilang tidak. Ia membiarkanku untuk berkarier setelah menikah. Bahkan ia dan calon mertuaku sangat mendukung ketika aku bilang hendak sekolah lagi, melanjutkan pendidikan dokter. 

Tidak berhenti di sana. Menjelang pernikahan, kami buka Undang-Undang pernikahan. Kami bedah bersama untuk mengetahui dan memelajari apa saja tanggung jawab dan hak kami secara hukum sebagai pasangan suami istri. Juga ketika nanti punya anak, apa saja tanggung jawabku sebagai istri dan dia sebagai suami.  Aku melihat pernikahan tidak cuma tentang dua insan manusia, bersatu menjadi sebuah kesatuan. Tapi aku melihat pernikahan dari segala aspek. Pernikahan adalah sebuah kesatuan dari segi keuangan, hukum, dan agama. Dan semua itu butuh komitmen yang sangat besar. Kalau masih menggantungkan kebahagiaan terhadap pasangan, menurutku pernikahan itu akan menjadi sepihak saja. Aku dan Mas Eda sepaham bahwa hubungan adalah give and give bukan give and take

Aku melihat pernikahan tidak cuma tentang dua insan manusia, bersatu menjadi sebuah kesatuan. Tapi aku melihat pernikahan dari segala aspek. Pernikahan adalah sebuah kesatuan dari segi keuangan, hukum, dan agama. Dan semua itu butuh komitmen yang sangat besar.

Marriage is the beginning of everything. Bukan tujuan akhir sebuah hubungan. Menurutku tagar yang sering kita baca #relationshipgoal atau #marriagegoals seringkali memburamkan ikatan hubungan itu sendiri. Buatku tidak pernah ada satu standar yang pasti soal hubungan. Ada tipe pasangan yang lebih suka menghabiskan waktu berdiam saja. Ada pasangan yang suka ngomel satu sama lain tapi ternyata itu adalah bentuk bahasa cinta mereka. Sehingga sebenarnya tidak ada satu parameter tertentu yang bisa jadi tolak ukur untuk mereka melangkah ke tahap pernikahan. Sebaliknya, dengan fokus pada satu standar hubungan seseorang hanya akan melambungkan harapan tanpa benar-benar menjalani hubungan itu sendiri. Nantinya pada saat mempersiapkan pernikahan, misi menikah bisa jadi meleset. Akhirnya hanya fokus pada persiapan perayaan tapi lupa untuk mempersiapkan masa setelah menikah seperti mau tinggal di mana dan punya anak berapa.

Menurutku perencanaan punya anak bukanlah obrolan belaka karena kita harus mempersiapkan mental, fisik, dan pastinya finansial untuk menghadirkannya di dunia. Jangan sampai kita masih punya masalah dalam diri yang belum selesai lalu secara sadar atau tidak ditumpahkan pada anak. Kita harus ingat bahwa saat kita membesarkan anak berarti kita membentuk pola pikirnya di (paling tidak) 15 tahun pertama. Buatku itu tanggung jawab yang sangat besar dan sebisa mungkin aku tidak ingin menciptakan luka atau trauma untuk mereka di masa kecil hanya karena aku belum siap mental. Begitu juga tentang kesiapan finansial. Anak memang sudah diatur oleh yang maha kuasa. Setiap anak pasti ada rezekinya. Tapi sebaiknya kita jangan momok dengan pemikiran anak membawa rezeki. Sebaiknya kita bisa lebih fokus pada memberikan perhatian pada mereka ketimbang memikirkan rezeki yang datang dari mereka. Oleh sebab itu, persiapan mental punya anak harus dibedakan dengan persiapan mental ketika hendak menikah. Tidak bisa dijadikan satu paket lengkap sebelum pernikahan. 

Kita harus ingat bahwa saat kita membesarkan anak berarti kita membentuk pola pikirnya di (paling tidak) 15 tahun pertama. Buatku itu tanggung jawab yang sangat besar dan sebisa mungkin aku tidak ingin menciptakan luka atau trauma untuk mereka di masa kecil hanya karena aku belum siap mental.

Pertimbangan soal anak pun sebaiknya sudah dibicarakan dengan pasangan sebelum menikah. Ketika mencari pasangan aku akan mencari seseorang yang bisa mendidik anakku. Aku harus tahu lebih dulu apakah cara mendidik kami akan serupa atau apakah kami punya persepsi yang sama tentang memiliki anak. Contoh tentang mendidik agama. Aku percaya pasanganku adalah orang yang akan mengajarkan tentang agama sehingga buatku penting untuk dia bisa mencontohkan caranya menjalani agama terhadap anak. Bukan sekadar memberitahu. Sebelum menikah aku tanya pada Mas Eda, “Kamu mau punya anak berapa?” dan dia bilang dua. Sedangkan aku bilang hanya mau satu dulu saja karena aku tidak pernah hamil. Ternyata dia sangat menerima dan bahkan bilang, “Iya sih, yang akan mengandung dan merawat secara intensif kan kamu. Jadi sesanggupnya kamu saja.” Dari situ aku semakin yakin bahwa dia tidak akan membuatku melakukan sesuatu di luar kemampuanku.

Setelah sekarang menikah —meski baru sebentar, tapi aku memahami pernikahan adalah sebuah companionship yang menghadirkan diskusi panjang tak berbatas waktu. Ada momen sebelum kami tidur, kami bisa ngobrol soal banyak hal. Bahkan bisa sampai jam 4 pagi hanya ngobrol. Inilah yang membuatku mengerti bahwa inilah yang aku cari dari pasangan: orang yang mau mendengarkan dan tahan berada di dalam obrolan —yang mungkin melantur. Dulu aku pernah bilang pada Mas Eda, “Aku tidak mencari tampang rupawan atau harta berlimpah. Aku hanya ingin seseorang yang mau membersihkan kotoranku ketika aku sudah tua dan sakit-sakitan.”  Dulu saat praktik di rumah sakit aku sering menemukan seorang kakek tua menunggui istrinya yang sakit dan ia mau menggantikan popok karena istrinya sudah tidak bisa melakukan apa-apa. Menurutku, itu cinta paling murni dan paling dalam. Jadi, buatku menikah bukan hanya soal cinta melainkan soal komitmen panjang untuk menjadi teman hidup seseorang. Kala kita sudah tua, jadi kakek-nenek, sudah tidak bisa bepergian jauh, sudah tidak banyak tenaga untuk melakukan banyak hal, apa lagi yang bisa dilakukan selain jadi teman bicara?

Buatku menikah bukan hanya soal cinta melainkan soal komitmen panjang untuk menjadi teman hidup seseorang. Kala kita sudah tua, jadi kakek-nenek, sudah tidak bisa bepergian jauh, sudah tidak banyak tenaga untuk melakukan banyak hal, apa lagi yang bisa dilakukan selain jadi teman bicara?

Related Articles

Card image
Self
Alam, Seni, dan Kejernihan Pikiran

Menghabiskan waktu di ruang terbuka bisa menjadi salah satu cara yang bisa dipilih. Beberapa studi menemukan bahwa menghabiskan waktu di alam dan ruang terbuka hijau ternyata dapat membantu memelihara kesehatan mental kita. Termasuk membuat kita lebih tenang dan bahagia, dua hal ini tentu menjadi aspek penting saat ingin mencoba berpikir dengan lebih jernih.

By Greatmind x Art Jakarta Gardens
13 April 2024
Card image
Self
Belajar Menanti Cinta dan Keberkahan Hidup

Aku adalah salah satu orang yang dulu memiliki impian untuk menikah muda, tanpa alasan jelas sebetulnya. Pokoknya tujuannya menikah, namun ternyata aku perlu melalui momen penantian terlebih dahulu. Cinta biasanya dikaitkan dengan hal-hal indah, sedangkan momen menanti identik dengan hal-hal yang membosankan, bahkan menguji kesabaran.

By Siti Makkiah
06 April 2024
Card image
Self
Pendewasaan dalam Hubungan

Pendewasaan diri tidak hadir begitu saja seiring usia, melainkan hasil dari pengalaman dan kesediaan untuk belajar menjadi lebih baik. Hal yang sama juga berlaku saat membangun hubungan bersama pasangan.

By Melisa Putri
06 April 2024