Self Science & Tech

Matematika Sebagai Landasan Berpikir

Yuza Mulia

@yuzamulia

Pendiri Platform Pendidikan

Ilustrasi Oleh: Salv Studio

Ingat tidak ketika bersekolah kita akan dianggap murid yang cerdas jika nilai matematika kita bagus? Tapi mungkin kita tidak tahu alasannya mengapa dianggap demikian. Mungkin asumsi kita karena matematika adalah pelajaran yang sulit sehingga jika kita bisa mendapatkan nilai bagus kita dapat menyelesaikan sesuatu yang sulit. Namun memang ada alasan yang lebih rasional dibandingkan asumsi sederhana kita. Dengan suka atau mahir dalam pelajaran matematika, kita lebih mudah menguasai berbagai pelajaran lainnya, terutama pelajaran yang banyak elemen matematika seperti fisika dan kimia. Proses berpikir terlatih karena belajar matematika membantu kita dalam memahami pelajaran lain. Implikasinya adalah ada kecenderungan untuk mendapatkan nilai lebih tinggi daripada yang lain, sehingga -sesuai paradigma yang ada di masyarakat secara umum tentang nilai sekolah, dianggap pintar.

Itu dia, matematika adalah proses berpikir, bukan proses berhitung. Hampir setiap mendengar kata matematika, yang ada di pikiran orang adalah "angka" dan "rumus". Padahal belajar matematika adalah belajar untuk berpikir logis dan sistematis. Belajar matematika membiasakan diri untuk menyelesaikan masalah dengan membuat pertanyaan yang tepat, melihat fakta yang tersedia, membedakannya dengan asumsi, hingga menyelesaikan masalah tersebut dengan solusi yang kreatif juga sistematis. Membiasakan diri dalam berpikir matematis berarti membiasakan diri untuk mengkritisi data yang diberikan politisi, atau membayangkan bahwa jika ada 70 juta orang dalam suatu demo berarti itu adalah ~1000x kapasitas Stadion GBK.

Matematika adalah proses berpikir, bukan proses berhitung.

Saya pernah baca satu cerita di buku "How Not to be Wrong: The Power of Mathematical Thinking", tentang bagaimana Abraham Wald, seorang matematikawan AS di perang dunia II, menyelesaikan masalah "di bagian mana armor pesawat tempur harus diperkuat", dengan kumpulan data lubang peluru di berbagai badan dari banyak pesawat yang kembali dari perang. Ketika banyak orang meminta model matematis untuk mengoptimalkan tambahan armor dan berat pesawat, Abraham Wald datang dengan pernyataan: "Pesawat yang pulang ke sini tidak mempunyai lubang bekas peluru di bagian mesin. Mereka bukanlah representasi penuh dari semua pesawat yang ada. Ini adalah tanda bahwa pesawat-pesawat yang terkena peluru di bagian mesin adalah pesawat-pesawat yang jatuh dan tidak kembali." Abraham Wald tidak langsung berusaha membuat model matematis sesuai yang diminta. Hal yang pertama dilakukannya adalah melihat fakta dan menguak asumsi bahwa semua pesawat yang kembali adalah random sampel dari seluruh pesawat yang ada, padahal nyatanya tidak. Begitulah pola pikir orang yang terbiasa dengan matematika.

Memang pada kenyataannya, banyak materi yang kita pelajari di sekolah itu tidak akan kita pakai dalam kehidupan sehari-hari. Itu yang harus diterima oleh semua orang, bahkan seorang matematikawan, tanpa perlu menyangkal. Namun seperti beberapa contoh yang telah saya sebutkan, secara umum belajar matematika akan membantu melatih pola pikir kita dalam menyelesaikan masalah dengan lebih logis, kritis, juga kreatif dalam kehidupan sehari-hari. Ketika kita tidak punya sendok makan, kita bisa mengira-ngira takarannya dengan sekitar 2-3 sendok teh. Ketika belanja, kita bisa membedakan diskon 20% + 30% dengan diskon 50%. Ketika politisi memaparkan data, kita bisa menginterpretasikannya dengan baik, sehingga tidak mudah dimanipulasi. Fenomena "ambil kuliah jurusan sosial karena tidak mau berurusan dengan angka" banyak sekali diceritakan oleh teman saya. Kenyataannya, di kampus jurusan apapun juga akan bertemu dengan matematika atau statistika. Begitu juga di industri. Secara spesifik, ke depannya, kemampuan berpikir matematis akan semakin dibutuhkan di berbagai industri, bahkan untuk orang yang profesinya sekarang atau beberapa tahun lalu tidak berhubungan dengan matematika sama sekali. Seiring perkembangan teknologi, salah satu yang paling berkembang adalah pemanfaatan data. Pekerja bidang keuangan, bisnis, marketing, hingga human resource akan semakin dituntut untuk bisa mencari, mengolah, dan menarik insight dari kumpulan data yang ada.

Secara umum belajar matematika akan membantu melatih pola pikir kita dalam menyelesaikan masalah dengan lebih logis, kritis, juga kreatif dalam kehidupan sehari-hari.

Sayangnya menurut saya banyak sekolah yang menyampaikan pelajaran matematika kurang efektif. Di survey kecil-kecilan saya dan tim @ngobrolmatematika, kami mendapatkan bahwa persepsi orang terhadap matematika 100% disebabkan oleh perkenalan pertamanya, yang tentu kebanyakan dari guru dan pelajaran di sekolah. Ada 2 hal yang bagi kami sangat menggelisahkan: "Hanya hafal rumus" dan "Cari cara cepat". Kedua prinsip ini sangat banyak diajarkan di sekolah dan berbagai lembaga pendidikan lain. Tujuannya, tentu untuk mengoptimalkan waktu demi mendapatkan nilai tinggi di berbagai ujian yang ada. Aneh sekali, karena bagaimana bisa kita mempelajari ilmu yang esensinya adalah tentang proses berpikir sistematis dengan cara yang justru sangat menjauhi proses berpikir itu sendiri. Dengan "hafal rumus" dan "cara cepat", kita banyak melewati, melompati proses berpikir untuk menyelesaikan masalahnya. Hal ini membuat matematika yang harusnya sangat logis dan terstruktur itu jadi tidak masuk akal di kepala siswa. Tidak masuk akal, tidak mengerti, akhirnya siswa pun menjauhi.

Sehingga banyak siswa yang mengeluh soal matematika. Salah satunya dengan bilang: "Soal yang ada di ujian tidak sama seperti yang dipelajari. Ini  tidak akan terjadi kalau siswa bisa dibuat paham bahwa yang dipelajari itu adalah konsep dan proses berpikir, yang bisa diterapkan di berbagai konteks (baca: soal) apapun, kalau kita paham betul. Padahal cara baik untuk belajar matematika adalah dengan: 1) Memiliki konteks, dan 2) Berlatih dan menerapkan. Dalam sistem pendidikan kita sekarang, kita belajar matematika bertahun-tahun, hanya mengenal angka dan rumus hingga muncul pertanyaan "buat apa belajar ini?". Belajar matematika dengan membuatnya relevan dengan konteks personal kita masing-masing akan membuat kita lebih punya motivasi untuk belajar. Selanjutnya memasuki tahap "mastery" dengan terus berlatih jadi langkah penting untuk menguasai konsep yang sedang dipelajari. 

Belajar matematika dengan membuatnya relevan dengan konteks personal kita masing-masing akan membuat kita lebih punya motivasi untuk belajar.

Pembuatan ruang belajar matematika lewat Instagram bertajuk @ngobrolmatematika berawal dari saya dan beberapa teman dekat saat kuliah yang cukup gelisah dengan banyaknya orang yang tidak suka matematika. Setelah lulus pun akhirnya kami memutuskan untuk serius memulai sesuatu demi memperbaiki literasi matematika di Indonesia. Awalnya tentu banyak masalah matematika dan pendidikan matematika yang kami diskusikan dan ide yang keluar untuk menyelesaikannya. Namun melihat sumber daya yang ada saat itu (waktu, tenaga, materi), kami pun memulai dengan hal yang paling kecil dan dekat dengan kami, yaitu menggunakan media sosial, Instagram. Sampai saat ini, kami masih melakukan berbagai eksperimen dalam membuat konten di Instagram, sembali mencoba untuk merambah ke saluran lain seperti Youtube, Podcast, hingga kegiatan offline.

Tujuan dari misi tersebut pun tidak lain untuk memperkenalkan betapa menyenangkan belajar matematika..Bermain dengan angka, variabel, menyelesaikan masalah matematika itu sangat menyenangkan. Terutama bagi saya. Layaknya bermain game, puzzle, kita harus menyelesaikan sebuah masalah. Bisa berhari-hari kalau bertemu dengan soal yang super buat penasaran. Walaupun sehari-hari di kantor saya tidak lagi "mengerjakan soal-soal matematika" seperti di sekolah atau kampus dulu, dasar aktivitasnya tetap sama. Problem solving, menyelesaikan masalah. Saya punya seorang mentor yang pernah bercerita, walaupun beliau bukan seseorang yang ahli matematika, tapi beliau percaya matematika itu penting, dan berusaha membuat anaknya mau belajar matematika dengan sesekali mengaitkannya dengan salah satu hobi dan mimpi anaknya, yaitu fashion. Beliau membuat konteks bagaimana matematika digunakan untuk pengukuran baju, panggung, menghitung pola langkah, dan lain-lain. That’s amazing!

 

Related Articles

Card image
Self
Kesediaan Membuka Pintu Baru Melalui Musik

Bagiku, membahagiakan sekali melihat saat ini sudah banyak musisi yang bisa lebih bebas mengekspresikan dirinya melalui berbagai genre musik tanpa ketakutan tidak memiliki ruang dari pendengar Indonesia.

By Mea Shahira
23 March 2024
Card image
Self
Berproses Menjadi Dewasa

Ada yang mengatakan usia hanyalah angka. Sebagian memahami hal ini dengan semangat untuk tetap muda, menjaga api dalam diri untuk terus menjalani hari dengan penuh harapan.

By Greatmind
23 March 2024
Card image
Self
Kala Si Canggung Jatuh Hati

Bagiku, rasa canggung saat bertemu seseorang yang menarik perhatian kita adalah hal yang menjadikan kencan pertama istimewa. Menurut aku, saat baru pertama kali bertemu dan berkenalan kita memang masih harus malu-malu, momen canggung ini yang nantinya bisa menjadi berharga setelah beriringnya waktu.

By Dillan Zamaita
23 March 2024